Permukiman di tengah hutan, di kaki Gunung Halimun, Jawa Barat. Tak mudah mencapainya, tetapi ke sanalah kaki melangkah untuk menikmati kedamaian dan ketenteraman kehidupan masyarakat Kesatuan Adat Banten Kidul, yang lebih dikenal dengan nama Kasepuhan Banten Kidul. Suatu bentuk ketaatan warga kepada adat dan tradisi yang patut dipelajari

FOTO-FOTO: PEMBARUAN/SOTYATI

DERETAN LUMBUNG – Deretan lumbung berbentuk kerucut dengan atap ijuk atau anyaman daun jenis tertentu menjadi pemandangan umum di kampung adat Kasepuhan.

JALAN berbatu menanjak itu seperti tak akan pernah berakhir. Lebarnya hanya cukup untuk satu kendaraan. Jangankan berpapasan dengan sesama kendaraan, berpapasan dengan sepeda motor pun harus hati-hati. Salah satu pasti mengalah.

Kendaraan Land Rover Defender 110 warna putih milik Lody Korua, bos operator olahraga arus deras Arus Liar, tampak bagai perahu karet diayun arus Citarik. Di belakangnya, jip Beawiharta, wartawan foto Reuters, mengikuti dalam jarak yang aman. Kedua kendaraan berjalan perlahan, membelah hutan, mengikuti permukaan jalan yang dibuat mengikuti kontur lereng perbukitan, di kaki Gunung Halimun. Tak boleh lengah, maklum di sebelah kiri jurang.

Di kawasan Pos Saung Teleng, di suatu jalan menurun, Lody menghentikan kendaraan. Jalan di depannya berbelok tajam. Tampak beberapa orang berdiri di jalan. Orang kota, jika melihat penampilan mereka. Rupanya, kendaraan mereka, jenis Kijang, terjebak sesuatu, tak bisa menanjak.

Lody, dibantu Beawiharta, Heryus Saputra dari Femina, dan Poerwanto yang berprofesi fotografer, berbekal kebiasaan beraktivitas dalam kegiatan penjelajahan di alam sejak muda, termasuk search and rescue, langsung turun tangan. Mobil niaga itu ditarik dengan tali khusus dari mobil Lody. Keluar dari tempatnya terjebak, pengemudinya menuruti aba-aba untuk tancap gas menanjak.

Memang, tak sembarang kendaraan bisa melewati jalan itu. Maklum, jalan sepanjang 14 kilometer itu jalan batu, yang tampak seperti “cuma” ditata, belum diperkeras. Tak mengherankan mudah lepas. Kalau tidak pas, kadang-kadang roda hanya berputar tanpa bergerak maju.

Lebih seru lagi kalau berpapasan dengan mobil. Namun, beda di kota, beda juga di pedalaman. Di tempat itu, sifat gotong royong masih sangat kental. Tanpa dikomando, semua penumpang kendaraan yang akan berpapasan, turun. Tak ada aturan khusus, namun, langkah pertama, sebagian mencari titik yang tepat bagi kedua kendaraan untuk bisa berpapasan. Langkah berikut, memberi aba-aba bagi kendaraan yang harus mengalah, biasanya mundur ke tempat aman, lalu yang lain menuntun pengemudi kendaraan, memberi aba-aba, hingga kemudian kedua kendaraan berpapasan dengan aman. Langkah terakhir, saling melambai.

HASIL PANEN – Dalam upacara Seren Taun, padi hasil panen akan disimpan di lumbung-lumbung, sebagian kecil dipakai dalam prosesi mengelilingi desa sebelum memasuki acara puncak di pusat kampung.

Memang, tidak ada akses jalan yang mudah untuk berkunjung ke komunitas Kesatuan Adat Banten Kidul di Ciptagelar itu. Namun, rombongan memang bertujuan ke sana. Pada 7-8 Agustus lalu itu, warga adat menyelenggarakan upacara Seren Taun, suatu bentuk pengucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, setelah menjalani panen raya. Padi-padi itu selanjutnya dimasukkan ke lumbung-lumbung desa, tidak dijual, karena aturan adat melarang warganya menjual padi.

Dua jam perjalanan, Ciptagelar tampak di depan mata. Kelelahan seolah sirna menampak rumah-rumah adat berarsitektur khas. Bentuknya panggung dan didominasi bahan kayu, beratap ijuk, karena aturan adat juga tidak membolehkan pemakaian atap genting atau seng. Pada beberapa sudut perumahan, tampak deretan lumbung padi terbuat dari kayu, juga beratap ijuk atau anyaman daun ilalang. Khas bentuknya, bagai kerucut besar berbaris.

