Air Sungai Danube berkilat-kilat tertimpa sinar matahari musim panas. Magnet Budapest mulai tampak begitu memasuki Jembatan Elizabeth. Menatap lurus ke depan, tampak bangunan- bangunan kuno penuh ornamen.
“The Paris of East Europe” adalah julukan Budapest. Tak salah kalau banyak orang jatuh cinta kepada ibu kota Hongaria itu. Kuno, megah, klasik, dan cantik.

PEMBARUAN/ADITYA L DJONO

BUDAVARI SIKLO – Salah satu tujuan wisata di tengah Kota Budapest, berkendara dengan Budavari Siklo, naik bukit, menatap birunya Sungai Danube dan keramaian kawasan Pest.

Jika pernah berkunjung ke Praha di Ceko atau Bratislava di Slowakia, sekilas Budapest tak berbeda jauh. Sebuah kota, dengan sungai besar membelahnya, serta dengan deretan gedung-gedung kuno artistik di kiri-kanannya.

Daya tarik sekilas ketika memasuki “gerbang” Budapest itu, ternyata mampu menyeret untuk menggali pengetahuan. Hongaria bukan sekadar negara yang terkenal dengan atlet-atlet anggarnya. Hongaria selama ini dikenal melalui tiga komponis kenamaannya, Franz Liszt yang menciptakan Hungarian Rhapsodies, Ferenc Erkel yang mencipta lagu kebangsaan Hongaria, dan Bela Bartok yang memperkenalkan musik tradisional Hongaria ke seluruh penjuru dunia.

Tak sebatas itu. Catatan sejarah yang panjang, tercermin dalam penampilan Budapest yang merupakan persenyawaan dari kebudayaan Astro-Hongaria, Mongolia, Turki, Celtik, Serbia. Negeri itu melahirkan penulis-penulis kenamaan. Satu di antaranya, Imre Kertez, penerima Nobel bidang Kesusasteraan tahun lalu. Negeri itu juga melahirkan seorang Erno Rubik, penemu permainan kubus berwarna yang terkenal di dunia.

Apa yang bisa dilihat di Budapest dalam waktu kunjungan satu-dua hari? Tak banyak memang. Tetapi, bukannya sia-sia. Melalui kunjungan singkat, kenangan akan kecantikan Budapest tidak mudah terhapus. Bersyukur rasanya bertemu Yanto. Pria Indonesia yang

sudah menetap 20 tahun di Budapest itu, memilihkan beberapa tempat kunjungan wisata bernilai sejarah.

PEMBARUAN/SOTYATI

HERO SQUARE – Monumen, tugu, colonnades, untuk memperingati pahlawan dan pejuang di Hero Square, tempat tujuan wisata di Kota Budapest.

Hero Square

Yanto menyarankan Hero Square sebagai tujuan wisata pertama pagi itu.

Bayangan bakal menapaki lapangan luas berumput lenyap ketika mobil menepi di suatu kawasan seperti lapangan basket raksasa. Jadi, itu rupanya Hero Square. Di tengah-tengahnya mencuat ke langit setinggi 36 meter, pilar raksasa, tugu kokoh. Millenary Monument namanya. Di puncaknya tampak patung Malaikat Gabriel. Malaikat Penjaga yang menyimbolkan kemenangan. Pada dasar tugu, tampak patung-patung perunggu yang menggambarkan manusia-manusia berkuda yang gagah.

Tugu raksasa itu diapit collonnades, tiang-tiang yang dihubungkan atap, melengkung, selebar 85 meter. Di celah-celah tiang, tampak patung-patung raja Hongaria dan tokoh-tokoh perang kemerdekaan. Di dasarnya, tampak relief yang menggambarkan perjalanan sejarah, yang berbeda di kiri dan kanan. Relief sebelah kiri menceritakan proses Perang, Perdamaian, dan Ilmu Pengetahuan. Relief di sebelah kanan menggambarkan Perang, Perdamaian, dan Kejayaan.

Di dasar tugu, juga bisa dijumpai patung-patung para pejuang kaum Magyar, sebutan diri orang Hongaria, dengan tokohnya, Arpad, di tengah. Tak jelas kapan mulai dibangun, tetapi pembangunan kompleks monumen bagi pahlawan itu selesai tahun 1929. Patung-patung itu dibuat oleh artis kenamaan Hongaria, Gyorgy Zala, dengan desain arsitektur dikerjakan Albert Schikedanz.

Kesan artistik semakin terasa kental melihat bangunan-bangunan di sekelilingnya. Jika menghadap tugu, tampak di sebelah kanan Art Gallery, bangunan yang menyimpan dan memamerkan karya-karya seni kontemporer. Bangunannya klasik, didominasi bata terakota, dengan sentuhan arsitek Yunani.

