Ujung Kulon sudah telanjur identik dengan badak bercula satu, banteng, dan hutan lebat yang sejak masa penjajahan Belanda sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan cagar alam. Padahal kekayaan kawasan Ujung Kulon, Provinsi Banten, tak terbatas pada kekayaan yang ada di kawasan daratannya, tapi juga termasuk kekayaan ekosistem pesisir dan lautnya.

Penulis cukup beruntung, karena diundang oleh Ody Dive Bandung, sebuah lembaga kursus menyelam yang mengajak penulis untuk turut menikmati keindahan pantai dan laut kawasan Ujung Kulon, Banten. Tentu saja, bila selama ini wisatawan lebih sering mengunjungi dunia daratan, penulis bisa menikmati keindahan dunia lain di Ujung Kulon, yaitu dunia bawah lautnya.

Bulan April memang bulan yang paling tepat untuk melakukan perjalanan di laut, karena cuaca yang mulai cerah sehingga sangat cocok untuk pemotretan. Sementara gelombang laut juga relatif cukup tenang membuat perjalanan di laut menjadi lebih menyenangkan.

Destinasi utama rombongan adalah menuju ke Pulau Peucang yang juga merupakan kawasan konservasi dan salah satu pulau favorit mantan presiden Soeharto untuk berlibur dan memancing. Penulis bersama rombongan penyelam dari Ody Dive yang kebetulan membawa sekitar delapan orang ekspatriat asal Jepang bertolak dari Marina Lippo Carita menuju Pulau Peucang. Perjalanan dengan menggunakan motor boat memakan waktu sekitar 3 jam.

Pulau Jawa yang dihiasi indahnya gunung Putri, lama-lama tampak semakin jauh, sementara pemandangan digantikan oleh hijaunya Pulau Alang-alang, berisiknya burung camar dan indahnya laut yang begitu bersih, tenang dan biru, sesaat anggota rombongan sempat berteriak, seekor ular laut tampak melintas berseberangan dengan kapal.

Awas Monyet

Rombongan pun tibalah di Pulau Peucang, pasirnya yang putih dan air lautnya yang hijau karena pantulan ganggang dan terumbu karang dari dalam air di bibir pantai sungguh menggoda hati.. Sekawanan rusa yang berada dalam status dilindungi, tampak tenang merumput di halaman penginapan, sementara sekawanan monyet memandangi rombongan dengan wajah penuh selidik.

“Hati-hati, kalau bisa jangan menyimpan barang dan kantung keresek di teras, karena nanti akan langsung disambar monyet-monyet , dikira berisi makanan,” Kapten Ridwan, kepala rombongan yang juga Dive Master dari Bandung mengingatkan seluruh peserta rombongan.

Penulis yang tadinya ingin bermain-main dengan monyet langsung mengurungkan niat, khawatir kerepotan bila peringatan Kapten tidak diindahkan.

Saat itu, sudah waktunya makan siang, rombongan yang disambut petugas Polisi Hutan dari Resor. Peucang segera menikmati santap siang di sebuah ruang makan yang dibangun dengan gaya pendopo khas Sunda.

Setelah istirahat makan selama satu jam, rombongan penyelam yang sudah tidak sabar menikmati keindahan laut segera kembali berkumpul di dermaga P. Peucang dan langsung naik kembali ke kapal, menuju ke sebelah barat pulau yaitu ke Pantai Karang Copong.

Begitu tiba di titik yang sudah ditentukan, rombongan penyelam yang sejak tadi sudah siap dengan diving suit nya (pakaian menyelam), fin (sirip), kaus tangan dan masker langsung menceburkan diri ke laut.

Seorang awak kapal segera melemparkan tangki dan regulator ke laut, ke arah para penyelam yang sudah mengapung di air. Mereka mengenakan peralatan selam di dalam air.

Rata-rata waktu menyelam, adalah sekitar 30-45 menit tergantung persediaan udara di tabung. Dua kakak beradik instruktur selam yang juga pemilik Ody Dive Jakarta, Glen Sjukri dan Michael Fauzi Erwan Sjukri sebelum menceburkan diri ke laut mengungkapkan, keindahan utama di dasar Karang Copong terutama bentukan karang bekas aliran lahar Gunung Krakatau yang pernah meletus pada tahun 1883 lalu.

