Pesona Bung Karno seolah tak habis-habisnya. Bukan hanya ketika masih hidup dan berkuasa, makamnya hingga kini pun masih terus ramai oleh warga masyarakat dari berbagai daerah yang berziarah. Bahkan, rumah keluarga yang kini dijadikan museum, pun tak pernah sepi pengunjung.

“Mak, ini kamarnya Mbah Karno, ya? Boleh masuk, Mak?” tanya seorang bocah berusia 7 tahunan kepada ibunya. “Iya, Le, kita boleh lihat tempat tidurnya Bung Karno. Dia presiden kita, Le, yang bikin Indonesia merdeka,” jawab sang ibu, warga desa dari pinggiran Blitar.

Minggu siang itu rumah kakak perempuan Bung Karno di Jalan Sultan Agung, Blitar, dikunjungi warga masyarakat silih berganti. Rumah itu dua tahun belakangan difungsikan sebagai museum, dan disebut Istana Gebang oleh Mbah Kancil alias Mbah Warno alias Ki Dalang Notocarito, sepupu Bung Karno yang pernah menjadi ajudan Bapak Bangsa itu. Orang lebih mengenalnya sebagai rumah Bu Wardoyo.

Setiap hari ada saja warga yang berkunjung ke rumah tua yang tak terlalu besar itu, yang bersebelahan dengan bangunan yang diarsiteki oleh Bung Karno sendiri. Walaupun sudah lebih dari 30 tahun Bung Karno wafat, masyarakat tetap ingin melihat kamar yang pernah dipakainya tidur, meja dan kursi yang digunakannya membaca dan menulis, bahkan untuk sekadar berfoto di depan lukisannya di ruang tamu.

Di halaman depan, beberapa penjual t-shirt bergambar Bung Karno menggelar dagangannya.

Dilengkapi museum

Kecintaan rakyat kepada Bung Karno makin terasa kalau kita berkunjung ke makam tokoh jenius yang flamboyan itu. Kaca pembatas ruang makam sudah lama dibongkar, sehingga terasa lebih enak duduk di samping makam. Pendopo makam itu juga dapat lebih banyak menampung peziarah secara lebih nyaman.

Setiap hari, sejak pagi hingga sore hari, makam yang sebetulnya berada di pemakaman umum itu ramai oleh peziarah. Kalau makam Jumat, atau bertepatan dengan hari lahir (weton) Bung Karno, makam itu selalu lebih ramai oleh peziarah. Apalagi bertepatan dengan hari-hari besar, ribuan orang memadati kompleks pemakaman itu.

Mereka datang dari beragam usia dan status. Permadi, SH, yang dikenal sebagai “penyambung lidah Bung Karno” hanyalah salah satu warga masyarakat yang rajin berkunjung ke sana. “Biasanya Pak Permadi datang ke makam pada malam hari,” ujar salah seorang penjaga makam.

Sebagai tempat ziarah, komplek makam Bung Karno telah dilengkapi dengan perpustakaan dan museum. Bahkan, halaman dan taman di sekitar makam telah ditata sedemikian rapi, bersih, dan indah.

Relief yang khas Bung Karno menghiasi satu sisi halaman, termasuk gambaran Bung Karno berdiri melambaikan tangan kepada rakyat dari dalam mobil terbuka. Sebuah patung besar Bung Karno duduk sambil membaca buku menjadi daya tarik ruang luar museum.

Di dalam museum kita bisa menyaksikan koleksi foto-foto Bung Karno dalam berbagai kesempatan dan bersama para tokoh dunia. Beberapa lukisan dan barang-barang pribadi peninggalan Bung Karno juga kita temukan di sana.

Gendar pecel & serba telo

Dalam perjalanan dari Surabaya, kita memerlukan waktu sekitar lima jam menggunakan mobil. Kalau dari Malang sekitar 2,5 jam. Seandainya tidak terbayang mau menginap di mana di kota Blitar, di sana ada hotel berbangunan tua bernama Sri Lestari, yang kini dikelola oleh jaringan Hotel Tugu yang dikenal jago menyajikan nuansa kuno. Sarapan gendar pecel di hotel itu luar biasa sedapnya.

Di tengah perjalanan antara Surabaya-Blitar, kita akan menjumpai toko oleh-oleh sangat besar (Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu) yang menjual makanan serba telo (ubi jalar) organik. Bukan hanya keripik, tetapi juga bakpia, bakpao, mi, bahkan es krim yang semuanya dari telo beragam jenis. Tepatnya ada di Jl. Raya Purwodadi No. 1 Kabupaten Pasuruan.

Tentu saja, di pinggir jalan di seberang kompleks makam Bung Karno, kita juga bisa menemukan berderet kios yang menyediakan aneka suvenir dan t-shirt bergambar Bung Karno. Sangat menarik untuk kenang-kenangan.

Ziarah, yuk?

Sumber: Senior