Di pusat kampung, di sekeliling lapangan, hampir berbentuk huruf L, tampak bangunan permanen. Mulai dari musala, balai pertemuan, Leuit Si Jimat (lumbung padi yang disakralkan), Imah Gede untuk menerima tamu yang bersambung dengan dapur, rumah ketua adat Encup Sucipta (37) yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom, panggung untuk pertunjukan kesenian (biasanya wayang golek), balai untuk sesepuh adat yang menyatu dengan perpustakaan, dan bangunan untuk petugas keamanan. Di antara bangunan-bangunan itu, tampak kamar mandi umum yang terpelihara kebersihannya.

NASI CIPTAGELAR – Kaum ibu Ciptagelar menanak nasi dengan cara yang khas, memasak setengah matang dengan kukusan, mengaduk dan mengipasi di tempat khusus, lalu memasaknya kembali dengan kukusan.

Kearifan dan Kemandirian

Ciptagelar di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, secara administratif masuk wilayah Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi. Kampung itu bisa ditempuh melalui beberapa jalur. Lody membawa rombongan melalui jalur Palabuhan Ratu-Pangguyangan-Ciptarasa-Ciptagelar. Akses lain melalui Leuwijamang dan Citalahab, keduanya di wilayah administratif Bogor. “Jalannya lebih parah,” kata Lody. Dengan kata lain, lebih aman ditempuh dengan jalan kaki.

Belokan ke arah Pangguyangan terletak di batas barat Hotel Samudera Beach. Ruas jalan Palabuhan Ratu-Pangguyangan beraspal, sekitar sepuluh kilometer, lebarnya cukup untuk dua kendaraan. Selepas Pangguyangan, yang merupakan pos masuk pintu selatan ke Taman Nasional Gunung Halimun, jalan berubah, berbatu, namun sudah diperkeras. Kendaraan jenis Kijang, Carry, hingga sedan, masih bisa melaluinya hingga Ciptarasa, yang memakan waktu sekitar dua jam, berjalan pelan-pelan. Total jarak Palabuhan Ratu-Ciptarasa 30 kilometer. Pilihan lain, naik ojek dari beberapa titik, seperti Pangguyangan, Sirnarasa, ataupun Ciptarasa.

Ciptarasa sebelumnya menjadi “pusat pemerintahan” Kasepuhan Banten Kidul. Abah Anom dan keluarganya pindah ke Ciptagelar pada Mei 2001. Di Ciptarasa masih bisa ditemui bangunan kantor informasi wisata, lengkap dengan peta lokasi kampung. Ciptarasa juga masih dipakai sebagai tempat beristirahat tamu, sebelum menempuh perjalanan ke Ciptagelar. Tamu bahkan bisa menginap di bekas kediaman Abah Anom.

Dari Ciptarasa itulah Abah Anom membuat jalan khusus ke Ciptagelar, secara swadaya. Setiap hari 20 orang desa turun tangan, memecah batu dan mengaturnya hingga berbentuk jalan yang cukup untuk satu ukuran mobil sepanjang sekitar 14 kilometer. Seperti dikemukakan Abah Anom dalam perbincangan, modal dasar kerja besar itu tenaga, keinginan, dan kebersamaan. Pada kenyataannya, warga mendapat “uang lelah” Rp 10.000 untuk per meter persegi.

Kekeluargaan dan kegotongroyongan tampak dalam kehidupan sehari-hari warga Kasepuhan. Semua tamu adalah keluarga. Warga akan membuka pintunya lebar-lebar bagi siapa pun yang berkunjung ke Ciptagelar, mempersilakan untuk berteduh, menjamu, bahkan menyediakan tempat untuk menginap.

Walau terletak di “tengah-tengah” hutan, jangan bayangkan Ciptagelar gelap gulita. Rumah-rumah berpenerangan listrik. Awalnya, Abah Anom mengusahakan proyek pembangkit tenaga listrik mikrohidro. Dananya, lagi-lagi dari swadaya masyarakat. Proyek listrik kemudian membesar setelah dibantu beberapa lembaga Jepang seperti Japan International Corporation Agency dan Institut Teknologi Bandung.

CIPTAGELAR – Permukiman warga Kesatuan Adat Banten Kidul di Ciptagelar, Cisolok, Sukabumi, di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat.

Warga Kasepuhan memiliki interaksi yang kuat dengan hutan di sekitarnya. Adat menetapkan tiga jenis hutan, hutan titipan, hutan tutupan, dan hutan garapan atau hutan sempalan. Hutan titipan dianggap keramat, yang harus dijaga kelestariannya, tak boleh dimanfaatkan. Hutan tutupan adalah hutan lindung, taman nasional, hutan suaka, yang ditetapkan pemerintah melalui perundang-undangan. Hanya hutan garapan yang boleh dibuka dan dimanfaatkan untuk berhuma.

Warga adat meyakini “langit adalah bapak, dan bumi adalah ibu kami”. Untuk membuka lahan untuk huma pun, warga harus mengikuti aturan adat, meminta izin terlebih dulu kepada sesepuh. Warga tidak boleh membuka lahan di hutan titipan, tidak boleh membuka lahan di areal sumber air, juga di kawasan rawan longsor. Pembukaan lahan sembarangan diyakini bakal mendatangkan bencana.

