erauMulawarwan menorehkan kisah kejayaan kerajaannya di lingga-lingga pengorbanan ternak abad ke-8 Masehi. Itulah saat Kutai Kartanegara ing Martadipura tercatat dalam lembar panjang perjalanan sejarah bangsa sebagai kerajaan tertua di Nusantara.

Benar memang, wajah Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saat ini jauh dari kesan tradisional. Khususnya bila kita melongok Tenggarong yang jadi ibukota kabupaten. Modernisasi telah menjamah setiap sudut wilayah tersebut. Jalan-jalan yang besar nan mulus, jembatan lebar yang membentang di atas Sungai Mahakam, dan tak ketinggalan kereta gantung penghubung Tenggarong dengan Pulau Kemala. Semua itu menjadi simbol sentuhan kemajuan zaman atas Kutai Kertanegara.

Meski arus modernisasi tak terhindarkan, pola arsitektur bangunan kota seperti gedung pemerintah, tempat layanan publik, dan beberapa ornamen penghias kota, masih mengakomodasi kekayaan seni dan budaya setempat. Salah satunya bisa kita jumpai pada patung Lembuswarna. Ini adalah penanda khas kota yang berupa binatang mitologis berbentuk lembu yang memiki sayap burung garuda, dengan kepala dilengkapi gading dan berbelalai gajah.

Karena itulah, ketika kendaraan yang saya tumpangi mulai memasuki kawasan kota, nuansa magis mulai terasa memenuhi rongga dada. Terlebih saat itu, warga kota tengah menggelar Erau, tradisi turun-memurun melepas naga penguasa Tenggarong. Ya, tradisi itu kembali digelar setelah penduduk setempat tak menyelenggarakannya selama lima tahun terakhir.

Pusat kota yang tak seberapa luas itu pun menjadi ramai oleh semua hal yang berhubungan dengan kesemarakan perayaan. Tak pelak lagi, suasana perayaan itu membuat saya dan rombongan kesulitan mendapatkan tempat parkir. Kami harus berputar-putar di sekitar tempat perayaan. Setelah beberapa saat, akhirnya tersedia sedikit ruang untuk kendaraan yang kami tumpangi untuk merapat meskipun lumayan jauh dari pusat keramaian. Sekitar 1 kilometer.

Namun jalan panjang yang harus kami lalui dengan berjalan kaki di bawah sengatan sinar matahari itu, hilang dan tenggelam oleh kemeriahan suasana. Terlebih, di sepanjang perjalanan menuju ke pusat prosesi pembukaan Erau, berjajar berbagai stan yang memamerkan pelbagai potensi daerah. Apalagi stan-stan itu dibangun di sepanjang alur hulu Sungai Mahakam yang menawan.

Semakin dekat dengan tempat acara, keramaian semakin terasa. Para pedagang yang menawarkan berbagai suvenir, rengekan anak-anak yang meminta jajan, dan persiapan para seniman pengisi acara berbaur menjadi satu. Suasana itulah yang terkadang membuat hidup menjadi lebih hidup.

Saat saya mulai mendekati kumpulan para seniman pengisi acara, berbagai pertanyaan mulai bergelayut dalam kepala. Tak salahkah tempat yang saya tuju ini? Sebab, di tempat itu terlihat beberapa penari gambyong sedang bersiap, beberapa pemain gamelan Bali membenahi alat-alat yang akan mereka bawa, dan pemain reog ponorogo yang sedang pemanasan. Prosesi adat dan kesenian dari banyak daerah lain itu turut meramaikan pesta rakyat Kutai tersebut.

Memang benar, Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura kini dihuni oleh berbagai macam etnis dari seluruh Nusantara. Karena itu, saat perayaan, selain seni tradisi asli seperti tari rakyat bersembah, dilaksanakan kirab pelangi rakyat Kutai. Seperti namanya, ”pelangi”, saat kirab tampil berbagai tradisi dari banyak suku. Sebut saja Dayak Benoa, Dayak Kenyah, Bali, Lombok, Ponorogo, dan Jawa. Tak ketinggalan musik kulintang dari Sulawesi dan sumpah setia etnis Bugis di hadapan Raja Kutai. Saat pembukaan Erau di Musem Mulawarman itulah wajah Nusantara benar-benar muncul. Hmm, seperti ada ”sepetak” nusantara di tengah-tengah kota Kutai Kartanegara.

Berebut Jagau

Salah satu yang menarik dalam upacara pembukaan itu adalah berebut jagau atau ayam jago. Saat itu, di luar pagar museum telah dipersiapkan panggung kokoh tempat para pemimpin Kaltim bersiap-siap melepas ayam-ayam jago. Sebut saja Raja Kutai, Gubernur Kaltim, dan jajaran Muspida lainnya.

Penasaran, saya pun turut berdesakan di antara warga yang sudah memasang kuda-kuda untuk berebut jago. Pelepasan jagau merupakan ritus yang mengandung makna bahwa Kutai Kartanegara siap menyongsong hari depan yang lebih baik. Tak ayal lagi, seperti saat berebut gunungan acara Garebeg di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, warga Kutai juga berjibaku memperebutkan jago yang dilepas para pemimpin daerah. Adu otot tak terhindarkan. Mereka sama-sama ingin memperoleh binatang yang mereka percayai sebagai simbol kemakmuran. Siapa pun yang beroleh si ayam jago bakal beroleh limpahan rezeki.

