pantai-kutaDi bulan Agustus 1936 Bob dan Louise mendarat di pelabuhan Buleleng, Singaraja. Semula pekerja special effect dari perusahaan film Metro Goldwyn Mayer Amerika Serikat ini hanya ingin berkelana sambil menemani istrinya, Louise, seorang pelukis yang sudah lama punya obsesi “asal pernah” berkarya di Bali. Namun begitu turun dari kapal milik KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij), dan kaki Louise menyentuh tanah Bali, sebuah dunia surgawi dirasakan langsung menyergap. Hangat pasir di pelabuhan itu seolah menyadarkan bahwa Bali akhirnya tidak harus disinggahi dengan hasrat “asal pernah”, namun semestinya disekutui dengan minat sepenuh hati. Bob memahami keterpesonaan awal Louise, sambil tentu menyadari bahwa dirinya diam-diam juga langsung terpukau kepada Pulau Dewata yang magis itu.

Bob adalah lelaki yang gemar memotret. Oleh karenanya segala hal di Bali yang unik itu ia rekam dalam fotografi. Foto-foto hitam putih tersebut, setelah ia cetak di satu-satunya studio di Denpasar, dikirimkan ke majalah-majalah di Amerika. Harapan Bob, majalah-majalah tersebut memuat, dan foto-foto itu, setelah disimak banyak pembaca, akan jadi stimulus orang-orang Amerika untuk berbondong ke Bali.

“Namun sesungguhnya upaya Bob ini meneruskan aspirasi expatriate lain yang sebelumnya sudah ada di Bali!” yakin pedanda itu.

Memang, ketika Bob menginjak Bali, di Pulau Dewata sudah ada pelukis Le Mayeur, yang mengawini Ni Polok penari top Banjar Kedaton, yang berdiam di Pantai Sanur. Lalu pelukis Walter Spies dan Rudolf Bonnet yang memilih bukit dan jurang di kawasan Ubud. Sementara ia sendiri pernah membaca tentang Bali dari kitab Island of Bali yang disusun oleh Miguel Covarrubias, seorang antropolog dan seniman berdarah Meksiko yang lama dan telaten mendalami kultur, menyusuri tebing-tebing dan pematang persawahan Bali. Dengan foto-foto yang dibuat dan didistribusikan ke media massa Amerika itu Bob segera merasa sebagai pejalan yang tak sia-sia. Ia ingin surga tidak dihirup oleh dirinya sendiri belaka. Sebab Bali, menurutnya adalah permata. Dan diyakini Bali hanya ada satu di dunia.

Pantai Kuta Ditemukan

pantai-kuta-2Tetapi Bali baginya tetaplah sebuah perjalanan, sampai akhirnya Bob dan Louise menemukan sebuah pantai yang masih perawan, dengan pasir putihnya yang menggoda serta pohon-pohon nyiur yang tak terpanjat siapa saja. Ini Kuta namanya, demikian seorang penduduk menjelaskan dengan ramah. Pantai yang nyaris tak pernah disinggahi jejak-jejak kaki, kata warga Kuta lain dengan lugu dan bahagia. Ini surga manusia yang belum ternikmati, pemberian Sang Hyang Widhi, kata seorang pemangku yang ada di desa itu dengan bangga namun rendah hati. Pantai Kuta yang membentang lebar tiba-tiba membawa Bob dan Louise ke alam realitas yang imajinatif. Dan menyihir mereka untuk tetap tinggal di sana.

Di medio 1936 itu Bob lantas pelan-pelan membisikkan sebuah permintaan kepada istrinya : “Bagaimana kalau kita berdiam di sini saja”. Louise tersenyum dan lalu memeluk sang suami dengan erat. “Kuta juga telah menjeratku untuk tak lagi pergi ke mana-mana,” sahutnya. Sejak itu, sungguh, mereka menghapus daftar tamasyanya yang lain. Eropa, India, Jepang, serta Cina, yang tertulis sebagai jadwal, hanyalah sebuah rencana. Pantai Kuta!

