Masjid Raya Sultan Riau merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah Islam dan sejak lama sudah sangat terkenal sebagai destinasi wisata religi. Daya tarik lain karena letaknya di sebuah pulau kecil, bernama Pulau Penyengat. Masjid mulai dibangun ketika Pulau menjadi tempat tinggal Engku Puteri Raja Hamidah, istri Sultan Mahmudah (1761 – 1812 M).

Pulau kecil ini kurang lebih berjarak 6 km dari kota Tanjung Pinang, Ibukota Provinsi Kepulauan Riau, dan dari Pulau Batam berjarak sekitar 35 kilometer. Luas Pulau Penyengat hanya sekitar 240 hektar. Akses ke Pulau bisa dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang dengan menggunakan perahu boat atau dalam penyebutan masyarakat setempat lebih dikenal dengan bot pompong, bentuknya seperti sebuah rumah adat Melayu dengan kapasitas standar 13 orang.

Waktu yang dibutuhkan cukup singkat, hanya sekitar 15 menit saja, dengan biaya Rp 10.000 per orang sekali jalan. Namun biaya untuk kembali ke Pelabuhan Bintan Pura berbeda dan lebih mahal, bisa Rp 20.000 – Rp 25.000, bahkan jika sudah malam harganya melonjak bisa sampai Rp 30.000 sampai Rp 40.000. Jadi, jika memang sudah kemalaman sebaiknya tinggal saja di beberapa penginapan yang tersedia. Selain menghemat, wisata religi akan lebih kidmat di malam hari.

Masjid berwarna kuning, terlihat mencolok diantara bangunan yang ada di Pulau. Bentuk arsitektur masjid ini sangat unik, perpaduan antara Arab, India, dan Melayu. Dua kali pameran masjid pada Festival Istiglal, Jakarta 1991 dan 1995, Masjid Raya Sultan Riau ditetapkan sebagai masjid yang menggunakan kubah pertama di Indonesia. Memiliki 13 kubah, dan empat menara berujung runcing setinggi 18.9 meter yang dulu digunakan muadzin untuk mengumandangkan panggilan shalat.

Peninggalan sejarah berupa mushaf Al Quran tulisan tangan Abdurrahman Stambul pada 1867 Masehi. Sengaja diletakkan dekat pintu utama dalam peti kaca agar pengunjung bisa melihatnya. Sebenarnya ada mushaf yang lebih tua buatan 1752 lengkap dengan tafsir. Tidak diketahui siapa yang menulisnya, tapi tersirat bahwa orang Melayu tidak hanya menulis ulang Mushaf tapi menerjemahkannya. Sayang, Mushaf ini tidak bisa diperlihatkan karena kondidisnya telah rusak. Hanya tersimpan dalam lemari yang ada di bagian kanan masjid bersama 300-an lebih kitab lainnya.

Benda lainnya yang menarik perhatian adalah mimbar dari kayu jati yang dipesan dari Jepara. Sepiring pasir yang konon di bawa dari Tanah Mekah Al-Mukarromah oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, Bangsawan Rai pertama yang menunaikan ibadah haji 1820 Masehi. Dan pasir biasa digunakan masyarakat setempat untuk upacara jejak tanah, tradisi menginjak tanah pertama kali bagi anak-anak.

Sumber: Majalah Travel Club