Pembukaan lahan pun dilakukan secukupnya memenuhi kebutuhan keluarga. Warga hanya boleh menebang pohon untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk membuat rumah, dan tidak boleh menjual kayu. Itu pun setelah mendapat izin dari ketua adat. “Proyek-proyek” besar di perkampungan adat itu, seperti pembangunan jalan dan rumah, dilaksanakan secara gotong-royong.

Warga adat bertani secara tradisional. Mereka menanam padi lokal, panen hanya sekali setahun. Sebagian jenis padi merah. Bibitnya bibit lokal Halimun, seperti varitas beureum kuwi, terong batu, dan raja golek. Selain itu, mereka bertanam palawija dan sayur-mayur.

Kearifan dalam mengelola lingkungan dan nilai gotong royong yang sangat kental membuat warga Kasepuhan mampu hidup mandiri. Kemandirian itu sudah teruji. Tak ada paceklik dalam kamus mereka. Pada saat kampung atau desa setempat menghadapi masa paceklik pada 1998, warga Kasepuhan bahkan acap mengulurkan tangan membantu. Beras Kasepuhan bahkan pernah dikirim ke Angola, Afrika, ketika negara itu dilanda kelaparan.

Warga yang berkecukupan meminjamkan hasil panen kepada warga yang tak memiliki lahan. Warga juga boleh meminjam padi kepada Abah Anom. “Pada kenyataannya, kami tidak pernah berkekurangan. Bahkan Leuit si Jimat selalu utuh,” Abah Anom menyatakan rasa syukurnya.

Padi-padi disimpan di lumbung, yang berjumlah lebih dari tiga ratus lumbung di seluruh kampung adat. Leuit Si Jimat yang berdiri kokoh di depan Balai Kolot, merupakan simbol kemandirian warga Kasepuhan. Sepanjang isi lumbung itu tak pernah diambil, pertanda kejayaan komunitas itu tetap tegak, tingkat kesejahteraan warga tetap terjaga. Lumbung itu hanya disentuh setahun sekali pada upacara Seren Taun. Tiga tahun sekali, isi lumbung diganti dengan padi-padi yang baru.

Di sela-sela sibuk bertani, dengan keterampilannya menganyam, warga Kasepuhan memenuhi sendiri sebagian barang kebutuhan rumah tangga, dari bahan-bahan yang diperoleh dari alam. Di antaranya tas, caping, perabotan dapur, gelang, kalung. Tamu bisa membelinya sebagai cendera mata. Belakangan, warga membuat barang kerajinan kap lampu dari kulit labu yang dikeringkan. Unik dan artistik.

PENGANAN KHAS – Uli dari beras ketan merah maupun beras ketan putih, salah satu penganan khas Ciptagelar, disajikan secara biasa, digoreng, ataupun dibakar.

Tamu-tamu

Paling tidak setahun sekali warga adat Kasepuhan kedatangan tamu dalam jumlah besar, seperti tampak ketika mereka menyelenggarakan upacara Seren Taun. Namun, seperti pengakuan Abah Anom, setiap hari ada saja tamu bertandang ke kediamannya maupun ke Ciptagelar. Bukan hanya warga Kasepuhan sendiri, melainkan juga tamu dari kota. “Untuk meminta pendapat kepada Abah,” demikian warga mengatakan.

Ciptagelar bukanlah komunitas tertutup, seperti Baduy Dalam. Warga tidak lagi menganggap aneh kedatangan tamu dari berbagai latar belakang, termasuk tamu mancanegara. Sehari menjelang perhelatan akbar Seren Taun yang lalu, misalnya, warga Kasepuhan kedatangan tamu para crosser, di antaranya mantan Mennakertrans Al Hilal Hamdi dan aktor Mathias Muchus. Keduanya mengatakan sudah tiga kali itu berkunjung ke Ciptagelar.

Tamu dan warga membaur di Imah Gede, di lapangan kampung sambil menonton pertunjukan wayang golek, atau juga di depan perapian di dapur-dapur rumah warga. Tamu akan mereguk suasana keramahan, keterbukaan, ketulusan hati, suatu hal yang langka ditemui di era sekarang di kota-kota besar.

Kenangan itu yang terbawa pulang. Asti Megasari, reporter SCTV, bahkan memilih naik atap Land Rover Lody, ingin mereguk suasana tenteram kampung adat dan lingkungannya sepuas-puasnya.

Tak peduli tubuh terbanting-banting. Tak peduli harus turun-naik, karena lagi-lagi, dalam perjalanan pulang itu iring-iringan kendaraan sempat terhalang mobil sebuah stasiun radio yang mogok.

Semua harus turun. Semua harus turun tangan. Nilai-nilai kegotongroyongan warga Kasepuhan tampaknya sudah menular ke semua anggota rombongan.

Ciptagelar patut dikunjungi.

PEMBARUAN/SOTYATI