Foto-foto: Pembaruan/Fuska Sani Evani - Burung kuntul kerbau dan BLEKOK SAWAH di pohon Randu    menanti pasangan

Sebaiknya pengunjung berhati-hati, jangan menengadah, dan selalu pakai topi. Kalau tidak? Rasakan sendiri akibatnya. Bisa-bisa, telepok… kotoran burung hinggap di rambut atau kepala.

RUPANYA peringatan itu tidak main-main, sebab ribuan kuntul kerbau (Bubulcus ibis) dan blekok sawah (Ardeola speciosa) hinggap di pohon-pohon sehingga unggas-unggas itu bak menggantikan dedaunan. Sungguh pemandangan yang fantastis, dan tiada bandingannya. Kepakan sayap selalu terdengar bagai sabetan-sabetan pedang di udara, keak-keok burung berwarna putih pasti terdengar riuh. Kadang kala si blekok dan kuntul, berlomba-lomba menangkap katak, cacing, atau serangga lainnya dengan ayam peliharaan warga Dusun Ketingan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Warga setempat, rupanya sudah terbiasa dengan adegan semacam itu. Kadang para imigran itu akrab dengan entok-entok atau bahkan berebut cacing. Namun sayang, burung imigran itu tak bersuara merdu. Kalau sering mendengar angsa berkotek, bayangkan, betapa riuh kampung itu dengan suara keak-keok.

Mengapa harus Ketingan? Barangkali hanya burung-burung itulah yang tahu jawabannya.

Soal asal-muasal Ketingan menjadi “hotel” blekok dan kuntul itu, Kepala Dusun Sriyanto mencoba menjelaskan. Pada sekitar tahun 1997, setidaknya sepuluh blekok hinggap di pohon-pohon seperti pohon johar, pohon melinjo, pohon adem-adem ati, pohon bambu, pohon nangka, dan pohon flamboyan. Lambat laun, jumlahnya semakin banyak. “Pertama-tama kami juga agak risi. Selain kebun saya jadi amis, kadang-kadang mereka juga ramai terutama waktu malam. Saya hampir tidak bisa tidur,” katanya.

Awal mulanya, burung-burung itu hanya berdiam di kebun Sriyanto. Lama-kelamaan menyebar hampir ke seluruh dusun.

Namun, rupa-rupanya keberadaan burung yang kabarnya bermigrasi dari negara bersalju itu, terdengar oleh para pemburu. Jadi, kata Sriyanto, mulai dari magrib sampai subuh, terdengar letusan senjata angin dari pemburu itu. Lalu Sriyanto, selaku kepala dusun, berinisiatif membuat larangan perburuan burung-burung liar itu.

Maka, berdirilah papan peringatan berukuran 100 x 50 sentimeter bertuliskan, “Terima kasih, Anda tidak berburu semua jenis burung di wilayah ini”. Ternyata papan itu bukan hanya slogan. Setiap kali ada bunyi senapan menggelegar, warga berbondong-bondong memburu siapa pelaku penembakan. “Sekarang gantian, para pemburu itu yang kami buru,” kata Sriyanto sambil tertawa.

Bercumbu

Memesona

Dusun Wisata

Berkat usaha warga dusun itu, lama-kelamaan pemerintah menaruh perhatian sekaligus mencanangkan dusun itu menjadi dusun wisata. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ikut memberikan penyuluhan kepada warga tentang pentingnya melindungi burung kuntul, juga memberikan bantuan pembuatan gardu pandang sebesar Rp 1 juta.

Untuk mendukung wisata dan mempermudah pengunjung, Sriyanto memutuskan merenovasi dusunnya itu. Ia memulai dari rumahnya sendiri, yang kemudian ia sewakan. Lama-kelamaan beberapa warga mulai membenahi rumah-rumah mereka. Sungguh tak mahal. Hanya dengan Rp 50.000 per malam, pengunjung sudah bisa menikmati tiga kali makan, mengintip burung bercengkerama, dan kadang kalau beruntung akan melihat betapa akrab mereka dengan unggas milik warga.

“Rupa-rupanya burung ini menjadi berkah tersendiri buat warga. Dulunya di sini termasuk desa miskin. Lambat laun perekonomian seluruh warga meningkat. Sebenarnya keterkaitannya hanya pada pemasukan uang kamar dan servis kesenian yang sering digelar pas ada tamu. Tapi ini merupakan keajaiban alam yang tak bisa kami tolak,” kata Sriyanto.

Namun, kehadiran burung-burung itu bukannya tidak pernah menimbulkan masalah bagi warga. Pada 2002, angin puyuh menerjang dusun itu. “Kejadiannya tepat akhir April, pas burung dewasa sedang bepergian. Banyak anak burung jatuh dari sarangnya. Banyak yang mati. Kami akhirnya menggantikan induknya memberi makan. Tetapi, kami tidak kuat, karena mereka hanya memakan ikan. Payah juga, akhirnya dari BKSDA turun tangan dan beberapa mahasiswa Universitas Gadjah Mada ikut membantu. Kurang lebih 1.000 burung yang berhasil diselamatkan,” Sriyanto mengenang.

Belakangan, bertepatan dengan merebaknya isu flu burung tahun 2004, warga Ketingan pun khawatir. “Banyak berita yang mengatakan sumbernya dari burung liar. Burung kuntul ini diduga pembawa virus dari Thailand, Vietnam, dan China, saat musim migrasi. Warga sudah banyak yang mengusulkan ke saya agar burung-burung itu dimusnahkan. Wah, saya sempat bingung,” ujarnya.

Namun, Sriyanto tak kurang akal. Ia memanggil ahli-ahli dari UGM untuk meneliti. Ternyata, tak satu mengandung virus flu burung.

“Dari keterangan ahli unggas UGM, burung liar yang bisa membawa virus, hanya yang makan biji- bijian. Sedang blekok dan kuntul tidak, karena mereka makan ikan dan serangga. Kami jadi lega,” ucapnya. Dan sampai sekarang, tak satu pun warga yang sakit dengan indikasi terinfeksi flu burung.

Berburu makanan

Turis Mancanegara

Haryono, yang bertindak sebagai tenaga pemasaran, mengatakan tamu di kawasan itu bahkan berdatangan dari Korea, Jepang, Amerika, dan Australia. Turis-turis datang setiap musim burung-burung yang sebagian datang dari negeri Tiongkok itu singgah ke Ketingan.

“Burung-burung itu mendarat untuk kawin pada bulan Desember sampai Mei awal. Sesudah itu akan sepi. Dan tiap kali mulai musim hujan, induk-induk sudah membuat sarangnya,” kata Haryono.

Ia menambahkan, Dusun Ketingan itu bukan hanya dikenal karena burung kuntul dan blekok, namun juga karena suasana budaya pedesaannya yang masih kental. Pengunjung dapat secara aktif terlibat berkegiatan di sawah, tegalan, ataupun kandang ternak. Pengunjung dapat pula mengikuti kegiatan kesenian, seperti jathilan, gejog lesung, pek bung, ataupun, belajar membuat jamu atau mengolah secara sederhana emping melinjo.

“Turis yang datang biasanya memang ingin menikmati segala- galanya yang serba desa,” ujarnya.

Bagaimana caranya mau datang ke Ketingan? Dusun ini terletak di Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Sleman. Tempat itu terletak di barat laut Kota Yogyakarta, sekitar 20 menit dari pusat kota. Lebih mudah kalau ditempuh lewat jalur lingkar utara.

Pembaruan/Fuska Sani Evani