Pada sisi sebelah kiri, berdiri tegak Museum of Fine Arts, yang pembangunannya selesai tahun 1900. Salah satu ruang pamerannya, disebut The Old Gallery, menyimpan karya pelukis terkenal seperti Rembrandt, Greco, Goya, Velazquez, Breughel, Raffaello. Museum itu menjadi lokasi pembuatan film Evita yang dibintangi Madonna.

PEMBARUAN/ADITYA L DJONO

CHAIN BRIDGE – Jembatan yang menghubungkan wilayah Buda dan Pest, dibangun seorang insinyur Skotlandia atas ide Count Istvan Szechenyi, foto diambil dari wilayah Buda.

Menyusur Sungai

Salah satu ikon ternama Budapest adalah Sungai Danube. Sungai terpanjang kedua di Eropa sesudah Sungai Volga itu, membelah kota Budapest. Menilik sejarah pembentukannya, Sungai Danube menggabungkan wilayah Obuda, Buda, dan Pest, menjadi Pest-Buda pada 1873. Terasa tidak enak pengucapannya, nama itu akhirnya diganti menjadi Budapest.

Bangsa Romawi menamakan sungai itu Danubius, sebagai salah satu bentuk persembahan kepada Tuhan. Danubius seakan bertanggung jawab terhadap keelokan Budapest. Penulisannya bermacam-macam. Ada yang menyebutnya Donau, kadang dituliskan Dona, atau Donaji.

Mengenai Buda dan Pest, masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Wilayah Buda berada di bawah perlindungan badan PBB, yakni UNESCO. Wilayah itu dilindungi sebagai kota tua, karena di dalamnya banyak berdiri bangunan bersejarah. Di antaranya Istana Raja (Royal Palace), Gereja St Mathias yang dikelilingi Benteng Nelayan. Di samping itu, Buda merupakan wilayah residensial.

Sebaliknya, Pest merupakan wilayah bisnis dan pusat kegiatan pemerintahan. Di wilayah itu terletak Gedung Parlemen yang merupakan pusat pemerintahan Hongaria, di samping juga bangunan-bangunan komersial yang tetap mempertahankan arsitektur klasiknya.

Meski menjadi ibu kota dari sebuah negara maju di daratan Eropa, kita tidak akan menemukan gedung pencakar langit di Budapest. Pemerintah setempat hanya memperbolehkan gedung dibangun maksimal 23 lantai, atau hanya separo tinggi Wisma BNI di kawasan Sudirman, Jakarta, yang memiliki 46 lantai.

Gedung-gedung di Budapest, ketinggiannya tidak boleh melebihi tinggi menara Gereja St Mathias. Gereja yang dibangun pada abad pertengahan dan dibangun kembali pada 1896 itu salah satu tempat bersejarah bagi Bangsa Hongaria.

Danube, sebagai sebuah ikon, sudah sewajarnya sungai itu menjadi salah satu daya tarik wisata di Budapest. Hongaria yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa itu, setiap tahun dikunjungi tak kurang dari 40 juta wisatawan.

Menyusuri Sungai Danube menjadi salah satu agenda yang tak boleh dilewatkan bilamana mengunjungi Budapest. Terutama di malam hari, panorama gedung-gedung berarsitektur klasik khas Eropa Timur di sepanjang sungai yang dihiasi lampu-lampu, memikat hati untuk melangkahkan kaki ke salah satu dari sekian banyak dermaga perahu yang tersedia. Keindahan jembatan-jembatan berhiaskan lampu yang membentang di atas sungai, mengundang kita untuk berperahu melintas di bawahnya.

Untuk dapat menyusuri Sungai Danube, tiket dijual seharga sekitar Rp 150 ribu per orang. Tentu lumayan mahal untuk ukuran kantong orang Indonesia. Perahu terdiri atas dua dek. Umumnya orang memilih di dek atas yang tak beratap. Sembari menghirup hawa segar, mata leluasa menyapu pandangan ke segala arah.

Bagi penumpang yang rasa ingin tahunya besar, di setiap bangku disediakan perangkat audio yang memberi penjelasan mengenai sejarah singkat Budapest dan gedung-gedung yang dilewati, dengan pilihan 30 bahasa. Penumpang pun disuguhi minuman bir dan anggur sebagai teman di perjalanan.

Bangunan Royal Palace nan megah dengan kubah yang memancarkan cahaya lampu berwarna keemasan, menjulang tinggi mengundang mata dan kamera wisatawan untuk mengabadikannya. Selain itu, keindahan malam di sepanjang Sungai Danube, diwarnai pula eksotisnya Gedung Parlemen dengan atap kubahnya yang seperti Gereja Blenduk di Semarang, Jawa Tengah. Tak ketinggalan pula menara Gereja St Mathias dan Vigado Concert Hall, yang kesemuanya bermandikan lampu di atapnya, menambah pesona wisata menyusuri Sungai Duma di malam hari.

