GARUT – Kota Garut berhias gunung-gunung yang menjulang, termasuk Gunung Gede (atau Gunung Papandayan), Gunung Guntur dan Gunung Cikuray. Di saat fajar, pemandangan gunung terkesan misterius dengan lingkup kabut yang menebal dan terlihat dari kejauhan. Kala senja di saat matahari berwarna merah dan mulai menghilang di ufuk barat, kesan itu pun muncul kembali.

”Itu Gunung Gede, masih aktif dan dulu sempat meletus,” ujar seorang pemandu, saat pertama kali tiba dan melintas kabupaten ini. Baru selepas siang dan sore menjelang, kami langsung menikmati dinginnya udara di sekitar. Pegunungan yang mulai menghilang dibungkus senja, dan malam yang sudah menyuguhkan udara sejuk.
Bukan hal aneh jika Garut yang begitu indah kemudian dijadikan kota wisata oleh seorang Belanda bernama Holke van Garut (seorang gubernur kesayangan pemerintah Belanda pada tahun 1930-1940) dan melihat kabupaten ini berpotensi sehingga dijuluki sebagai ”Switzerland van Java” dan kemudian mendirikan hotel di sana. Di wilayah ini juga pernah didirikan dua hotel yang antara lain bernama Hotel Belvedere dan Hotel Van Hengel.
Ada juga hotel lain yang berada di luar kota Garut termasuk Hotel Ngamplang di Cilawu, Hotel Cisurupan, Hotel Malayu di Tarogong, Hotel Bagendit di Banyuresmi, Hotel Kamojang di Semarang dan Hotel Cilaut Eureun di Pamengpeuk. Semua hotel itu (termasuk hotel milik Holke van Garut), sayangnya telah hilang, rata dengan tanah atau berubah fungsi dan wujudnya.
Sempat juga kami menjalani jalur ”hanya” di sepanjang kaki Gunung Papandayan itu. Tanaman, tanah dan bebatuan di kaki gunung ini sebenarnya diharapkan untuk dipertahankan –beberapa tempat sempat dijadikan penggalian pasir– sebaiknya bisa dihentikan.


Situs Sejarah

Nama Garut sendiri mulanya cukup unik. Di awal tahun 1813, Bupati Limbangan, Adipati Adiwijaya, memerintahkan untuk mencari tempat yang cocok sebagai ibu kota kabupaten. Akhirnya, ditemukanlah sebuah tempat yang cocok, berupa tanah datar, subur, lengkap dengan mata air yang terus mengalir ke Sungai Cimanuk. Berkah alam ini ditambah pula dengan pemandangan yang indah dari gunung-gunung di sekitarnya, yaitu Cikuray, Papandayan, Guntur, Talaga Bodas dan Karacak. Konon, pada masa pemerintahan bupati itulah tempat ini mulai diberi sebutan ”Garut”.
Sejak awal abad ke-19, Garut memang heterogen dengan masyarakat yang berusaha di perkebunan, bahkan sebagai tempat wisata sejak masa kolonial Belanda. Usaha perkebunan yang terletak di sekitar Giriawas, Cisaruni, Cikajang, Papandayan, dan Darajat ketika itu telah dikelola oleh swasta Belanda. Baru pada tahun 1900-1928 diikuti dengan perkebunan karet, teh, kini di daerah Cilawu, Cisurupan, Pakenjeng, Cikajang, Cisompet, Cikelet dan Pameungpeuk.
Dulu, di Garut, ada juga situs candi bernama Candi Cangkuang (konon didirikan pada abad ke-7, pada masa peradaban Hindu-Jawa) yang sebenarnya sudah cukup tua – bahkan konon lebih tua dari candi Prambanan – yang kemudian sayangnya sempat dihancurkan saat sejarah pergolakan ideologi di tahun 1950-an. Sayang sekali, pandangan dan ideologi yang sempit telah menghancurkan tatanan dan peradaban budaya yang begitu dikenal di masa lampau.
Karena pesona itu, beberapa tokoh dunia termasuk Charlie Chaplin, Ratu Beatrix dan keluarga dari Ratu Wilhelmina pernah datang ke wilayah ini.
Sejarah hotel yang akhirnya dibumihanguskan sekitar tahun 1949 itu diinformasikan oleh Bupati Garut (ketika itu Momong Kertasasmita yang mengetahui dokumennya dari cucu Holke van Garut).
Tempat untuk wisata lainnya yang juga menarik dari Garut adalah Kawah Papandayan, Kawah Kamojang, Kawah Manuk, Kawah Talaga Bodas, Situ Cangkuang, pemandian air panas, Cipanas Bagendit, Gunung Cikuray, Gunung Guntur dan Pantai Pameungpeuk.

