Bagai karpet raksasa di kejauhan! Warnya hijau. Pemandangan itu mulai terlihat ketika kendaraan memasuki kawasan kebun teh PT Pagilaran di Batang, Jawa Tengah. Hamparan tanaman teh menutup lereng utara dataran tinggi Dieng, mengikuti kontur tanah. Jika beruntung cuaca cerah, dari punggungan salah satu bukitnya tampak laut biru membentang di arah utara

FOTO-FOTO: PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI

KARPET RAKSASA – Hamparan tanaman teh PT Pagilaran memenuhi lereng utara dataran tinggi Dieng, bagai karpet raksasa berwarna hijau.

.

SELURUH permukaan bukit tampak hijau tak bercela. Suasananya tenang, tenteram, suatu hal yang membedakannya dengan perkebunan teh di kawasan Puncak, Jawa Barat, yang langsung berbatasan dengan jalan raya.

Perkebunan teh yang dirintis sejak 1889 itu terletak di ketinggian 1.000 meter sampai 1.500 meter di atas permukaan air laut. Kabut sering datang, menutup sinar matahari. Suhu rata-rata pada siang hari di kawasan itu 21 derajat sampai 25 derajat Celsius, dan turun menjadi rata-rata 15 derajat sampai 18 derajat Celsius pada malam hari.

Dengan keadaan seperti itu, aktivitas keseharian pun sering harus dibatasi hingga pukul 13.00. Lebih dari itu, wilayah itu sering tertutup kabut.

Keadaan seperti itu pula yang setiap hari dihadapi pekerja kebun teh Pagilaran, terutama para pemetik teh. Bagai berkejaran dengan waktu. Tak sempat peluh meleleh. Baju tebal dan caping, penutup kepala, menjadi alat andalan untuk berkubang dalam lingkaran rutinitas, memetik pucuk teh.

Namun, tak sepenuhnya menjadi rutinitas. Tawa-tawa renyah samar-samar terdengar menyeruak dari kerimbunan pohon teh setinggi 50 cm hingga 100 cm. Bekerja sambil bercengkerama, berbagi cerita, menjadi pemecah kejenuhan. Adakalanya canda para pemetik teh terdengar riuh, namun tak mengganggu kelincahan tangan, memetik pucuk-pucuk daun teh dengan rumus yang sudah dihafal di luar kepala, dan melemparnya ke tenggok, bakul besar yang digendong di punggung dari tenunan bambu sebagai alat penampung, tanpa pernah meleset.

Menjelang tengah hari, seperti pada penggal pertengahan Januari lalu, sebagian pemetik beristirahat di salah satu gubuk, tempat menampung pucuk-pucuk teh. Mereka sedang makan siang. Di rerumputan, beralaskan lembaran daun pisang, tampak nasi jagung, sayur, ikan asin, sambal, petai bakar, dan lalapan. Makan siang ramai-ramai, sambil bercakap ringan. Dengan keramahan yang tulus, mereka mengundang serombongan tamu yang sedang melintas untuk ikut bergabung. Mereka juga menunjukkan, pucuk daun teh bisa dimanfaatkan sebagai lalap. Rasanya sepat, mirip rasa pucuk daun jambu mete. “Itu baik untuk menangkal diare,” kata mereka.

Hal yang juga membedakannya dengan kebun-kebun teh lain, adalah jalan setapaknya yang nyaman dilewati. Sebagian besar, jalan setapak berumput. Sebagian ruas jalan yang dipakai untuk mengangkut hasil pemetikan bahkan sudah beraspal, berkelok-kelok mengikuti kontur perbukitan.

Gubuk-gubuk yang dibangun di beberapa titik, sebagai tempat penampungan teh, bisa dipakai sebagai tempat beristirahat jika lelah berjalan-jalan. Sebuah gardu pandang, dibangun tak jauh dari pabrik, sebagai tempat melepas lelah.

