Menikmati pemandangan matahari terbenam di Pantai Senggigi. [Pembaruan/Lince Eppang]

Sambil menikmati tebalnya pasir Pantai Senggigi, Anda bisa iseng-iseng ditato.

Langit menjingga, mentari lelah siap balik ke peraduan. Debur ombak berirama tenang, memecah buih di bibir pantai. Lambaian nyiur pun seirama dengan desiran angin di Pantai Senggigi, Nusa Tenggara Barat. Beberapa pengunjung pantai, asyik bermain kano.

Beberapa pengunjung lainnya berenang atau berjalan-jalan di sepanjang pantai menikmati semburat oranye pamitnya mentari di garis horizontal Pantai Senggigi. Sunset, di mana pun selalu menjadi momen yang ditunggu.

Bagi pengunjung yang berasal dari kota padat seperti Jakarta, yang setiap hari menghirup udara bercampur polusi, seolah tidak puas-puasnya menghirup udara laut yang segar di Senggigi, seperti ingin menggantikan seluruh udara kotor yang pernah dihirup.

Pesona alam Pulau Lombok memang sudah menggema beberapa tahun terakhir ini. Bagi penikmat wisata bahari, tidak salah jika memasukkan Lombok dalam daftar wilayah yang harus dikunjungi.

Selain keindahan pantainya, pulau ini juga memiliki gunung tertinggi ketiga di Indonesia dengan keindahan pemandangan dari gunung itu serta cerita misteri yang ada di gunung itu. Rinjani, gunung yang memiliki pesona tersendiri, menjadi magnet yang menarik wisatawan datang ke Pulau Lombok.

Mari kita kembali ke wisata bahari pulau ini. Jika Anda ingin menikmati sunset, Senggigi memang pilihan yang paling tepat.

Tetapi jika Anda ingin berenang, tidur di pasir putih yang butiran pasirnya sebesar kemiri dengan pemandangan nan cantik, air yang jernih, Pantai Kuta yang terletak di Lombok Tengah, menjadi pilihan yang tepat.

Pantai Kuta, dalam bahasa Kawi Kuno berarti pintu masuk. Konon, dari pantai inilah Sunan Prapen yakni anak Sunan Giri, datang ke Pulau Lombok dan menyebarkan agama Islam yang menjadi kepercayaan masyarakat Lombok.

Nama lain pantai ini yaitu Pantai Mandalika atau pantai Nyale. Mandalika merupakan nama seorang putri raja nan cantik. Konon, kecantikan wajah Putri Mandalika menarik hati banyak pria, sehingga dia diperebutkan oleh empat pangeran (versi lain juga disebutkan tiga pangeran) dari kerajaan berbeda.

Para pangeran tersebut, sepakat untuk mengadu kekuatan demi mendapatkan pujaan hati mereka. Siapa yang menang, dia lah yang berhak mendapatkan sang putri. Mengkhawatirkan terjadi peperangan gara-gara dirinya, Putri Mandalika memutuskan untuk meninggalkan masyarakat yang dia cintai dengan menceburkan diri ke laut melalui pantai Kuta. Ketika itu, sang putri berjanji untuk sesekali menjenguk rakyatnya.

Pantai ini pun menyimpan keunikan yang tidak didapat di pantai lain. Setiap bulan Februari, dari arah laut mulai pukul 00.00 WITA, akan bermunculan cacing nyale (Eunice) berwarna-warni. Namun, tidak semua cacing bisa dimakan, hanya yang berwarna putih lah yang bisa diolah menjadi makanan. Sementara cacing lainnya mengandung racun.

Masyarakat percaya, bahwa cacing nyale itu merupakan rambut dari sang Putri Mandalika. Anehnya, cacing tersebut hanya muncul sekali setahun dan itu pun hanya sehari, sehingga masyarakat, wisatawan domestik maupun mancanegara, harus rela menunggu kedatangan cacing itu mulai malam hari.

Ketika cacing nyale sudah berdatangan ke pantai (umumnya cacing itu menggumpal), masyarakat buru-buru menangkapi cacing Nyale. Masyarakat juga tidak jijik untuk memakan cacing yang mengandung pro- tein tinggi.

“Kalau cacing itu tidak muncul, maka yang berhak untuk memanggil cacing tersebut adalah keturunan langsung dari Putri Mandalika. Namun, alhamdulillah, hingga saat ini kedatangan cacing itu tidak pernah terlambat, sesuai dengan penanggalan suku Sasak,” tutur pemandu wisata, Samsul Agus Naedi.

Dari penelitian beberapa ahli, cacing nyale atau Eunice itu hanya bisa hidup dalam kondisi perairan laut yang bersih. Itu sebabnya, dikhawatirkan bila pencemaran air laut sampai ke Pantai Kuta, cacing nyale pun tidak lagi mengunjungi Pantai Kuta dengan begitu legenda Putri Mandalika akan punah.

Lepas dari legenda tersebut, Anda pasti tidak jemu di pantai tersebut. Selain pasir putih yang membuat Anda betah berjemur, air laut yang jernih, juga bebatuan yang eksotik di sekitar pantai membuat suasana pantai sangat romantis.

Sekitar tiga kilometer dari Pantai Kuta, Anda juga dapat mengunjungi Pantai Tanjung Aan. Pantai yang elok itu juga berpasir putih. Uniknya, di pantai tersebut akan Anda temui dua jenis pasir putih. Satu pasir putih seukuran biji kemiri dan dibatasi oleh bukit hamparan pasir putih yang halus dan padat akan menyapa Anda.

Rumah-rumah penduduk Suku Sasak di Dusun Sade.

Inilah kerajinan tenun songket khas Lombok.

