PULUHAN kapal perang tentara Hindia Belanda tiba di perairan Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Peristiwa itu terjadi sekitar akhir abad ke-19. Kapal-kapal itu siap menggempur kerajaan-kerajaan kecil yang berada di sekitar Kepulauan Talaud.

FOTO-FOTO :PEMBARUAN/ASNI OVIER DP

WISATA PANTAI – Selain Gua Larenggam, Desa Gemeh memiliki objek wisata pantai yang menarik. Pasirnya yang putih dan air laut yang biru menawan mengajak orang untuk berenang di sana.

Semula, pemimpin tentara Belanda melakukan negosiasi dengan raja-raja kecil di sana. Belanda menyampaikan keinginannya untuk memasuki wilayah Indonesia dari sebelah utara.

Namun, raja-raja kecil itu menolak. Mereka tidak ingin tentara Hindia Belanda masuk dan mengobrak-abrik wilayah mereka. Termasuk di antara raja kecil itu adalah Raja Larenggam.

Raja Larenggam adalah raja kecil yang menguasai sebagian besar Pulau Karakelong yang terletak di utara Kepulauan Talaud. Sang Raja tidak ingin rakyatnya dijajah oleh Belanda seperti yang terjadi di sekitar Ternate.

Keengganan Raja Larenggam untuk menyerah rupanya membuat geram pimpinan tentara Belanda. Puluhan kapal lalu dikerahkan untuk mengepung Pulau Karakelong.

Raja Larenggam pun menyiapkan pasukannya untuk bertahan dari serangan tentara Belanda. Tapi, istri Raja punya pendapat lain. Permaisuri yang dikenal memiliki kemampuan supranatural, yaitu bisa meramal, memberi saran kepada Sang Raja.

Sebagai penasihat pribadi Raja Larenggam, Sang Permaisuri mengatakan bahwa pasukan kerajaan tidak mungkin mampu melawan tentara Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih hebat.

“Tapi ada satu cara untuk menghadapi mereka. Kau harus membuka celana agar senjata-senjata itu tidak meletus dan kita bisa menyerang mereka,” ujar sang permaisuri.

Mendengar pendapat itu, Raja Larenggam tidak mudah percaya. Dia bimbang. Apakah harus mendengar nasehat Permaisuri yang konyol itu? Setelah ditimbang-timbang selama satu hari satu malam, Raja memutuskan untuk tetap melawan Belanda tanpa menggunakan cara yang diusulkan permaisurinya.

Belanda akhirnya menyerang Kerajaan Larenggam dengan senjata dan meriam. Kerajaan porak poranda. Raja Larenggam terkepung di dalam istana dan tidak mau keluar. Tentara Belanda pun membakar istana itu. Raja, Permaisuri serta beberapa anak mereka terbakar hidup-hidup di dalam Istana.

Gua Larenggam

Kisah itu menjadi latar belakang keberadaan Gua Larenggam di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Pasalnya, sebagian besar tentara Kerajaan Larenggam ditahan di dalam sebuah gua yang terletak di Desa Arangkaa. Desa ini juga terletak di Pulau Karakelong, Kabupaten Talaud.

Para panglima perang Kerajaan Larenggam ditahan di dalam gua yang pengap itu. Oleh tentara Belanda, mereka lalu dibantai dan mayatnya diletakkan begitu saja di dalam gua.

Kini, gua itu menjadi saksi atas perjuangan Raja Larenggam dalam mempertahankan Tanah Air dari gempuran penjajah Belanda. Sebagian besar masyarakat sekitar sudah lupa nama gua itu. Tapi, mengingat sejarah gua itu mereka lalu menamakannya sebagai Gua Larenggam.

Gua Larenggam sebenarnya menjadi potensi wisata bagi Kabupaten Talaud. Apalagi Gua itu terletak dekat pantai berpasir putih dengan warna laut biru menawan.

Di pelataran gua terdapat tempat duduk yang terbuat dari bambu. Tempat duduk itu bukan tempat duduk biasa. Karena, kalau kita duduk di sana, akan terlihat pemandangan laut yang indah dengan pantai berpasir putih.