Bob lalu menyekutui Kuta dengan mendirikan rumah, studio dan sekaligus 4 buah cottage beratap ijuk di sana. Dengan modal 1.375 dolar bangunan hotel kecil diusahakan berdiri. Biaya ini tentu saja rendah, lantaran dalam pengerjaan Bob dibantu oleh sejumlah penduduk Kuta yang gotong-royong dengan gembira. Mereka bekerja sukarela tanpa mengharap bayaran sepeser pun. Beberapa bulan kemudian cottage itu terbangun dengan apik dan tenteram.

Bob menjuluki “pondokan”-nya dengan sedikit hiperbolis, Kuta Beach Hotel. Julukan itu dibuat agak provokatif, supaya orang tertarik untuk mendatanginya. Bahkan Louise sengaja membuat sketsa moment pendirian papan nama hotel yang berbunyi, “Kuta Beach Hotel – R.A.Koke, Manager”. Setelah Bob mengajukan permohonan yang agak dipersulit dan sangat prosedural, pemerintah Belanda memperbolehkan hotelnya untuk diperkenalkan kepada publik dan dikomersialkan.

“Hotel pertama di Pantai Kuta telah berdiri. Inilah tempat bagi semua orang untuk bisa melihat pantai yang sangat indah sehari semalam, sepuluh hari sepuluh malam, seratus hari seratus malam, lengkap dengan surya dan bulan. Lengkap dengan perdu dan nyiur serta tupai yang lincah melompat-lompat!” kata Bob penuh semangat.

Lalu di akhir tahun 1936 itu ia mengirimkan surat kepada sejumlah temannya di Amerika. Mereka diundang untuk menginap di hotel yang menghadap ke horison paradiso tersebut. Tentu sambil menjumpai barong, menakjubi ngaben, menyentuh lamak, canang dan cili-cili. Mengagumi pura, menghayati kebyar, janger, mendalami kecak, atau meniti pesona lukisan Kamasan, Ubud, dan Batuan.

Lalu datanglah surat pertama dari calon tamu, Helen Wright, yang akan muncul ke pantai Kuta pada 27 Januari 1937. Bob terkesiap dengan kedatangan yang mendadak itu, karena sesungguhnya hotelnya belum seratus persen jadi. Helen bersama 3 temannya pun muncul dan segera menginap, dengan ditempatkan di satu cottage, karena 3 cottage lainnya belum kelar. Sementara seorang teman lelaki Helen diinapkan di kamar Bob. Dan Bob serta Louis sendiri ? “Kami terpaksa tidur di serambi”.

Namun Januari bukanlah bulan baik untuk bercengkerama dengan laut. Awan gelap setiap kali menyelimuti langit, dan hujan deras tak henti mengguyur pantai. Dengan begitu sisi-sisi hotel juga kuyub, sehingga beberapa bagian dari rumah surgawi itu tergenang air.

Bob merasa tak enak dengan para tamunya sehingga mereka akan “dievakuasi” ke Bali Hotel di Denpasar, yang kala itu menjadi satu-satunya hotel besar, dan memang benar-benar hotel, di Bali. Namun para tamu Bob terus bertahan dengan kegembiraan. Mereka berkata, keindahan Kuta justru hadir bersama segala peristiwa alam yang menyertainya. Kuta yang kultural adalah Kuta yang natural. Dan itu hanya bisa didapat dari Kuta Beach Hotel.

Matahari di cakrawala tetap setia menutup senja. Telegram reservasi berdatangan ke meja Bob. Dan tamu-tamu tak henti keluar masuk hotel yang dikelola oleh orang-orang Bali yang rajin, mau belajar, setia, jujur dan penuh dengan rasa syukur. Tahun 1939 adalah warsa yang membahagiakannya. Hotel pertama di Kuta itu, yang lantas disebut sebagai “Kuta Beach Hotel” sukses menjaring tamu. Seperti bola salju, dengan munculnya banyak tamu, menarik hasrat grup pemain gamelan Bali yang berjumlah puluhan orang untuk melakukan pertunjukan di situ. Mereka berlatih setiap waktu, seharian, dengan membawa sendiri bekal makanan dan minuman. Dengan musik dan tari, tamu semakin antusias datang. Sebuah suguhan hotel yang di hari kemudian menjadi tradisi yang niscaya di Bali. Hotel Bob termasuk yang memulainya!