Sumber Alam
”Ikannya dapat, ikannya dapat,” suara seorang bocah terdengar histeris saat tali pancingnya ditarik oleh ikan dari air kolam dengan kandungan Manesium Sulfat, unsur yang menyegarkan otot lelah dan tegang. Si bocah tadi, ditemani kakaknya, adalah anak dari salah satu tamu yang datang menginap di ”Kampung Sumber Alam” nama areal hunian berupa bungalow dilengkapi dengan restoran, ruang rapat, kolam renang, juga spa yang terletak di wilayah Garut.
Kolam memang tak terpisahkan dari seluruh bungalow yang ada di resor ini. Rumah yang dibangun dan dirancang seperti rumah panggung namun terbuat dari tembok dengan kolam-kolam yang ada di bawahnya, membuat posisi rumah praktis memang berada tepat di tengah air.
”Tiap penghuni bisa memancing ikan yang ada di sini sepuasnya dan bisa meminta kepada kami untuk langsung menggorengnya. Hampir tiap minggu kami akan menambahkan ikan-ikan ini sehingga tak akan habis,” ujar Yudi Feriska yang menjadi juga menjabat sebagai Manajer Personalia.
Ikan-ikan yang berenang bisa dilihat dari beranda tiap bungalow yang ada. Selain ikan, kolam ditata dengan tanaman air dan teratai sehingga tetap asri. Airnya pun bukan air tawar biasa. Air yang berasal dari mata air Gunung Gede ini mengandung larutan belerang yang alami. Inilah yang justru menjadi daya tarik utama pada penginapan yang berada di wilayah Garut ini.
Potensi alami yang ada di lingkungan sekeliling yang asri dan sejuk ini dipertahankan. Bentuk bangunan diusahakan tidak direkayasa dan mengambil filosofi bangunan Sunda yang memang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu di Garut.
Kampung Sumber Alam, yang dimiliki oleh Rahmat Syukur Maskawan ini selain terdiri dari bungalow juga memiliki fasilitas lain seperti ruang rapat, restoran, kolam renang dan Spa. Kampung Sumber Alam, memiliki fasilitas 40 buah kamar dengan ruang pertemuan Inten Dewata dan Gambir Wangi, Restoran Tanjung Balebat, Kolam Renang air panas alam Tasikmadu, Warung Kopi dan Kamar Rendam Sipatahunan.
Konon, bila air panas semata memang harus dibatasi hingga 15 menit, maka air alam dari Cipanas ini tetap bisa berlama-lama. Karena kualitas air dari Cipanas mengandung sulfur, memang sangat baik untuk para pendatang.
Bangunan Kampung Sumber Alam memang menjadikan batang pohon kelapa sebagai tiang utama di setiap bangunan dengan unsur ijuk dan rumbia diharapkan dapat mengusir dingin buat penghuninya.
Berbagai wilayah dalam areal Kampung Sumber Alam ini pun menggunakan prinsip itu, antara lain: wilayah Tegal Pangulinan (tempat main anak-anak termasuk juga permainan tradisi ”anak kampung” antara lain bermain Gatrik, Nangkap Belut, Main Dampu dan permainan tradisi lainnya), Tepas Panampian, di mana ada lesung dan kentongan, pengairan dan jembatan bambu, juga Seke Jajar dan Balong Gede.
Di luar bungalow ini, yang akan didapat dari kekhasan makanan yang dihasilkan oleh penduduk Garut di masa sekarang adalah Dodol atau pun Jeruk Garut.
Sedangkan kerajinan tangan penduduknya termasuk Batik Garutan, Sutera Alam, AkarWangi, juga kerajinan kulit dengan bermacam pengolahan dengan harga yang memang tak seberapa mahal.
(Sinar Harapan/sihar ramses simatupang)