Pesona Danube, tak hanya berasal dari keelokan pancaran lampu dari gedung-gedung di sisi kiri dan kanan, tetapi juga dari jembatan-jembatan yang melintas di atasnya. Dari sekian banyak jembatan, restoran perahu melintas di bawah tiga jembatan, yakni Liberty, Elizabeth, dan Chain, yang kesemuanya bermandikan cahaya.

Paling terkenal, Jembatan Chain (Chain Bridge). Jembatan itu langsung mengarah ke Royal Palace. Di samping itu, di kedua ujung jembatan, dijaga oleh patung seekor singa di tiap sisi kiri dan kanannya. Uniknya patung singa yang tampak garang dengan mulut menganga itu ternyata tidak memiliki lidah.

Jembatan itulah yang pertama kali dibangun untuk menghubungkan Buda dan Pest, hingga dinamai Chain Bridge (Jembatan Rantai). Batu fondasi Chain Bridge pertama kali ditanam di dasar Danube pada 1842, dan pertama kali dibuka untuk lalu-lintas pada1849.

Setelah melintasi tiga jembatan, perahu pun memutar haluan dan kembali ke dermaga. Tak terasa perjalanan menempuh waktu satu jam.

PEMBARUAN/SOTYATI

CENDERAMATA – Kios cenderamata khas Hongaria di Citadella di kawasan Buda, sayang harga yang ditawarkan jauh lebih mahal daripada di pasar di tengah kota.

Budavari Siklo

Menyeberangi Chain Bridge dengan berjalan kaki dari arah Pest, pandangan mata akan tertuju pada dua benda mirip gerbong kereta berukuran mini, yang bergerak naik-turun bergantian, menempel di punggung sebuah bukit berkemiringan sekitar 45 derajat. Dua benda dimaksud ternyata alat angkut penumpang, yang dinamai Budavari Siklo, untuk naik ke bukit yang merupakan kompleks Istana. Dari atas bukit di ketinggian tak kurang dari 100 meter itu, pengunjung dapat menikmati panorama Sungai Danube dari arah Buda, sekaligus panorama wilayah Pest.

Kendaraan itu mulai dioperasikan pada 1860. Cara kerjanya cukup unik namun sederhana, yakni menggunakan prinsip katrol (kerekan). Tersedia dua gerbong mini, masing-masing berkapasitas 10 orang, bergerak di atas dua jalur rel berdampingan. Gerbong di kiri tersambung dengan gerbong di sisi satunya, dengan menggunakan tali baja. Pusat katrol sekaligus mesin penggerak berada di sebuah bangunan kecil, sebut saja stasiun, yang terletak di puncak bukit.

Manakala salah satu gerbong bergerak turun menuju stasiun di bawah, gerbong di sisi satunya akan tertarik menuju stasiun di atas. Demikian sebaliknya. Mirip orang menimba air di sumur. Dengan demikian setiap gerbong akan tiba dan berhenti di stasiun pada saat yang bersamaan.

Dari dalam gerbong saat bergerak naik, pengunjung dapat menyapu pandangan ke arah Pest, menyaksikan Sungai Danube, Gedung Parlemen, juga keramaian lalu-lintas di Chain Bridge.

Citadella

Di sekitar kompleks Istana terdapat pula objek wisata menarik lainnya, seperti Benteng Citadel (Citadella) serta Bukit Gellert. Nama St Gellert diabadikan, karena dialah penyebar agama Katolik pertama kali di Hongaria pada abad ke-9. Gellert meninggal dibunuh oleh bangsa bar-bar, dengan cara dimasukkan ke dalam keranjang, dan ditenggelamkan ke Sungai Danube.

Citadella menjadi salah satu tujuan wisata di Budapest. Benteng yang dibangun di bukit berketinggian sekitar 700 meter dari permukaan air laut oleh Dinasti Habsburg itu pada kenyataannya seperti dikatakan Steve Fallon dalam buku Hungary keluaran Lonely Planets, tidak pernah dipakai untuk berperang.

Benteng itu dibangun sesudah Perang Kemerdekaan pada 1848-1849 untuk menahan serangan pemberontak. Sumber yang lain menyebut benteng itu dibangun sebagai sarana pengintai. Benteng itu diserahkan kepada pemerintah kota sebagai peninggalan sejarah. Di kawasan itu kini dibangun hotel, hostel, restoran, kasino, kafe terbuka, yang tak pernah sepi pengunjung.

Dari lokasi parkir, para wisatawan berjalan ke suatu tempat khusus, untuk menatap pemandangan kota nun di bawah. Di tempat itu tersedia bangku-bangku dan meja dari batu, tetapi umumnya orang malah memanfaatkannya untuk pijakan berdiri, demi bisa memandang lebih baik ke bawah.

Kalau saja lebih banyak waktu untuk berkeliling Budapest. Bagaimanapun, benar kata Yanto, Budapest tak mudah dilupakan. Koszi!

PEMBARUAN/ SOTYATI dan ADITYA L DJONO