Suvenir

Perjalanan ke Lombok tidak lengkap jika tidak berbelanja kerajinan khas daerah tersebut. Anda dapat mendatangi langsung desa tradisional suku Sasak. Desa Rembitan Dusun Sade namanya. Dusun seluas 6 hektare itu berpenduduk 700 jiwa. Lokasi desa itu 65 kilometer dari Mataram.

Selain membuat tenunan dengan benang yang diolah sendiri dari pewarna alami seperti sari kunyit dan aneka tumbuhan lain, mereka juga membuat tenunan dengan benang yang sudah jadi. Berbagai jenis tenunan seperti sarung, songket, syal, taplak meja, bakal jas atau kemeja, semua dijual.

Sayangnya, harga kerajinan tersebut ditawarkan dua kali lipat dari harga di luar dusun. Misalnya, sarung tenunan dijual dengan harga Rp 80.000 (tapi bila ditawar bisa turun menjadi Rp 35.000), sementara di luar dusun seperti di Pantai Kuta, dengan barang yang serupa sarung itu dapat dibeli dengan harga Rp 20.000 per helai.

Jadi, bila berbelanja kerajinan tangan di dusun tersebut, jangan segan-segan untuk menawar. Tapi, kalau Anda memang bermurah hati untuk membagi rezeki, harga yang diajukan pengrajin tentu tidak jadi masalah.

Penduduk desa tersebut, pantang untuk menikah dengan orang di luar dari lingkungan mereka. Selain itu, ada tradisi menculik anak gadis, bila sang jejaka ingin menikah dengan pujaan hatinya.

Tidak mudah untuk meminang anak gadis di desa tersebut. Setiap pria yang jatuh cinta, biasanya mengungkapkan di acara perkawinan kerabat. Biasanya di acara tersebut, sang pria akan membawa obor (sekarang diganti dengan senter) dan menunjuk sang gadis yang disukai.

Setelah menyatakan cintanya, bila sang pria ingin bertandang ke rumah anak gadis itu, maka bukan pujaan hati yang ditemui melainkan orangtua dari anak gadis itu. Menurut Samsul, setiap kali bertemu dengan orangtua si gadis, harus menyelipkan uang di bawah tikar.

Tradisi Menculik

Setelah itu, barulah proses menculik dapat dilakukan. Bila suka-sama suka, gadis dan jejaka tersebut biasanya membuat janji untuk bertemu dan si gadis dilarikan ke desa tetangga. Namun, dalam proses penculikan itu harus ada wanita lain yang menjadi saksi.

Wanita inilah yang akan menemani gadis tersebut yang ditempatkan di desa tetangga semalaman. Keesokan harinya, baru pria tersebut melaporkan ke kepala dusun dan menjadi tanggung jawab desa setempat untuk melaporkan ke orangtua si gadis sebelum menikahkan mereka.

Mahar yang diberikan ke keluarga wanita juga dilakukan setelah akad nikah. Menurut penduduk Dusun Sade, Pitro, tradisi kawin culik itu yang menyebabkan tempat tidur anak wanita diletakkan di dapur atau ruang terakhir dalam susunan rumah Dusun Sade.

Dapur penduduk Dusun Sade itu, tidak ada jendela atau celah yang terbuka dan beralaskan tanah. Udara di dalam dapur itu sangat pengap dengan atap yang sangat pendek, sehingga rasa panas langsung mengepung diri Anda, bila masuk ke dalam dapur.

Ada juga yang disebut Bale Kodong. Rumah kecil itu hanya dihuni oleh penduduk yang sudah jompo dan tidak sanggup naik tangga atau pun pengantin baru. Sayangnya, saat Anda memasuki desa tersebut, begitu banyak anak-anak kecil yang akan meminta uang. Keputusan untuk memberikan uang tersebut ada di diri Anda, namun tentunya hal ini bisa membuat pengunjung tidak nyaman.

Selain tenun, oleh-oleh dari Lombok juga berupa makanan seperti dodol rumput laut, asinan rumput laut, ayam bakar taliwang dan sayur kangkung yang sudah dibumbui atau disebut pelecing.

Lombok juga dikenal dengan suvenir mutiaranya yang elok. Namun, hati-hati untuk berbelanja mutiara. Pasalnya, banyak mutiara palsu yang dijajakan. Untuk membuat mutiara palsu itu, biasanya kulit kerang dibersihkan. Kulit dalam dari kulit kerang itu dikerik untuk mendapatkan warna yang beragam. Sementara kulit kerang yang lain, ditumbuk hingga halus sehingga menjadi bubuk, kemudian direbus. Setelah dingin, dimasukkan ke dalam cetakan dan direndam dengan cairan kimia yang membuat permukaannya keras. “Itu sebabnya, bila diuji dengan membakar atau pun menggigit akan sama seperti aslinya. Artinya tidak tergores. Mengetahui apakah itu mutiara asli atau tidak, yaitu dari kilau mutiara itu dan harganya,” ujar Samsul.

Harga mutiara yang dijual di pinggir jalan mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 100.000. Sedangkan mutiara yang budidaya air laut, harganya di atas Rp 100.000 per kilogram. Namun, tidak tertutup kemungkinan ada mutiara dari laut yang dijual dengan harga terjangkau.

Pulau Lombok memang “mutiara” itu sendiri. Menyimpan begitu banyak pesona alam, keunikan adat istiadat dan aneka penganan yang lezat. Sayangnya, kebersihan di daerah itu kurang terjaga. Tempat wisata seperti Senggigi, tidak luput dari tumpukan sampah plastik. Di pinggir jalan, di dalam selokan, berserakan sampah. Selain kebersihan yang kurang terjaga, pekerja hotel juga terkesan kurang ramah terhadap tamu yang datang. [Pembaruan/Lince Eppang]