Hujan gerimis yang turun tak menyurutkan niat tim Travel Club (TC) untuk menyambangi Desa Dawung di Kecamatan Prambanan. Kunjungan TC ke desa yang berada di wilayah perbukitan ini tak lain untuk melihat dari dekat sebuah situs bersejarah peninggalan masa kejayaan Wangsa Syailendra dari kerajaan Medang (Mataram Hindu) yang dikenal dengan nama Istana Ratu Boko. Kebanyakan orang pun menyebut situs ini dengan nama Candi Ratu Boko.

Pemandangan alam nan indah tersaji sempurna menuntun pengunjung yang hendak berwisata ke Candi dari akhir abad ke-8 masehi ini. Jalan aspal berliku dan menanjak, dengan suasana alam yang asri membuat perjalanan menuju desa di Kabupaten Sleman ini terasa menyenangkan. Sawah yang mulai menguning terhampar sejauh mata memandang di kirikanan jalan. Kehidupan pedesaan dengan aktifitas masyarakatnya memperkaya pengalaman dan tentunya tak mudah terlupakan.

Nama Ratu Boko merupakan berasal dari legenda masyarakat sekitar, Ratu berarti Raja/Ratu, sementara Boko dalam bahasa Jawa artinya Bangau. Jadi secara harfiah Ratu Boko dapat diartikan sebagai Raja Bangau. Berdasarkan prasasti Rakai Panangkaran (746-784M) kawasan ini dulunya disebut sebagai Abhyagiri Wihara atau dapat di artikan Wihara di atas bukit yang damai.

Sebagai sebuah obyek wisata, Kompleks Keraton yang berlokasi 3km di sebelah selatan kawasan Candi Prambanan ini memang belum terlalu populer. Namun, bukan berarti Ratu Boko tak menarik untuk dikunjungi. Sejarah keberadaan candi dengan balutan keindahan alam sekitar seolah memiliki daya magis yang membuat wisatawan bisa berlama-lama singgah dikawasan ini. Di antara reruntuhan bangunan yang masih tersisa, bagi para arkeolog, situs ini menyimpan misteri besar yang menarik untuk diungkap.

Jalan menanjak segera menyambut selepas melewati loket pintu masuk. Selepas jalan dari loket, ada dua gapura sebagai pintu masuk situs Istana Ratu Boko. Gapura pertama memiliki tiga buah pintu dengan pintu tengah berukuran besar yang diapit dua pintu dengan ukuran lebih kecil di kiri-kanannya. Gerbang masuk ini terbuat dari susunan batuan andesit berwarna hitam kecoklatan yang tampak kokoh. Berbeda dengan bangunan keraton pada umumnya, Istana Ratu Boko kebanyakan bangunannya terbuat dari susunan batuan andesit yang biasanya digunakan sebagai bahan untuk bangunan candi.

Dengan jarak yang berdekatan dari gapura pertama, setelah melewati teras berlantai batu, gapura kedua segera menyambut. Gapura ini memiliki lima buah pintu dengan pintu utama dibagian tengah. Empat pintu pendamping yang berukuran lebih kecil, mengapit dikedua sisinya. Setelah melewati gapura kedua ini hamparan rerumputan dengan runtuhan bangunan akan menjadi pemandangan selanjutnya.

Di sebelah kiri dari gapura ini terdapat sebuah bangungan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi yang di yakini sebagai lokasi untuk prosesi Pembakaran. Berbentuk bujur sangkar dengan luas 26 meter x 26 meter, candi ini memiliki dua buah teras. Disebelah tenggara terdapat sebuah sumur yang kabarnya, sumur ini bernama Amerta Mantana yang dapat diartikan sebagai air suci yang yang diberi mantra.

Peninggalan-peninggalan bangunan lainnya di kompleks ini antara lain sebuah sisa-sisa bangunan pendopo berukuran 20mX20m dengan tinggi 1.25m. selain itu, disini juga dapat disaksikan pondasi Pringgitan (ruangan antara pendapa dan bagian ruangan utama) yang juga berukuran tak berbeda. Dalam kompleks situs Ratu Boko juga terdapat Keputren (bagian istana tempat tinggal para putri raja/bangsawan).

Di dalam kawasan seluas 250.000m2 ini, juga terdapat sebuah komplek pemandian yang dikelilingi pagar, lokasi tempat pemandian ini berada di bagian timur Pendopo. Selain itu, batur Paseban (balai yang berfungsi untuk pertemuan/menghadap raja) juga masih bisa disaksikan di kawasan ini.

Sayang ketika Travel Club berkunjung, cuaca di kawasan Ratu Boko sedang kurang bersahabat. Awan tebal menyembunyikan sinar matahari sore itu. Padahal, selain keberadaan sisa-sisa peninggalan kerajaan mataram kuno, daya tarik dari kawasan ini, juga terdapat pada momen matahari terbit dan tenggelam. Saat-saat ini yang paling ditunggu para pengunjung yang bertandang kesini, semburat sinarnya semakin menambah keindahan lokasi Istana Ratu Boko dan alam sekitar.

Situs yang Masih Diselimuti Misteri

Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-17 HJ. De Graaf, seorang arkeolog berkebangsaan Belanda mencatat bahwa terdapat sebuah situs kepurbakalaan yang berlokasi di sebelah selatan Candi Prambanan. Catatan ini berdasarkan informasi orang-orang Eropa yang sedang melakukan perjalanan. Kemudian pada 1790 Van Boeckholtz menemukan reruntuhan bangunan di perbukitan.

Penemuan ini kemudian menarik minat banyak ilmuan, namun sayang setelah laporan yang disampaikan Boeckholtz, para ilmuan yang datang sekadar melakukan kunjungan dan pencatatan saja. Seabad berselang barulah sekelompok tim arkeologi yang dipimpin oleh FDK Bosch mengadakan penelitian atas keberadaan candi ini.

Banyak artefak-artefak yang menjadi peninggalan di Ratu Boko. Termasuk patung atau arca, baik Budha maupun arca Hindu. Beberapa prasasti berbahasa sansakerta juga ditemukan. Prasasti Siwagraha misalnya, prasasti ini berisikan peperangan yang terjadi antra Raja Balaputra dengan Rakai Pikatan. Kekalahan membuat Balaputra melarikan diri dan mendirikan bangunan pertahanan disekitar kaki bukit Ratu Boko.

Prasasti lain berbahasa jawa kuno juga pernah di temukan disini. Prasasti dalam bentuk syair Sansakerta ini menceritakan kerajaan Lingga Kertiwasa dan Lingga Triyambaka atas titah Raja Kumbhaya, ada juga prasati yang menceritakan pendirian Lingga atas perintah Raja Kalasodbhawa.

Meski sudah banyak penemuan dan penelitian yang dilakukan, situs Ratu Boko masih menyimpan sebuah misteri besar mengenai fungsi sesungguhnya komplek istana ini. Ini mungkin karena karena tidak adanya prasasti yang mengungkapkan secara gamblang mengenai fungsi dari situs yang membuat para ahli masih kesulitan menafsirkan apakah kompleks ini sebuah taman kerajaan, benteng pertahanan, candi atau pun sebuah keraton.

Sumber: Majalah Travel Club