Kuta menjadi hidup. Pantai landai yang tadinya hanya menjadi ladang pertapaan bagi rumah-rumah keong, kini mulai dihiasi orang-orang yang berleseh di pasir menikmati suara air yang terus berdesir. Warung-warung kecil bertumbuhan, dan pedagang acung (asongan) dua tiga muncul meramaikan. Perahu-perahu nelayan yang biasanya lewat dengan kelengkapan kesepian, kini selalu memperoleh teriakan dan lambaian, dengan ditemani para penggemar surfing atau selancar, olahraga baru yang diperkenalkan oleh Bob. “Namun hotel itu tak lama menikmati pesta”, kisah pedanda itu dengan lirih.

Tahun 1942 Jepang masuk Indonesia. Runcing bayonetnya mengusir wajah-wajah Barat yang yang ada di Bali. Perang diawali dengan latihan-latihan yang dilakukan di kawasan Sanur sampai Kuta. Peluru meletus di mana-mana. Kawat duri mulai dipasang di sekujur jalanan. Letusan peluru dan teriakan lelaki-lelaki histeris didengarnya siang dan malam. Sehingga Bali yang magis berubah jadi Bali yang miris. Bob dan Louise mewaspadai semua ini. Mereka bertanya bahkan bersaksi dalam hati, bahwa sebagai orang asing, kecil kemungkinan mereka bisa hidup di Bali dengan tenteram.

Maka di suatu hari yang gaduh, sembari mengemasi semua barang yang bisa dibawanya, seperti lukisan-lukisan dan foto-foto karyanya, Bob dan Louise menyerahkan hotelnya yang (sudah) bernilai sekitar 10.000 dolar itu kepada Lekas, pengelolanya. Bli (mas, abang) Lekas bukan main terkejut menerima “anugerah” itu. Lalu dengan gemetar ia menghantar sejoli Bob dan Louise keluar segera dari Bali. Dari Denpasar mereka merayap ke Surabaya. Di tengah kengerian perang Jepang mereka tiba di Cilacap, untuk akhirnya berlayar selama 42 hari ke New York.

Di negerinya, pada beberapa belas bulan kemudian, Bob dan Louise sayup-sayup mendengar bahwa hotelnya di Kuta telah remuk redam. Luluh lantak tinggal nama lantaran bom! Perang Dunia ke II meratakan hotelnya dengan tanah. Dalam sebuah cerita dikisahkan, di masa PD II itu, berhari-hari mereka melongok jendela menatap langit terbuka, dan dengan sayu mengarahkan matanya ke kiblat Pantai Kuta. Kepedihan menggerus kenangan.

Tapi, bisakah gagasan ditumpashancurkan? Nampaknya tidak. Karena realitas diam-diam menunjukkan jawaban: beberapa tahun setelah perang usai, atas permintaan banyak wisatawan yang sudah mengenal Kuta, tempat penginapan baru nampak berdiri. Satu dekade berikut puluhan lainnya bersitegak. Tigapuluh, limapuluh tahun setelahnya ratusan bungalow, losmen, cottage, motel, home stay, hotel atau apapun namanya hadir di sana dengan gemerlap yang tak sudah-sudah. Sebuah kisah yang mirip dongeng Bugsy Siegel ketika mendirikan Las Vegas di gurun batu Nevada. Dan hampir 2 juta manusia dalam setahun memadati Pantai Kuta seraya berbaring, bersemadi, dan merenung di ruang penginapan, bagai mengenang jasa Bob.

Sementara Bob dan Louise sendiri, meski tak lagi menghabiskan hari tuanya di Kuta, pantai dan laut itu tetap dianggap rumahnya. Itu sebabnya, ketika Louise wafat di Amerika, abu jenazahnya dilarung di Pantai Kuta pada Rabu, 11 Agustus 1993. Dan lukisan-lukisan Louise serta foto-foto Bob dipersembahkan kepada Bali, dengan dipajang sebuah museum di Bali guna ditonton siapa saja.