TERJAL – Untuk mencapai Gua Larenggam harus melalui jalan setapak yang terjal. Gua Larenggam terletak di atas sebuah bukit dan dikelilingi pohon yang telah berusia ratusan tahun.

Sayangnya, Gua Larenggam tidak begitu terawat bagus. Sebuah tugu yang menandakan keberadaan gua itu sudah mulai tampak usang. Nama gua yang terukir di tugu sudah tidak terlihat lagi.

Memasuki mulut gua, suasana angker mulai terasa. Di mulut gua terdapat sebuah wadah yang menampung beberapa tengkorak dan tulang-belulang. Konon, tengkorak-tengkorak dan tulang belulang itu jasad para panglima perang Raja Larenggam.

Untuk memasuki gua yang sebenarnya, harus melalui jalan yang menanjak cukup terjal. Jalan itu dikelilingi akar-akar pohon yang usianya puluhan tahun. Bahkan, mungkin sudah ratusan tahun.

Sayangnya, jalan mendaki yang terjal itu tidak dibuatkan tangga sehingga untuk melaluinya harus mengerahkan sedikit tenaga dan sesekali berpegangan pada akar-akar pohon. Tapi, Opa Rein yang menjadi penjaga gua menjamin tidak ada binatang buas, seperti ular, yang bakal mengganggu perjalanan.

Setelah mendaki sekitar lima menit, Gua Larenggam mulai terlihat. Di dalam gua suasana angker kembali terasa. Tengkorak-tengkorak pasukan Raja Larenggam juga ada di dalam gua. Hanya saja jumlahnya lebih banyak dari yang berada di mulut gua.

Menurut Yopie, tokoh masyarakat sekitar, dulu sebenarnya benda-benda yang ada di dalam gua tidak hanya tengkorak dan tulang-belulang itu. Beberapa harta benda peninggalan Belanda dulu berserakan di sekitar gua.

TIDAK TERAWAT – Tulang-belulang yang menjadi bukti kekejaman penjajahan Belanda tidak terawat dengan baik. Beberapa benda bersejarah lainnya, seperti piring keramik dan piala-piala peninggalan Belanda malah telah dicuri orang.

Harta benda seperti piring keramik, gelas yang terbuat dari kuningan, dan beberapa piala itu lenyap entah ke mana. Benda-benda itu hilang dicuri orang dan dijual ke penadah barang antik dengan harga puluhan juta rupiah.

“Menurut yang saya dengar, sebuah piring keramik dengan ukuran yang cukup besar laku dijual seharga empat puluh juta rupiah,” katanya.

Kondisi itu yang disayangkan penduduk setempat. Pemerintah daerah setempat tampaknya kurang memberikan perhatian terhadap tempat yang bersejarah itu. Padahal, dengan melihat perjuangan Raja Larenggam dalam menghalau penjajah Belanda, ia bisa dijuluki pahlawan bangsa.

Potensi Wisata

Potensi wisata yang dimiliki Kabupaten Talaud sebenarnya tidak hanya Gua Larenggam itu. Daerah itu memiliki pesona alam laut yang indah. Daerah ini cocok untuk dijadikan wisata laut.

Beberapa desa di Kabupaten Talaud, seperti Desa Gemeh dan Arangkaa, dapat dijadikan objek wisata lingkungan. Suasana desa yang tenang dengan penduduknya yang ramah menjadi objek wisata tersendiri. Apalagi, wisata lingkungan atau yang dikenal sebagai ecotourism saat ini tengah digandrungi wisat. Di sini wisatawan menikmati suasana lingkungan di sekitar tempat wisata. Tempat wisata yang kerap dikunjungi biasanya desa-desa. Wisatawan tinggal di rumah penduduk desa itu selama beberapa hari untuk menikmati suasana desa.

Beberapa kebiasaan penduduk di Desa Gemeh dapat dijadikan atraksi bagi wisatawan yang ingin menikmati wisata lingkungan itu. Salah satunya adalah Hari Kapal.

