Def Nehe (20 tahun), pemuda Ono Niha asli dari Desa Bawomataluo, mempertontonkan kemahirannya melakukan atraksi lompat batu.

Def Nehe (20 tahun), pemuda Ono Niha asli dari Desa Bawomataluo, mempertontonkan kemahirannya melakukan atraksi lompat batu.

Kepercayaan animisme masyarakat Nias berangsur punah sejak datangnya agama. Namun, keberadaan patung-patung penjelmaaan para dewa Ono Niha masih dapat disaksikan hingga sekarang. Benda-benda megalit tersebut bahkan jadi salah satu daya tarik wisata Pulau Nias.

Takjub! Itulah perasaan yang langsung menyergap benak saya ketika memulai perjalanan menuju Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan pada awal Januari silam. Laut biru luas membentang dihiasi ombak putih yang bergulung-gulung berkejaran hingga menyapu bibir pantai. Nyiur yang tumbuh berjajar rapi di sepanjang pinggir pantai menawarkan kesejukan di tengah teriknya mentari pada siang hari.

Nias dikenal luas sebagai daerah favorit para penyuka olahraga berseluncur (surfing). Ombaknya tinggi. Pantai di Nias Selatan yang eksotis, bahkan pernah masuk dalam lima besar kawasan paling ideal di dunia untuk ber-olahraga surfing. Sayang, Nias tak lagi banyak disambangi para wisatawan sejak dihantam gempa bumi dan gelombang tsunami beberapa tahun silam.

Kerinduan akan hadirnya wisatawan terlihat jelas ketika saya menapakkan kaki ke Desa Bawomataluo, atau yang berarti “Bukit Matahari”.
Def Nehe, pemuda Nias berusia 20 tahun, bergegas menghampiri sesaat setelah saya dan beberapa rekan dari Deplu tiba di Bawomataluo, desa Nias kuno yang berada di atas perbukitan. Kami menyempatkan diri singgah ke sana di sela-sela peresmian sekolah terpadu di Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, yang merupakan bantuan dari Deplu.

“Mau lihat lompat batu, Kak?” sapa Def. Ia berperawakan sedang, dan bermata sipit mirip orang Tionghoa, yang dalam berbagai kajian sejarah disebut-sebut nenek moyang orang Nias. Def seolah tahu apa yang sedang kami cari. Ya, kata orang, belum lengkap rasanya jika berkunjung ke Nias tanpa menonton lompat batu di Desa Bawomataluo.

Tradisi lompat batu awalnya merupakan simbol kedewasaan seorang pemuda. Ada semacam tradisi yang dulu hidup di tengah masyarakat Nias Selatan, bahwa seorang pemuda yang ingin menikah harus bisa lompat batu. Jika tidak bisa, sang pemuda harus siap-siap menghabiskan sisa usianya dengan hidup melajang. Sedangkan di Gomo, Nias Tengah, pemuda yang ingin menikah harus bisa mempersembahkan kepala orang kepada calon mertua. Tanpa itu, diyakini pasti akan ada sesuatu yang terjadi di belakang hari, entah bencana atau kekisruhan dalam keluarga.

Namun, sejak datangnya agama, tradisi-tradisi tersebut tidak lagi berlaku. Lompat batu kini semata-mata jadi hiburan bagi para wisatawan. Sebelum lompat batu dipertontonkan, para pengunjung harus memastikan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Dan, jangan segan-segan untuk menawar. Untuk tiga kali lompatan, Def meminta kami membayar Rp 400.000. Wuihh…mahal juga, ya. Ia berkilah, sebanyak 25 persen uang yang diperolehnya harus diberikan ke kas desa. Kami pun akhirnya sepakat.

