PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI

PADA mulanya, tari-tarian dipersembahkan sebagai bagian dari ritual. Bahkan dalam masa berkabung pun suku Lani di Pegunungan Tengah Kabupaten Jaya Wijaya , Kabupaten Puncak Jaya, Papua Barat bersatu dalam tarian-tarian rancak dan khidmat.

Sepanjang teriakan dan lagu-lagu tak beraturan didengungkan, semua mengandung fonem-fonem yang hanya bisa dipahami secara indrawi, jika keluarga mereka sakit atau berdoa kepada arwah nenek moyang. Tarian-tarian dipersembahkan sebagai sikap kerukunan dan kebersamaan.

Pada dekade 70-an, muncul keinginan dari penduduk muda Papua yang merantau ke daerah lain untuk mengungkapkan keberadaan mereka dengan mempertontonkan tarian mereka. Sejak itulah, motif dan misi tarian sedikit bergeser. Dari hubungan penuh personal, menjadi kemajemukan.

Dalam sebuah masa, pergeseran dan proses evolusi menuju kesempurnaan pasti akan menghampiri. Begitu juga dengan masyarakat adat koteka yang hidup di sepanjang

Pegunungan Tengah dan Puncak Jaya. Masyarakat koteka bermukiman mulai Montagen di Papua Nugini sampai dengan Kabupaten Paniai sampai pedalaman Kabupaten Nabire, termasuk pedalaman Kabupaten Mimika. Mereka juga mengalami proses menuju kesempurnaan.

Namun ada kalanya, mitologi adat itu tergerus bersama waktu dan proses evolusi. Berangkat dari rasa was-was ini, empat pemuda suku Lani Pegunungan Tengah Papua Barat, kembali mengungkapkan bagaimana dan apa saja dinamika kebudayaan masyarakat koteka itu.

Pernikahan

Paulus Katamap, Joseph Baweng, Fanny Kogoya dan Nelson Pagawak, para pemuda suku Lani, kembali menyeruak belantara Cendrawasih, memutar rekaman adat istiadat hingga sistem sosial yang kini mulai tertindih bangunan-bangunan beton.

Umbi-umbian yang lebih dari 300 jenis, mulai berganti dengan nasi. Sagu mulai ditinggalkan. Mempelai pun kini menyandang busana ala Eropa. Hampir tidak ada lagi adat perkawinan leluhur. “Meski masih ada, itu hanya dilakukan oleh para orang tua. Sedang anak mudanya lebih memilih bergaun, daripada berkoteka atau berbaju kulit kayu,” kata Fanny Kogoya.

Dalam kehidupan sosial orang koteka dengan proses-proses pelangsungan perkawinan, larangan-larangan yang membatasi orang untuk boleh atau tidak boleh, perkawinan dimulai dari negosiasi. Termasuk biaya. Dulunya, emas kawin ditentukan dengan kapak batu dan manik-manik. Kini, “uang” lah yang menggantikan posisi manik-manik dan kapak itu.

Jika persyaratan tersebut tak dipenuhi, sebuah pernikahan tak akan sah secara adat.

Adat koteka menentukan umur kawin bagi seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Syarat itu dilihat dari apakah seorang laki-laki bisa membuat rumah, kebun, berburu dan lain-lain.

Sedangkan seorang perempuan jika sudah bisa memasak, membuat kebun atau memelihara ternak babi, maka dianggap sudah bisa untuk kawin.

Saat ini orang mudah menentukan berapa umur kawin bagi laki-laki dan perempuan dilihat atau dihitung dari tanggal dan tahun kelahiran.

Kalau dibandingkan dengan masyarakat modern, sikap tanggung jawab ini tentunya mengandung banyak makna. Namun bagi suku di pedalaman Papua, tanggung jawab, murni tanggung jawab. Tak ada tawar menawar.

Setelah sah menjadi sepasang suami istri, orang koteka lantas mendirikan rumahnya sendiri. Ada larangan buat mereka untuk berkumpul dengan keluarga. Nelson, lantas menuturkan, masyarakat koteka Pegunungan Tengah, memiliki sistem arsitektur, terutama dalam hal pembuatan rumah yang berbeda dengan komunitas yang ada di Papua. Rumah tinggal yang mereka sebut Kunume. Berbentuk bulat dan tertutup rapat tanpa ada celah sedikitpun.

Dalam komunitas Pegunungan Tengah, Kunume terbagi menjadi tiga bagian. Kunume untuk tempat tinggal kaum laki-laki, dan Home adalah tampat tinggal kaum ibu-ibu dan anak-anak, sedang Waliana adalah dapur tempat memasak dan kandang ternak.

Bentuk Kunume dan Home, bulat dan sama besar. Sedangkan Waliana atau dapur dan tempat ternak ini bentuknya dibuat lebih besar memanjang dan terlihat lonjong. Ketiganya beratap alang-alang dan berdinding papan.