Dari tempat itu, terlihat jelas kabel-kabel kekar menggantung. “Itu bekas kereta gantung untuk mengangkut daun-daun teh pada masa kebun teh ini masih dikelola Belanda. Tapi sekarang sudah tidak dipakai lagi,” kata Supriyono, salah satu karyawan PT Pagilaran.

PENYORTIRAN – Penyortiran rajangan daun teh, salah satu proses pembuatan teh yang bisa dilihat di pabrik.

Banyak Jalan

Banyak jalan menuju Pagilaran. Perkebunan teh milik Yayasan Pembinaan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu, terletak sekitar 40 kilometer di selatan Batang, kota di pesisir utara Jawa Tengah. Dari Pekalongan, memerlukan waktu 1,5 jam, melalui Batang dan Blado. Dari Yogyakarta, Pagilaran bisa ditempuh 3,5 jam melalui Temanggung. Dari Semarang, melalui Sukorejo, kebun teh itu dapat ditempuh 2,5 jam.

Kalaupun tidak membawa kendaraan sendiri, tersedia kendaraan umum berupa bus-bus kecil, yang melayani trayek Batang, Bandra, Blado, Pagilaran. Jalannya mulus, dengan pemandangan pedesaan yang tenang di sepanjang jalan. Di mana-mana hanya tampak kehijauan.

Merunut sejarahnya, kebun teh pertama kali dibuka di Kecamatan Blado, yang kemudian meluas ke Reban dan Bawang hingga seluas 2.032,70 hektare. Saat ini, tercatat 10.315.000 hektare kebun teh yang dikelola PT Pagilaran. Seluas 611 hektare lainnya, diusahakan melalui pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) antara PT Pagilaran dengan sekitar 1.176 petani teh sekitar.

PT Pagilaran sudah lama melayani paket wisata pendidikan, konvensi rekreasi, hiking, trekking, berkemah, hingga acara syukuran. Untuk keperluan itu tersedia ruang sidang berkapasitas 50 orang, dan gedung pertemuan berkapasitas 500 orang. Divisi agrowisatanya bahkan menyediakan arena wisata khusus seperti sepeda gunung dan terbang layang.

Pengunjung tak perlu repot-repot bolak-balik ke Batang, karena perkebunan menyediakan fasilitas penginapan. Ada tiga wisma berkapasitas 100 orang, yang tarifnya bervariasi antara Rp 30.000 sampai dengan Rp 50.000 per malam. Masing-masing kamar dilengkapi kamar mandi dengan air panas. Di samping itu masih ada dua homestay masing-masing berkapasitas 20 orang, yang juga dilengkapi fasilitas air panas. Tarifnya Rp 150.000 per malam.

Perkebunan juga menyediakan sarana peribadatan, sebuah masjid dan sebuah gereja kecil. Di antara kedua sarana peribadatan itu, tampak sebuah kandang besar, tempat memelihara rusa. Pada salah satu sudutnya, tampak kandang lebih kecil berisi dua binatang landak. Di dekat kandang pula, terdapat berbagai sarana permainan bagi anak-anak.

Fasilitas rekreasi lain yang disediakan adalah lapangan tenis, lapangan badminton, lapangan sepakbola yang terawat, lapangan bola voli, dan arena biliar. Olahraga memang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari karyawan kebun teh. Nama PT Pagilaran juga melambung berkat kesatuan sepakbola putrinya.

Selain berjalan-jalan di sela-sela tanaman teh, pengunjung bisa melihat proses pembuatan teh, mulai dari proses pelayuan teh, penyortiran, pengeringan, hingga pengepakan di pabrik. Jika punya energi berlebih, masih ada tempat menarik yang bisa dikunjungi, yakni air terjun Binorong dan Curug Kembar.

Kebun teh Pagilaran akan menjadi ajang jalan-jalan santai pembaca setia Suara Pembaruan pada April mendatang.

PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI dan SOTYATI