Pada Hari Kapal, penduduk setempat berbondong-bondong pergi ke pantai yang ada di desa mereka. Mereka menanti kedatangan kapal atau perahu yang datang dari kota untuk membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari. Suasana pada Hari Kapal itu mirip dengan suasana pasar tradisional.

Selain terjadi aksi jual-beli, pada hari kapal itu biasanya juga menjadi ajang melepas rindu. Sebab, warga desa yang merantau jauh di kota terkadang datang pula pada Hari Kapal.

Keramahan penduduk Desa Gemeh juga menjadi objek wisata yang menarik. Setiap tamu yang menginap di sana pasti dianggap sebagai raja. Hidangan ikan bakar segar menjadi menu favorit penduduk desa untuk tamu mereka.

SAKSI SEJARAH – Sejumlah tengkorak dari para prajurit Raja Larenggam menjadi saksi sejarah perlawanan warga Talaud terhadap penjajahan Belanda.

Kendala Transportasi

Kendala utama bagi Kabupaten Talaud untuk mengembangkan daerah mereka, terutama potensi wisatanya, adalah transportasi. Pembaruan yang mengikuti rombongan tim lapangan PT Pasifik Satelit Nusantara (PT PSN) harus menempuh perjalanan satu hari satu malam dari Manado ke Desa Gemeh. Perjalanan panjang yang dilakukan tim lapangan PT PSN itu untuk memasang sambungan telepon satelit sehingga masyarakat di Desa Gemeh tidak lagi terisolasi dari dunia luar.

Dari Manado, kita harus menggunakan kapal kayu ke Ibu Kota Kabupaten Talaud, Melonguane atau biasa disebut Kota Melong. Transportasi penduduk antarpulau di wilayah ini memang hanya dilayani oleh kapal motor kayu milik swasta dan dua kapal perintis.

Sayangnya, kapal-kapal itu hanya berlayar tiga kali seminggu dan sekali seminggu untuk pelayaran kapal perintis. Itu pun kalau cuaca bagus dan laut tidak berombak. Tarif kapal motor untuk sekali berangkat Rp 100 ribu.

Sebenarnya di Kota Melonguane terdapat sebuah bandara kecil. Jadwal penerbangan dari Manado ke Melong dua kali seminggu. Tarif menggunakan pesawat terbang itu Rp 300 ribu.

Tapi, sekali lagi, jadwal penerbangan sangat bergantung pada cuaca di sekitar Kabupaten Talaud. Kalau cuaca buruk, bisa saja tidak ada penerbangan ke sana selama berminggu-minggu.

Dari Melonguane ke Desa Gemeh perjalanan dilanjutkan dengan menyewa perahu motor. Perjalanan itu harus ditempuh selama kurang lebih empat jam.

Sebenarnya, kapal motor kayu dari Manado sering juga mampir di Pulau Karakelong tapi jadwalnya tidak pasti, bergantung ada atau tidak penumpang kapal yang memang mau ke sana.

Kapal motor itu biasanya berlabuh di kota terbesar di Pulau Karakelong, yaitu Kota Beo. Dari Beo menuju Gemeh perjalanan dilanjutkan dengan menyewa sepeda motor. Lama perjalanan sekitar dua jam.

Tapi, jalur ini untuk sementara sebaiknya dikesampingkan dulu. Pasalnya, di tengah perjalanan, jembatan yang menghubungi Beo dan Essang, roboh.

Padahal, dari Essang ke Gemeh tinggal satu jam perjalanan lagi.

Yang jelas, keindahan alam di Pulau Karakelong merupakan potensi wisata yang bisa digali lebih dalam lagi. Kabupaten Talaud yang baru beberapa tahun berdiri sendiri (tadinya menjadi satu dengan Kepulauan Sangihe dengan nama Kabupaten Sangihe-Talaud) dapat menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber pemasukan bagi pembangunan wilayah mereka.

PEMBARUAN/ASNI OVIER DP

SUASANA DESA – Suasana Desa Gemeh, Kabupaten Talaud, yang tenang dan damai dapat menjadi objek bagi wisata lingkungan yang kini digemari wisatawan mancanegara.


Last modified: 24/12/04