“Bentuk karang di dasar laut Ujung Kulon sangat unik, karena ada alur pasir vulkanologi yang diakibatkan oleh kejadian alam saat Krakatau meletus pada abad lalu. Selain karang, kita juga bisa melihat jangkar kapal besar bekas sisa-sisa kapal VOC milik Hindia Belanda yang mungkin karam karena bencana alam tersebut,” ujarnya.

Rusa-rusa berkeliaran di halaman penginapan wisatawan di Pulau Peucang.

Dengan kedalaman laut hanya sekitar 17 meter, keindahan bawah air di kawasan Karang Copong benar-benar bisa tereksplorasi secara penuh.

Setelah sekitar 45 menit, satu-satu penyelam menyembul ke permukaan air. Senyum lebar penuh kegembiraan tampak jelas terpancar dari wajah para penyelam. Apalagi saat itu, matahari sore memancar sangat indah.

Usai menyelam, rombongan kembali bertolak ke bagian timur pulau untuk istirahat sekitar satu jam. Usai beristirahat, rombongan meneruskan perjalanan ke Pulau Panaitan.

Lumba-lumba

Tak disangka, dalam perjalanan rombongan sempat bertemu dengan sekawanan lumba-lumba yang sedang bermain-main. Segera saja seluruh rombongan yang terdiri dari dua kapal boat bersorak-sorak gembira. Beberapa kawan fotografer sempat berusaha mengambil kamera dan membidikkan lensanya ke arah mamalia air ini, namun sayang mereka kurang cepat, kawanan lumba-lumba sudah bergerak menjauh berlawanan dengan arah kapal.

“Di sini memang banyak lumba-lumba, besok juga masih bisa melihat lagi,” ujar Kapten Ridwan.

Pulau Panitan ternyata sangat cantik, bibir pantai Pulau Layar yang berpasir putih dan berwarna hijau sungguh menawan. Penulis pun turut menceburkan diri ke dalam air menikmati indahnya terumbu karang di dasar laut. Ikan karang, ikan pari, teripang, serta berbagai jenis tumbuhan laut tak habis-habisnya memancarkan keindahan. Seekor ubur-ubur kecil sempat menyengat leher penulis, namun tak menimbulkan luka, hanya sedikit rasa menyengat seperti tersulut rokok.

“Itu bukan ubur-ubur berbahaya, tapi hati-hati saja, jangan dekat-dekat,” ujar Glenn menghibur penulis yang kaget karena disengat.

Puas bermain air di Tanjung Layar, rombongan kembali bertolak ke Pulau Peucang. Kami mandi-mandi dan istirahat sekaligus makan malam.

Malam itu, pulau terpencil di Ujung Jawa yang memiliki luas 150 Ha itu ternyata cukup ramai. Serombongan wisatawan dari Eropa ternyata menggunakan waktu liburnya untuk berkunjung ke pulai ini.

“Kami dari Swedia, Jerman dan Swiss,” Ujar Elizabeth salah seorang wisatawan asal Swedia memberi keterangan pada penulis. Maka semakin meriahlah malam itu.

Malam itu, bintang berkelip sangat indah. Rombongan segera beristirahat, karena esok pagi petualangan yang seru sudah menunggu.

Pagi hari, petualangan dilakukan di sekitar Pulau Layar. Pukul 7.30 para peserta rombongan sudah siap bertolak dengan kapal menuju ke titik penyelaman berikutnya.

Seperti ramalan sang Kapten, sekawanan lumba-lumba kembali terlihat di jalur pelayaran, dan kali ini seluruh isi rombongan sudah siap dengan kameranya masing-masing, maka bunyi klik-klik kamerapun terdengar seperti berlomba menangkap gambar.

Pulau Layar ternyata tampak sangat kokoh, sebaris karang setinggi belasan meter tampak menjulang hingga keluar dari air dan tempat itu lebih akrab disebut karang jajar.Sebuah mercusuar yang dibangun sejak zaman Belanda turut menjadi salah satu titik pemandangan yang menarik.

Petugas pemantau dan perlindungan badak Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)

Para penyelam yang sudah tak sabar, langsung menceburkan diri ke laut, namun karena arus laut yang cukup kuat dan angin yang kencang membuat beberapa penyelam terseret ke arah laut lepas, sehingga awak kapal terpaksa menjemput mereka dan melemparkan tali dan pelampung ke arah para penyelam. Kapal kemudian menarik mereka untuk kembali ke titik penyelaman.

