Pertama kali menjejakkan kaki di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Palangka Raya, yang terkesan adalah suasana sepi. Kesan itu begitu terasa dalam perjalanan dari Bandara Tjilik Riwut sampai ke hotel di tengah kota.

Jembatan Kahayan

Jembatan Kahayan (atas), Rumah-rumah terapung di sungai Kahayan

Sepi perjalanan itu ternyata tak menggambarkan kondisi keseluruhan Palangka Raya terutama pusat kota. Buktinya, Bundaran Kota Palangka Raya bak pasar malam pada malam Minggu. Ratusan motor dan mobil berderet. Masyarakat, terutama anak muda, memenuhi kafe tenda. Suara sound system bersahutan dari tenda satu dan tenda lainnya. Suasana yang sangat kontras dibanding hari biasa.

Lalu apa yang bisa dinikmati saat berkunjung ke Palangka Raya selain nongkrong di bundaran kota pada malam Minggu? Kota ini memang tidak memberikan begitu banyak pilihan untuk wisata kota.

Namun di sini ada acara yang sebenarnya cukup menarik disaksikan yakni Tiwah, prosesi kematian masyarakat Dayak Kaharingan. Ritual ini merupakan pro- sesi mengantar arwah orang yang telah meninggal memasuki surga (lewu tatau).

Upacara adat ini memiliki rangkaian panjang dari mulai menggali kuburan dan mengambil tulang-belulang jenazah, membersihkan tulang-belulang tersebut hingga membungkusnya kemudian memasukkannya ke dalam peti atau guci.

Pada upacara ini ada yang disebut hakasai yakni acara saling memberikan bedak sebagai tanda persahabatan antarpeserta tiwah. Juga tari Manganjan dan prosesi menombak hewan.

Sayang, upacara semacam ini tak bisa disaksikan setiap waktu. Hanya mereka yang beruntung datang ke Palangka Raya tepat diadakannya acara tersebut yang dapat menyaksikan. Wawan, seorang teman yang asli Kalteng, mengungkapkan, acara semacam ini melibatkan banyak orang sehingga begitu terkesan kolosal. “Biasanya tak hanya satu dua jenazah melainkan leluhur dari beberapa keluarga yang upacaranya dijadikan satu paket. Antarkeluarga biasanya patungan mengingat untuk melaksanakannya perlu biaya banyak,” katanya. Mungkin karena berbiaya besar inilah maka tak setiap waktu upacara ini bisa dilaksanakan.

Bila tak sempat menyaksikan upacara Tiwah, kita bisa melihat Sandung atau tempat menyimpan kerangka tulang-belulang manusia. Tulang yang sudah melalui upacara Tiwah tadi disimpan di Sandung melalui upacara Nyakean. Pada Sandung terdapat patung perempuan atau lelaki yang terbuat dari kayu. Patung itu berdiri di sisi kanan dan kiri Sandung yang berbentuk rumah adat yang berukuran sekitar 20 meter per segi dengan tinggi sekitar 3 meter.

Taman Kum-kum [Foto-foto: Dwi Argo Santosa]

Lokasi peletakan batu pertama kota Palangka Raya yang menjorok ke Sungai Kahayan.

Batu Banama

Objek wisata lainnya di sekitar Palangka Raya yang berhubungan erat dengan budaya adalah Batu Banama. Di sana terdapat Ritus Kaharingan dan Pura Agung Sali Paseban/Satya Dharma. Sesuai namanya, di sana terdapat batu besar yang bila dilihat dari samping berbentuk mirip sebuah bahtera yang terdampar.

Beberapa tempat wisata lainnya berada agak jauh dari kota. Pulau Kaja, misalnya, terletak di kelurahan Sei Gohong, Kecamatan Bukit Batu, atau sekitar 40 km dari Palangka Raya. Tempat ini semacam tempat rehabilitasi orangutan dan dapat digunakan sebagai tempat pelepasan sementara orangutan.

Paket wisata yang ditawarkan Sei Gohong ini antara lain adalah bersampan dari Sungai Dapur naik ke Danau Tahai dan Nyaru Menteng disambung jalan darat ke Bukit Tangkiling dan diteruskan ke Sei Gohong. Biayanya lebih kurang Rp 4 juta untuk delapan orang selama satu hari, menginap di guest house Rungan Sari.

Danau Tahai yang disebut tadi terletak di Kelurahan Tumbang Tahai, Kecamatan Bukit Batu, atau sekitar 29 km (30 menit perjalanan) dari Palangka Raya. Sedangkan Bukit Tangkiling berjarak sekitar 34 km dari Palangka Raya. Butuh waktu sekitar 45 menit menggunakan kendaraan dan untuk mencapai puncak harus melintasi jalan setapak.

