Masjid Menara Kudus punya gapura yang bentuknya berbeda dengan bangunan masjid pada umumnya di Indonesia. Gapura dan bangunan menara terbuat dari tumpukan batu merah yang menyisakan daya pikat.

Pada bulan Ramadhan, masjid kuno tersebut masih tetap menarik. Bukan saja bagi wisatawan manca negara, tetapi juga para peziarah domestik banyak berdatangan ke tempat tersebut. Banyak wisatawan lokal yang nampak khusuk membaca Alquran di sisi gapura yang berada di dalam masjid. Sengaja mendekati gapura tersebut dengan maksud agar lebih khusuk ketika berdoa. Gapura yang berada dalam masjid tersebut tetap kokoh seperti bentuk aslinya yang kaya nilai historis.

Pada Ramadhan, Masjid Menara Kudus ramai dikunjungi umat Muslim dari berbagai penjuru tanah air. Tak terkecuali para pedagang pun memanfaatkan momentum bulan suci itu untuk meraih keuntungan sambil menjajakan dagangannya di seputar kawasan masjid bersejarah tersebut.

Banyak di antara peziarah memanfaatkan Ramadhan ini selain untuk beritikaf, juga menziarahi makam Sunan Kudus yang lokasinya di sisi barat masjid tersebut. Usai membaca Alquran dan berdoa, para peziarah mengambil wudhu di kolam bagian luar kompleks makam yang terkenal dengan air sejuknya.

Masjid Menara Kudus terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Masjid ini kini menjadi salah satu tempat bersejarah penting bagi umat Islam di Jawa.

Menurut sejarahnya, masjid tersebut berdiri pada 956 Hijriah atau 1549 Masehi dengan nama Masjid Al-Aqsa. Tempat itu dinamakan sama dengan salah satu masjid di Palestina yang kini tetap menjadi perhatian internasional itu.

Menurut kajian historis, adalah Ja`far Sodiq (kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus) yang pernah membawa kenangan berupa sebuah batu dari Baitul Maqdis di Palestina untuk batu pertama pendirian masjid yang kemudian diberi nama masjid Al-Aqsa di Kudus itu.

Belakangan justru masjid tersebut populer dengan panggilan Menara Kudus. Hal ini lantaran merujuk pada menara candi di sisi timur yang memakai arsitektur bercorak Hindu Majapahit.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, memang dengan bijak para penyebar Islam menghargai tradisi leluhur yang dijumpai sambil memperkenalkan ajaran Al Quran. Sehingga, antara agama dan budaya setempat saling menopang dan saling mengisi. Agama tak berkembang tanpa wadah budaya dan budaya akan hilang arah dan ruh tanpa bimbingan agama.

Keunikan bentuk masjid ini memang sulit dilupakan. Pasalnya, bentuk ini tak ada yang menyamai di seluruh dunia. Bentuk arsitekturalnya khas dan mempesona. Menurut salah seorang pengunjung, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, warga yang bermukim di Kudus tidak menyembelih binatang sapi, mengingat binatang tersebut dalam Hindu dihormati bagi pemeluknya. Mereka taat dan masih memegang wasiat Sunan Kudus.

Menurut sebuah laman, yang ditulis Bambang Setia Budi, bangunan menara Kudus mempunyai ketinggian 18 meter, berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar. Seluruh bangunan menggambarkan budaya khas Jawa-Hindu.

Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi.

Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk.

Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

Hubungan historis

Karena usianya, Masjid Menara Kudus menjadi perhatian para peneliti dan pelancong manca negara. Dalam berbagai laman ditemukan cerita bahwa masjid ini selain masih mempunyai kaitan historis dengan penganut Hindu masa Majapahit, juga punya hubungan historis dengan bangsa lainnya di dunia.

Suprapto, salah seorang pemerhati masjid ini menyebutkan lewat sebuah laman bahwa para ahli sejarah, peneliti, arkeolog, dan penulis buku sejarah kepurbakalaan, umumnya terfokus pada sejarah dan keunikan bentuk bangunannya saja.

Ternyata, kata dia, pernak-pernik Masjid Menara, terutama keramiknya, justru tak kalah menariknya dengan bangunan masjid. Lantas ia menceritakan temuan dua arkeolog asal Jepang, Sakai Takashi dan Takimoto Tadashi, yang meneliti dan menelusuri asal mula berbagai keramik di Masjid Menara tersebut. Hasilnya, dua di antara sekian banyak keramik yang menjadi semacam hiasan di Masjid Menara adalah buatan pabrik keramik di Vietnam abad ke-14 hingga ke-15.

Pabrik itu sudah cukup lama hilang dari peredaran. Sebaliknya, keramik buatan China masih terus berproduksi hingga sekarang. Salah satu penyebabnya, kualitas keramik buatan China lebih bagus.

Namun, bukan semata-mata masalah kualitas yang ditelusuri Sakai dan Takimoto, melainkan berhubungan dengan agama dan peradaban. Warga Vietnam secara umum beragama Hindu dan Buddha. Sedangkan Sunan Kudus, pendiri Masjid Menara, adalah salah satu Wali Songo di Indonesia.

Berdasarkan hasil penelusuran sementara mereka di sejumlah tempat bersejarah dan makam Wali Songo, keramik asal Vietnam pada saat itu paling banyak ditemukan. Ini sungguh menarik untuk ditelusuri.

Dua buah keramik buatan Vietnam di masjid tersebut, satu di antaranya menempel di atas “pintu” bagian utara. Bentuknya segi empat, dengan warna dasar putih, di bagian tengah berwarna sedikit kebiruan dengan motif bunga. Ini usianya paling tua, yaitu awal abad ke-14 atau sekitar tahun 1450.

Keramik satunya lagi menempel di “pintu” sebelah selatan, dengan bentuk lebih besar, lebih menarik, dan lebih didominasi warna biru dengan motif bunga. Umurnya lebih muda, yaitu sekitar menjelang atau awal abad ke-15. Keramik ini bermotif bunga yang “berbau” Vietnam dan bentuknya “berbau” Islam.

Motif dan bentuk semacam ini bisa ditemukan di Istambul. (*/cax)