Festival Krakatau adalah gelaran rutin tahunan Provinsi Lampung. Tujuannya menjaring wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, sehingga industri pariwisata Lampung pun bergairah. Sayangnya, meski bernama Festival Krakatau, tak ada satu pun wisata gunung fenomenal itu yang dihadirkan. Gaungnya pun hanya hadir pada acara pembukaan saja.

Para penari dari Kabupaten Way Kanan menampilkan atraksi yang menggambarkan keragaman budaya di kabupaten itu.

Kontingen asal Sulawesi Utara memamerkan olahraga tradisional mereka yang melibatkan adu tenaga bak panco antardua kelompok.

Setiba di Kota Bandar Lampung, ibu kota provinsi itu pada akhir Agustus lalu, berbagai spanduk mengenai Festival Krakatau memang dipasang di tiap pojok kota itu. Tingkat okupansi hotel pun melonjak tinggi. Maklum, selain Festival Krakatau, Lampung juga menggelar Lampung Expo dan menjadi tuan rumah untuk Festival Olahraga Tradisional yang digandengkan dengan Festival Krakatau. Bahkan, penerbangan ke Lampung pun semuanya penuh untuk akhir pekan itu. Jadi, tidak salah rasanya jika Pembaruan berasumsi, festival itu akan mampu menuai kesuksesan.

Tepat pada akhir pekan, Sabtu, 26 Agustus, upacara pembukaan pun digelar di GOR Saburai, Bandar Lampung. Tampaknya, sebagian besar warga Bandar Lampung tumplek blek di lokasi. Padahal, upacara digelar sekitar pukul 14.00 WIB, di saat matahari memancarkan sinarnya dengan ganas.

Barisan para pengisi acara yang sudah hadir dan bersiap-siap sejak pagi tampak mengantre untuk tampil. Wajah mereka merupakan gabungan antara rasa lelah, antusias, sekaligus kesal karena acara molor berjam- jam. Untunglah, acara langsung dibuka kala pejabat, termasuk Gubernur Lampung Syachrudin Zainal PA dan Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar, hadir.

Ragam atraksi budaya khas Lampung lantas bergiliran menghibur pengunjung. Tentunya, berbicara tentang Lampung tidak akan klop tanpa gajah. Untuk itu, sekitar sepuluh ekor gajah dari Way Kambas di-“impor” langsung ke Bandar Lampung demi memeriahkan acara.

Boleh dibilang, gajah-gajah itulah yang menjadi atraksi utama. Mereka bergaya, menari, dan berakrobat di hadapan para tetamu. Tapi dasar gajah, meski tampil di depan tamu terhormat dan turis mancanegara, mereka dengan cuek membuang kotoran dan (maaf) kentut sembarangan.

Alhasil, para pengunjung pun tertawa terbahak-bahak menyaksikan tingkah laku gajah yang tak pandang bulu itu. Tinggal sang pawang dan panitia acara yang repot menyuruh gajah-gajah asuhannya bersopan-santun sambil berusaha membersihkan lapangan.

Belum lagi tatapan khawatir pada wajah pengisi acara yang akan tampil sesudah gajah-gajah beraksi. Pasalnya, itu berarti mereka akan menari di lapangan yang penuh dengan kotoran gajah.

Atraksi lain selain gajah merupakan perpaduan kebudayaan yang tersebar di sepuluh kabupaten di Lampung. Sebagai daerah tujuan transmigrasi dari Pulau Jawa dan Bali, tak mengherankan jika yang tampil pun para penari berbusana Jawa, Bali, dan Padang.

Masing-masing kabupaten itu umumnya menampilkan atraksi yang mewakili keragaman dan akulturasi budaya yang ada di daerah mereka. Akulturasi itu kemudian digambarkan dalam kesenian yang ditata oleh koreografer setempat.

Para penari dari Kabupaten Lampung Utara Tengah menampilkan proses adat per-      kawinan tradisional.

Gajah-gajah asal Way Kambas dihadirkan untuk menghibur para pengunjung pembukaan Festival Krakatau 2006 di GOR Saburai, Bandar Lampung, Sabtu (26/8). [Foto-foto: Pembaruan/Irawati Diah Astuti]

Gagal ke Krakatau

Pada keesokan harinya, rombongan yang juga termasuk di dalamnya para duta besar negara-negara sahabat, dijadwalkan berkunjung ke Way Kambas. Mereka akan melihat gajah di sekolah asli mereka, termasuk gajah-gajah tak sopan yang kemarin tampil di hadapan mereka itu.

Kunjungan ke Way Kambas itu merupakan pengganti kunjungan ke Gunung Krakatau dan pulau di sekelilingnya. Pasalnya, menurut Syachrudin, situasi dan kondisi tidak memungkinkan.

“Kami mendapat berita dari Badan Meteorologi dan Geofisika ombak dan angin di sekitar gunung tinggi, sehingga kami disarankan untuk tidak berkunjung ke sana. Selain itu, gunung pun terasa panas sekali. Jadi, daripada membahayakan, lebih baik tidak usah ke sana,” tuturnya.

Aneh memang, Festival Krakatau tanpa berkunjung ke Gunung Krakatau. Namun, apa mau dikata? Karena alasannya logis, tampaknya para peserta harus pasrah. Untunglah, sebagian besar anggota rombongan yang berasal dari negara-negara Eropa tampak sangat gembira bertemu kembali dengan gajah-gajah Way Kambas. Maklum, di negara mereka, gajah hanya bisa disaksikan di kebun binatang.

Berlomba-lomba mereka memberi makan gajah dengan makanan yang disediakan panitia. Mereka juga secara bergiliran naik ke punggung gajah dan berkeliling sebentar. Pada sisi lain, beberapa turis tampak ikut menumbuk padi bersama warga lokal.

Reaksi yang berbeda datang dari Duta Besar Thailand Atchara Seri Putra. Pantas saja jika ia bereaksi seperti itu. Atraksi gajah semacam itu bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Thailand. Sebagai sesama negara beriklim tropis, gajah adalah hewan yang biasa ditemui. Bahkan, gajah di Thailand dan Indonesia sama-sama memiliki keahlian akrobatik.

Nah, apakah kunjungan ke Way Kambas mengobati rasa penasaran ke Gunung Krakatau? Jawabannya, tentu tidak. Apalagi, festival tersebut nyatanya hanya bergema hingga acara pembukaan selesai. Seusai itu, tak ada lagi agenda khusus yang dijadwalkan Pemprov untuk menarik minat para wisa-tawan.

Sebuah catatan yang patut diperhatikan mengingat, festival ini sudah digelar untuk keenambelas kalinya. Bukan baru sekali. Dengan begitu besarnya dana yang dikeluarkan, sayang sekali jika festival hanya menjadi ajang rutin tahunan yang menghabiskan dana tanpa hasil. [Pembaruan/Irawati Diah Astuti]