Untuk mencapai tempat-tempat yang telah disebutkan tadi, minimal harus meluangkan waktu setengah hari untuk satu tempat. Untuk mereka yang tak punya waktu luang cukup, tempat paling dekat adalah Taman Kum-kum di pinggir Sungai Kahayan. Mirip dengan Taman Wisata Jurug di Surakarta, Jawa Tengah. Jurug yang berada di pinggir Bengawan Solo merupakan tempat berwisata warga kota. Demikian halnya dengan Kum-kum yang tampaknya memang dibuat untuk tempat bersantai warga kota. Di lokasi ini terdapat sejumlah bungalow terbuka. Sejak masuk ke lokasi hingga mencapai bungalow-bungalow itu, pengunjung menapaki papan-papan menyerupai berdiri di dermaga, menghadap ke sungai nan lebar.

Selain menikmati hawa sore dan makan minum, pengunjung bisa menyaksikan beberapa binatang buas yang ada dalam kerangkeng.

Perahu bermotor yang membawa pengunjung menyusuri Sungai Kahayan.

Sandung, tempat menyimpan tulang-belulang jenazah leluhur.

Berperahu

Sungai Kahayan tampaknya menjadi pilihan yang lebih menarik ketimbang Kum-kum. Sejumlah warga sekitar sungai ada yang sengaja menyewakan perahu motornya kepada wisatawan. Perahu kecil berpenumpang maksimal 10 orang itu biasanya digunakan sebagai alat transportasi. Berperahu sekitar setengah jam dengan jarak sekitar 1 kilometer menyusuri Kahayan cukup mengasyikkan.

Di sepanjang tepian Sungai Kahayan, kanan-kiri, berderet rumah-rumah sederhana. Sebagian besar bangunannya menyerupai rumah panggung terbuat dari kayu dan bambu. Sebagian lainnya menjorok ke sungai dan benar-benar mengapung.

Rumah-rumah kayu itu bak kapal yang tengah bersandar di dermaga. Di sejumlah bangunan terapung itu tampak tali berpilin besar yang membuatnya tertambat sehingga tak terbawa arus sungai.

Melintas hanya sejauh sekitar satu kilometer di sepanjang Sungai Kahayan menjadi pengalaman tersendiri ketika menyaksikan kegiatan kehidupan sehari-hari dilakukan di atas air. Budaya mandi, cuci, dan kakus, semuanya dilakukan di atas sungai. Toh, pemandangan di sungai itu tak hanya anak-anak yang mandi atau ibu-ibu yang tengah mencuci pakaian. Di sana ada bapak-bapak yang tengah menyeruput kopi sambil mengisap rokok, beberapa orang tua yang tengah bercengkerama dan sebagian lain asyik nonton TV. Ada juga yang terlihat baru bangun tidur kemudian melongok keluar jendela. Semuanya terjadi seolah-olah mereka ada di darat.

Ada warung, pompa bensin, dan pos polisi, yang di depannya tentu saja bukan jalan raya melainkan air! Maklum, semua bangunan tadi terapung.

Kendati rumah-rumah terapung itu begitu sederhana laiknya rumah petak, toh di sana-sini ada saja yang membuat geleng kepala. Beberapa rumah memiliki ruang untuk tanaman atau semacam taman. Mini, memang. Ukurannya rata-rata satu sampai dua meter persegi.

Ada juga yang memiliki halaman berupa papan. Di tengah halaman papan tadi ada pemilik yang membuat lubang, bisa berbentuk persegi atau bulat, sehingga jadilah sebuah kolam. Kehidupan yang mengingatkan pada film Waterworld yang dibintangi Kevin Costner.

Bisa jadi, kehidupan di pinggir sungai ini bukan merupakan hal baru bagi sebagian orang. Di sejumlah sungai besar di Kalimantan dan Sumatera banyak pemukiman terapung. Seorang teman berseloroh menyebut Jakarta juga punya hal serupa. Kali Ciliwung dengan gubuk-gubuk kumuh di pinggirnya! Ya, tiap daerah bisa saja punya, tapi tetap saja berbeda dan masing-masing punya keunikan.

Di Sungai Kahayan, kita bisa menyaksikan burung elang berterbangan mencari ikan. Wow, di sungai dengan air berwarna cokelat ini masih ada burung yang tak lagi banyak ditemui di kota.

Hanya ada satu-dua burung elang pada sore hari. Tidak sebanyak burung elang di Langkawi, Malaysia. Di kawasan hutan mangrove Sungai Kilim, Langkawi, terdapat kawasan elang. Wisatawan diajak berperahu khusus untuk menyaksikan pemandangan alam di sana. Sebagai maskot pertunjukan adalah puluhan elang cokelat kemerahan yang menari-nari di atas permukaan air.

Memang tidak bisa dibandingkan antara Kahayan dan Kilim. Bukan hanya soal kondisi flora dan faunanya tetapi juga soal keseriusan manusianya mengelola tempat bersangkutan menjadi daerah tujuan wisata.

Itu tadi kesan berperahu di Kahayan sebelum asap (pembakaran hutan) ramai dibicarakan. Entah bagaimana jadinya setelah asap ada di mana-mana. [Pembaruan/Dwi Argo Santosa]