Saat itu, ingin rasanya saya berebutan bersama dengan yang lain. Namun, semua itu terkubur dalam-dalam dan tertimbun oleh keinginan yang lebih besar. Yakni, mengabadikan peristiwa tersebut dalam foto. Padahal ketika itu, beberapa jago ”menghambur” tepat di atas kepala saya.

Wajah-wajah ceria pun terlihat setelah prosesi tersebut, baik yang mendapatkan jago atau tidak. Meski berdesak-desakan dan bersinggungan, tak muncul konflik atau pertengkaran di antara para pengunjung yang berebutan. Itulah salah satu keistimewaan dan kekuatan sebuah tradisi. Semakin diasah, justru semakin mempersatukan warga. Berbagai etnis yang telah lama menetap di Kutai Kartanegara pun mengakui bahwa tradisi Kutai telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri dan kehidupan mereka.

Puncak acara pembukaan tersebut menandai serangkaian kemeriahan pesta yang berlangsung dalam sepuluh hari berikutnya. Sebut saja lomba perahu naga, lomba atraksi seni, dan pelepasan naga penguasa Tenggarong sebagai puncak acara.

Ya, paling tidak itulah upaya pemerintah setempat dalam menggarap dan memajukan industri pariwisata.

Dari Puncak Pulau Kumala

Tak lengkap rasanya jika sampai di Tenggarong tetapi tidak mengunjungi Pulau Kumala. Pulau luas nan menawan di tengah-tengah Sungai Mahakam itu terus dikembangkan, dengan obsesi mengungguli Taman Impian Jaya Ancol dan Dunia Fantasi di Jakarta.

Karena itu, setelah prosesi pembukaan Erau, saya menuju ke pelabuhan penyeberangan Pulau Kumala. Bersama rombongan, saya bisa menyewa perahu kecil untuk mencapai pulau tersebut. Kalau kereta gantung yang melintasi Sungai Mahakam telah dioperasikan, tentu kita punya alat transportasi alternatif menuju pulau tersebut.

Cukup Rp 25 ribu, kami bersama menumpang perahu berkapasitas 9 orang menuju pulau impian. Ya, pulau yang begitu luas dengan berbagai atraksi permainan tersebut, benar-benar mengundang hasrat untuk segera menyusurinya.

Kami pun tidak mau membuang banyak waktu. Segera kami melangkah menuju objek-objek dan atraksi wisata yang ada. Sesaat berlalu, kami pun sempat tertegun. Namun saya kembali tersentak dan sadar. Bagaimana kami bisa menyusuri pulau yang begitu luas tersebut, sementara waktu yang tersedia terbatas. Namun hal itu segera terjawab. Pengelola telah menyediakan berbagai sarana transportasi, salah satunya kereta kelinci yang memiliki beberapa terminal pengangkut penumpang. Dengan sarana itulah kami bisa menikmati jengkal demi jengkal keindahan Pulau Kumala dalam waktu yang tidak begitu lama.

Selama dalam perjalanan dengan kereta kelinci itulah kami melihat sebuah kekuatan industri wisata besar yang mulai bangun dari tidur. Meski masih dalam proses pembangunan, keindahan dan kemewahan pulau sudah mulai terlihat. Ya, Resor-resor mewah yang dikelilingi kolam tampak anggun menawan. Belum pusat pemeliharaan menjangan. Meski proses penataan tempat itu terus berlangsung, daya tarik Pulau Kumala tidak berkurang.

Setelah mengikuti paket perjalanan keliling pulau, saya bergegas menuju salah satu atraksi utama yang disajikan pengelola untuk para pengunjung. Atraksi itu disebut Sky Tower. Sebuah menara yang menjulang tinggi. Tinggi menara itu 100 m. Menara yang dilengkapi sebuah wahana berupa ruang berbentuk piring berputar yang dapat mengangkut penumpang dan naik hingga ketinggian 80 m itulah yang membuat orang selalu ingin kembali menikmati atraksi itu.

Sebab, dengan wahana tersebut, kita dapat melihat Tenggarong dari atas. Kita juga dapat melihat Pulau Kumala secara utuh. Keindahan pulau di tengah-tengah Sungai Mahakam itu pun tambah menawan ketika kita menyaksikannya melalui Sky Tower saat matahari mulai tenggelam dan temaram sinar matahari senja menerpa permukaan sungai.

Menyusuri Tenggarong tentu membuat perut merasa lapar. Meski demikian, belum puas rasanya menyusuri tiap detail dan sudut Tenggarong. Beruntung kontur wilayah Tenggarong hampir mirip Semarang. Kota kecil itu memiliki kawasan perbukitan, meskipun kawasan itu tidak memiliki laut tetapi sungai. Di pebukitan itulah tersedia berbagai ragam tempat singgah, mulai dari resto hingga hotel berbintang.

Bukit Biru, itulah nama jalan sekaligus kawasan yang menyediakan tempat yang nyaman untuk melepas lelah. Saya beserta rombongan pun menyempatkan diri singgah di Resto Paralayang yang berada di kawasan puncak Bukit Biru. Dari tempat itu, mata kita pun dimanjakan oleh panorama Tenggarong dari atas.

Terlebih, saat itu mendung mulai menggelayut, sehingga Tenggarong tampak lebih eksotis. Resto Paralayang sendiri didesain dengan sentuhan bentuk bangunan lokal yang sangat indah. Kita pun bisa memilih untuk menyantap makanan di meja makan ataupun duduk lesehan.

Sajian resto itu begitu menggoda, mulai dari seafood, ikan bakar/goreng air tawar, atau pun berbagai sajian lain yang begitu mengundang selera. Salah satunya kepiting besar. Lezat benar.

Sumber: Suara Merdeka