Setelah mengenakan baju tradisional Nias, keahlian yang dipelajari Def selama tiga tahun sejak usia 17 tahun siap dipertontonkan. Kami tegang menyaksikan Def mulai berlari setelah mengambil ancang-ancang dari jarak sekitar 25 meter. Dan, huuuuppp! Tubuh Def melayang melintasi batu setinggi 2,1 meter tersebut sebelum kakinya yang kokoh menjejak tanah dengan sempurna. Kami terkesima, dan langsung bersorak-sorai gembira.

Rumah adat Nifolasara di Desa Bawomataluo yang dibangun pada 1870 ini salah satu dari empat buah rumah Nifolasara yang masih tersisa di Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan.

Rumah adat Nifolasara di Desa Bawomataluo yang dibangun pada 1870 ini salah satu dari empat buah rumah Nifolasara yang masih tersisa di Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan.

Tinggi batu awalnya hanya 1,8 meter. Tetapi, susunan batu turun akibat gempa. Tinggi batu akhirnya dinaikkan lagi menjadi 2,1 meter. Anak-anak Desa Bawomataluo tak melewatkan kesempatan menawari kami berbagai cendera mata. Saya membeli tiga gelang manik-manik yang masing-masing seharga Rp 15.000, dan tiga kalung tradisional dengan harga serupa. Sebuah ukiran kayu berbentuk dewa yang berukuran kecil tergantung di ujung untaian kalung. “Adu Zatua,” kata mereka tentang sosok patung itu.

Museum Nias

Saya baru mengerti tentang sosok dewa ini ketika singgah keesokan harinya ke Museum Pusaka Nias di Gunungsitoli. Beragam patung dipamerkan di museum yang dikelola apik oleh Yayasan Pusaka Nias, yang dipimpin oleh Pastor Johannes Maria Harmmerle, OFMCap.

Menurut petugas museum, Adu Zatua adalah salah satu alat kepercayaan orang Nias kuno. “Patung Adu Zatua berasal dari seseorang yang bernama Tedehia,” ia menuturkan. Menurut tradisi Gomo, leluhur orang Nias yang bernama Tedehia selalu merelakan hal-hal terbaik bagi anak-anaknya. Sebelum ajal, Tedehia berpesan kepada anak-anaknya agar jika ia meninggal nanti, jantungnya diambil dan dimasukkan ke dalam botol.

Pesan Tedehia dilaksanakan. Tetapi, ada istri dari salah seorang anaknya yang berhati jahat. Ia rupa-rupanya bosan dengan petuah yang selalu disuarakan oleh jantung yang berada di dalam botol tersebut. Jantung lalu dibuangnya ke sungai. Betapa terkejut anak-anak mendiang Tedehia ketika pulang ke rumah. Mereka menyaksikan jantung di dalam botol sudah tidak ada lagi. Sia-sia upaya mereka mendapatkan kembali jantung sang ayah. Mereka akhirnya membuat patung Adu Zatua.

“Adu Zatua atau patung leluhur disembah orang-orang Nias kuno ketika hendak ataupun sesudah pulang bepergian. Juga pada saat mereka sakit,” ujar petugas museum itu. Menyembah nenek moyang dan memuja patung leluhur merupakan kepercayaan asli orang-orang Nias atau Ono Niha.

Banyak barang kuno Ono Niha sangat unik dipamerkan di museum. Seperti baju tradisional dari kulit kayu, peralatan mengunyah sirih (afo), Osa-osa atau tandu usungan yang dipakai para bangsawan dalam pesta pengukuhan dan pengakuan status sosial, arca-arca megalit berbentuk kepala makhluk yang terbuat dari batu kapur, hingga tiruan rumah adat Nifolasara atau Omo Nifolasara.

Bagi masyarakat Nias, rumah diibaratkan sebagai perahu besar. Tidak mengherankan, bagian depan rumah masyarakat Nias kuno dihiasi dengan kepala haluan bagian depan perahu. Namun, hanya bangsawan tertinggi atau Balozi Olo yang bisa memiliki ukiran seperti itu di dalam rumahnya. [Suara Pembaruan/Elly Burhaini Faizal]