Ibu Nani, salah seorang penyelam memutuskan untuk batal menyelam karena kelelahan akibat melawan arus saat ditarik kapal. Kondisi lengannya yang belum pulih dari cedera saat bermain golf di Jakarta membuatnya tak yakin untuk menyelam.

Meski ombak mengayun cukup kuat dan angin berhembus kencang, sementara langit juga tampak kelabu namun tidak menyurutkan tekad para penyelam untuk bertualang di dunia lain. “Hujan dan ombak tak menghalangi kami untuk menyelam, karena biasanya kondisi di bawah air tetap tenang meski di permukaan air tampak mengamuk,” ujar Tohru Fukuya, seorang ekspatriat Jepang yang sudah mencapai tingkat instruktur selam, menjelaskan pada penulis.

Bertemu Hiu

Kali ini, rombongan penyelam cukup beruntung. Tanpa diduga, di kedalaman 40 meter mereka bertemu sekawanan hiu dan sekawanan baracuda.

“Wah, ini adalah kali pertama saya bertemu hiu, rasanya luar biasa sekali. Lumayan deg-degan, apalagi mengingat mereka makhluk ganas, tapi ternyata mereka santai saja dan berenang berputar-putar,” ujar Ridwan.

Tohru yang sudah delapan tahun tinggal di Indonesia turut menimpali dengan logat Jepangnya yang kental, “Pengalaman ini ruar biasa he, ini adalah aset Indonesia dan sudah seharusnya pemerintah menjaga ini. Di Jepang, banyak tempat menyelam, tapi tidak seindah di sini he,” ujarnya sambil tersenyum dengan diiringi gerakan kepala yang terus mengangguk-angguk.

Karena penasaran, setelah istirahat selama satu jam, mereka pun kembali menyelam di tempat yang sama. “Bertemu hiu itu termasuk kejadian langka, saya belum puas dan ingin melihat lagi,” ujar Riza, seorang peneliti muda dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan yang turut serta dalam rombongan.

Namun kali ini rombongan penyelam tampaknya kurang beruntung, kawanan hiu ternyata sudah bergerak menjauh dan tak seekorpun hiu bisa mereka lihat di dalam air.

Petang hari, penulis sengaja tidak ikut trip ke Pulau Layar karena berniat mengitari Pulau Peucang dengan berjalan kaki. Seorang petugas Rhino Monitoring Protection Unit (RMPU) bernama Sorhim yang sehari-hari bertugas menjaga kawasan konservasi Badak di Ujung Kulon ternyata bersedia memandu penulis.

“Kita ke Karang Copong saja, jaraknya sekitar 4 km ke arah barat. Selama perjalanan kita bisa melihat merak, kijang, babi hutan, burung rangkong, elang dan di Karang Copong kita bisa menikmati sunset,” katanya.

Tanpa banyak bertanya penulis langsung setuju. Dan kamipun berjalan selama 1,5 jam menyusuri hutan tropis yang datar dan medannya tidak terlalu sulit. Penulis bahkan hanya menggunakan sendal jepit, celana ukuran tanggung dan topi pelindung. Santai sekali.

Ternyata pak Sorhim benar, seluruh binatang yang disebutkannya muncul satu-satu dari pedalaman hutan. Dua ekor merak yang sedang bermain dengan anak kijang, tampak di sebelah kanan jalan setapak, jaraknya tak kurang dari 5 meter dari penulis. Semenyata burung rangkong yang kibasan sayapnya terdengar seperti putaran baling-baling helikopter terdengar terus menerus sepanjang perjalanan. Tampaknya mereka sedang mencari makan di sore hari, atau sekadar bermain dari pohon ke pohon.

Tiba-tiba saja sekeluarga babi hutan berjalan beriringan menuju sarang, mereka sangat tergesa-gesa, mungkin takut pada manusia karena mereka termasuk makhluk pemalu.

Senja di Karang Copong ternyata memang indah, sejauh mata memandang langit tampak biru dan saat matahari terbenam, semburat memerah tampak memancarkan keindahannya.

Ah, menikmati sunset di ujung barat Pulau Jawa memang menyenangkan.

– PEMBARUAN/RIESKA WULANDARI