Khusus Waliana dibagi dua ruang dengan dibatasi oleh papan, ruang yang satu untuk memasak dan ruang yang satunya lagi digunakan untuk kandang ternak. Waliana ini memiliki dua pintu. Pintu pertama dibuat untuk manusia dan pintu kedua dibuat untuk ternak. Pintu untuk ternak biasanya dibuat mengarah ke alam bebas. Sedangkan pintu untuk manusia diarahkan ke Kunume dan Home.

Sedangkan Kunume memiliki dua pintu. Pintu utama dan pintu cadangan. Pintu utama arah pintu selalu berhadapan dengan pintu gapura atau pintu gerbang. Sedangkan pintu cadangan biasanya dibuat di belakang.

Letak Home untuk tempat tinggal kaum perempuan dan anak-anak ini biasanya berada di bagian samping atau belakang dari posisi Kunume. Pengaturan posisi rumah seperti ini memiliki makna tersendiri, misalnya untuk menghindari kemungkinan serangan musuh pada saat-saat perang berlangsung.

Anak-anak biasanya tinggal bersama kaum ibu-ibu di Home, tetapi anak laki-laki yang sudah mulai besar harus pindah dan tinggal di Kunume. Di Kunume inilah anak laki-laki akan secara langsung belajar segala sesuatu tentang kearifan yang dimiliki sampai ia beranjak dewasa dan kawin.

Dalam kehidupan tradisi, Kunume, Home maupun Waliana biasanya dibuat oleh kaum laki-laki. Perempuan terlibat dengan caranya sendiri yakni menyediakan makanan dan minuman.

Sebuah Kunume, Home dan Waliana juga bisa dimiliki beberapa keluarga yang dibangun bersama-sama. Bentuk Kunume adalah bulat , beratap alang-alang (ongget marak), memiliki dua pintu (tungganggi), depan dan belakang. Sedangkan dinding terbuat dari kayu-kayu belahan (okobat) yang diikat dengan tali rotan yang disebut kele.

Kunume tidak bersekat-sekat, juga tidak berjendela selain kedua pintu.

Bangunan tanpa jendela ini memang ditujukan agar tidak ada udara dingin menyeruak masuk dan mengganggu saat istirahat masyarakat Pegunungan Tengah Papua ini.

Mengapa laki-laki dan perempuan harus terpisah? Menurut Fanny Kogoya, hal itu suatu kebiasaan untuk menjaga aksebilitas kaum laki-laki. Bagi orang Papua dan khususnya masyarakat koteka, di tubuh perempuan, ada kehidupan dan kematian. Karenanya, harus ada keseimbangan. Karena itu, orang Papua sedikit merasa rikuh jika tinggal bersama dalam satu rumah, meski mereka sudah berkeluarga.

Sistem Religi

Sebelum agama masuk, di belahan belantara masyarakat yang hidup dan menyatu dengan alam, menyelaraskan hubungan roh mereka dengan apa yang ada di alam. Masyarakat adat koteka mengenal apa yang dinamakan kepercayaan kepada sang pencipta. Oleh orang modern suatu itu dianggap sebagai percaya kepada roh-roh halus, animisme dan dinamisme.

Namun harus diakui bahwa itulah bentuk yang dilakukan untuk menyembah kepada sang penciptanya. Menurut mereka, ada suatu respon balik dari apa yang mereka lakukan sebagai suatu kekuatan yang memaknai hidup mereka.

Koteka pelindung kelamin laki-laki dan cawat yang terbuat dari kulit kayu untuk menutup kemaluan perempuan, dulu tidak pernah dipersoalkan. Tetapi semuanya telah berubah. Anak-anak sudah tidak berkoteka. Kalau itu dilakukan di belantara modernisasi, mungkin orang akan mengatakan pornoaksi. “Buat orang koteka, tidak ada istilah pornoaksi. Semua serba terbuka, bukan berarti kami tak bermoral,” ulang Nelson.

Ritual bagi pendahulu kami adalah dengan menyimpan tulang-belulang di tempat-tempat khusus, di hutan atau dibuat pondok, lalu disembah dengan meletakan sesajian-sesajian. Semuanya dilakukan untuk mendapatkan perlindungan, kekuatan, mendatangkan kesuburan tanah.

Cara kami mungkin berbeda, tetapi tujuannya sama. Yaitu menyembah Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini. Kehidupan kekal di akhirat, bagi orang koteka, itu soal nanti. Yang terpenting adalah kita yang hidup sekarang, harus berbuat baik dengan sesama, alam dan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini.

Ini adalah suku pedalaman Papua yang hidup dari lembah dan ngarai pegunungan. Mungkinkan kehadiran kami tetap mendapat tempat di antara modernitas dan aturan adat modern yang justru mencarut-marutkan kesatuan suku?

PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI