LANGIT di atas Gunung Pancar begitu cerah. Ada awan yang menggantung, kontras di tengah birunya warna langit. Taman Wisata Alam (TWA) di Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu dianggap banyak orang sebagai obyek wisata kesehatan dan spiritual. Di sini, kita bisa menikmati segarnya alam dan indahnya sebuah ketenangan.

Lokasinya memang cukup terpencil, lebih kurang 13 kilometer dari pintu tol Sentul Selatan. Melewati Perumahan Bukit Sentul, pengunjung harus menelusuri jalan ke arah tenggara menuju Desa Karang Tengah. Sampai di sebuah pertigaan jalan, ada papan penunjuk yang akan menuntun wisatawan menuju Gunung Pancar, yang jaraknya tinggal tujuh kilometer.

Mata kita sudah disuguhi pemandangan penduduk desa yang sedang menjemur cengkeh atau mengangkut daun singkong dari kebun yang banyak terdapat di sepanjang jalan. Pekerja kasar membelah dan mengangkut batu kali, melewati pematang sawah. Ada pula jejeran Perumahan Bukit Sentul, terlihat indah dari atas bukit, beberapa jembatan dan anak sungai. Truk-truk tua yang sangat perkasa di tahun 1960-an masih dapat kita jumpai berjalan perlahan, keberatan membawa batu kali dan pasir gunung.

Setelah menelusuri jalan aspal yang mulai terlihat berlubang di mana-mana dan harus membayar retribusi jalan Rp 1.000 kepada kelurahan setempat, dalam sekitar 30 menit kita akan menemukan pintu masuk Taman Wisata Gunung Pancar. Di pintu masuk ini pengunjung harus membayar lagi tanda masuk Rp 1.000 per orang, mobil Rp 2.000, dan sepeda motor Rp 1.000. Pengunjung yang ingin berkemah dikenai pungutan Rp 5.000, sedangkan yang mendaki ke puncak Rp 25.000 per lima orang per hari. Pemandu wisata pun siap memandu pengunjung dengan bayaran Rp 25.000 per hari.

AKAN tetapi, jangan salah kira, pintu masuk ini terlihat sangat tidak efektif dan cenderung merugikan pengunjung. Pengunjung yang baru pertama kali datang ke lokasi ini akan terheran-heran, sebab di pintu masuk kedua juga dipungut Rp 5.000 per orang, mobil Rp 3.000, dan sepeda motor Rp 1.500. Kecuali itu, masih ada uang keamanan dan parkir kendaraan antara Rp 1.000 hingga Rp 3.000 meskipun sifatnya tidak memaksa.

Di sepanjang jalan dari pintu pertama hingga tempat wisata air itu, pengunjung melewati pepohonan pinus yang berjajar rapi di sisi kiri dan kanan, membuat jalan terasa sejuk. Aroma pinus menjadi dambaan pengunjung yang ingin akrab dengan alam. Terpaan angin yang berembus kuat semakin menggetarkan pepohonan yang hijau di kawasan hutan PT Perhutani yang sudah diserahkan pengelolaannya kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat I sejak tahun 1992.

Walaupun harus bersusah payah menempuh perjalanan mendaki begitu lama dan penuh jalan berlubang, suasana sejuk alam sekitar dan kehangatan air panas seakan meleburkan kekesalan itu. Pengunjung yang datang dari berbagai penjuru menjadi akrab bermain di riak-riak air.

“Sungguh sayang, untuk masuk ke kawasan wisata yang begitu bagus dan indah ini harus membayar berkali-kali. Dana yang terkumpul dari tiket masuk tersebut tidak membuat jalan menuju kawasan wisata ini bertambah baik,” kata sejumlah pengunjung tempat pemandian.

Tempat wisata ini hampir setiap hari ramai dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah, terutama pada hari Sabtu dan Minggu. Bahkan, setiap Kamis malam dan Jumat malam sering didapati pengunjung yang berendam semalaman alias menginap.

Di dalam tempat pemandian terdapat beberapa kolam, satu kolam khusus untuk perempuan, satu kolam dangkal untuk anak-anak, dan lainnya khusus untuk pria. Tempatnya pun masing-masing tertutup dinding setinggi sekitar 2,5 meter.

Di kolam itu pengunjung sering saling berbagi cerita. Seperti dituturkan Ny Hj Djubaedah Hasyim (65) dari Depok. Perempuan ini merasakan pinggangnya selalu pegal dan linu-linu. Djubaedah sudah sering berobat ke dokter dan shinsei, namun tidak merasa ada perubahan berarti.

Pertama kali masuk kolam, Ny Djubaedah memang merasa airnya terlalu panas. “Pelan-pelan Bu. Kalau perlu, disiram dulu ke badan secara perlahan sampai kulit dapat menerima, baru mulai masuk ke kolam,” ujar Ny Djubaedah menirukan beberapa pengunjung lain yang membantu dia. Setelah beberapa saat, barulah dia merasa nyaman berendam di air yang hangat tersebut.

Di kolam khusus untuk laki-laki, airnya jauh lebih panas ketimbang air di kolam lain. Sholeh (43), pegawai negeri asal Bekasi yang baru pertama kali mengunjungi tempat ini-juga karena ada keluhan di bagian pinggangnya-melepas baju dan langsung terjun ke kolam, namun terloncat ke luar. “Panas,” katanya sambil memegang pergelangan kakinya yang telihat memerah.

Abah Cecep (60), pengunjung asal Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang mengaku sudah sering datang ke tempat ini, menyatakan, sebelumnya dia menderita rematik dan sering kesemutan di pergelangan kaki. Setelah dua kali berendam, keluhan yang dialaminya itu berangsur hilang.

PENGALAMAN Ny Djubaedah, Sholeh, dan Abah Cecep sepertinya cukup untuk menggambarkan keyakinan banyak orang akan manfaat dari mandi di kolam air panas di Taman Wisata Gunung Pancar. Mereka meyakini, selain air ini begitu hangat, khasiatnya juga sangat banyak bagi manusia.

Gunung Pancar sesungguhnya sangat potensial untuk menjadi tempat istirahat guna melepas penat dan jenuh dari kesibukan kota besar. Apalagi tempatnya relatif dekat, hanya butuh waktu sekitar dua jam dari pusat Kota Jakarta. Kalaupun ada sedikit keluhan dari para pengunjung, itu tak lain adalah kondisi jalan menuju ke tempat wisata tersebut belum mendapat perhatian memadai dari pemerintah setempat.(Satrio Nusantoro)