Janji Allah Robul Alamin. Kita diberi Tuhan untuk perang sabil. Itulah harga diri mengukir derita. Janji Allah tidak pernah cacat. Wakil teungku dari uleebalang. Itulah bagian perang yang engkau berikan. Di Bawah langit di atas bumi. Di alam ini, tidak ada yang abadi.

Terjemahan dari Hikayat Perang Sabil berbahasa Aceh yang tertulis di makam pahlawan perempuan Aceh, Tjut Nyak Dien (TND) memilih terjun ke medan perang. Makam yang terletak di kaki Gunung Puyuh, Sumedang Jawa Barat, itu menimbulkan pertanyaan dalam benak. Pejuang Aceh, kenapa makamnya ada di Sumedang?

Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita telusuri jejak sejarah perjuangan Srikandi Nasional dari cerita Nana Sukmana, juru kunci makam. “Meskipun Tjut Nyak – begitu Nana memanggilnya – sudah 100 tahun wafat, namun, menyisakan hal-hal menarik sehingga tetap dikagumi. Tjut Nya merupakan pahlawan perjuangan, bukan pahlawan pergerakan,” ujar Nana, yang sudah 25 tahun merawat makam itu.

Awal perjuangannya mendampingi suami pertama, Teuku Ibrahim Lamnga yang syahid ditangan serdadu Belanda, 29 Juni 1878 di Sela Glee Tarun, Aceh Besar. Lalu, Tjut Nyak Dien menikah lagi dengan Panglima Perang Aceh lainnya, Teuku Umar yang akhirnya juga gugur dalam usia 45 tahun setelah ditembak marsose Belanda pada 11 Februari 1899, di Pantai Ujung Kala Meulaboh, Aceh Barat.

Semangat perjuangannya tak pernah padam, ia tetap melanjutkan mengusir penjajah dari bumi rencong selama enam tahun. Hingga pada 6 November 1905, Tjut Nyak Dien berhasil ditangkap Belanda karena ulah seorang cuak (orang yang menjebak atau pengkhianat).

Dalam keadaan sakit rematik dan rabun, perempuan perkasa itu digiring ke Kutaraja (Banda Aceh) dengan dalih pengobatan untuk dirinya. Rakyatnya yang setia selalu menengok bersama-sama sehingga membuat kolonial Belanda khawatir.

Seorang guru ngaji dengan julukan Perbu Seberang, alias Ibu Ratu dari seberang. Sangat berkharisma dan ia dikagumi penduduk sekitar. Mereka percaya perempuan perkasa itu bukan orang sembarangan.

Pada November 1908, akhirnya pahlawan putri seberang ini wafat di pembuangan dalam usia 60 tahun. Karena kharisma dan kewibawaannya, ia dimakamkan di komplek makam pangeran atau keturunan Bupati Sumedang. Sampai meninggalnya tidak ada seorangpun yang mengetahui siapa sebenarnya sang guru ngaji tersebut.

Rasa penasaran ini baru terkuak setelah Gubernur Aceh Ali Hasjmy berkunjung ke Perpustakaan Leiden, Belanda dan mendapatkan arsip ada pejuang Aceh yang dibuang ke Sumedang. Maka pada 1959 dilakukan pencarian, ditemukanlah makam Tjut Nyak Dien ini.

Semenjak itu Sumedang gempar. Sempat terjadi kontroversi antara warga Sumedang dan rakyat Aceh. Pasalnya Aceh akan memindahkan makam ke daerah asalnya, namun pihak Sumedang menolak. Perebutan pahlawan akhirnya mereda setelah pemerintah pusat turun tangan. Memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Tjut Nyak Dien dan memutuskan makam tetap pada tempatnya.

“Tjut Nyak Dien bukan hanya milik orang Aceh dan Sumedang, melainkan milik bangsa ini,” kata Nana Sukmana setiap kali kepada setiap peziarah yang datang.

Suasana makam yang begitu hening, sejuk dengan udara pegunungan merupakan peristirahatan yang tenang kendati jauh beratus kilometer dari tanah kelahiran Tjut Nyak yang telah beristirahat panjang. Banyak sudah para pelancong sejarah bahkan para petinggi negeri ini bertandang. Itu semua dapat dilihat dari buku tamu yang sengaja disediakan di makam itu.

Sejarah yang Sempat Terlupa

Tjut Nyak Dien adalah ikon perempuan pejuang dari Aceh. Lahir di Lampadang, 1848, putri Teuku Nanta Setia, seorang Hulubalang VI Mukim, yang masih keturunan Mahmud Sati, perantau dari Sumatera Barat.

Sejarah tentangnya mengalir deras dalam syae (cerita) masyarakat Aceh. Sekian lama ia dikisahkan oleh masyarakat, tetapi tidak pernah tercatat dalam lembaran sejarah bangsa, dianggap mitos oleh masyarakat nasional dan elite.

Bahkan, ketika dinobatkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Presiden Soekarno, makamnya belum seperti cagar sejarah nasional. Bahkan, karena sejarah yang begitu kuat, cerita kepahlawanan Tjut Nyak Dien pernah pula diangkat dalam film yang diperankan Christine Hakim.

Kini, makamnya telah menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Sumedang.

Sumber: Majalah Travel Club