Berwisata pada sebuah ruang pameran ilmiah mungkin bukan sesuatu yang mengasyikkan. Apalagi jika mereka bukan orang yang menggeluti bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi konsepsi seperti itu tak bisa kita terapkan untuk sebuah pameran langka dan kontroversial di Science Centre Singapura. Ruang pameran ilmiah itu begitu mengasyikkan.

Lihat saja, pameran yang digelar sejak 23 Oktober 2009 dan akan berakhir pada 6 Maret tahun depan itu mampu menyedot ratusan ribu pengunjung dikarenakan keunikan dan keberanian sang pemrakarsa. Penulis yang diundang Singapore Tourism Board (STB) -sebuah agensi pengembangan ekonomi di bidang pariwisata- selama tiga hari di Singapura, 13-15 November 2009, mendapat kesempatan menyaksikan pameran spektakuler bertajuk ’’Body Worlds: The Original and The Cycle of Life’’ tersebut serta mengunjungi sejumlah tempat wisata yang diharapkan akan menyedot banyak pengunjung dalam menyambut Natal dan Tahun Baru 2010. Singapura adalah situs kedua pameran ini setelah dunia premier di London.

Berdalih demi kajian ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan, tubuh-tubuh orang yang telah meninggal dipajang di dalam etalase. Semuanya dipamerkan dalam kondisi kulit sudah dilepas dari raga mereka, sehingga yang terlihat hanya daging, tulang, otot, atau organ dalam vital lainnya.

Sebelumnya tubuh-tubuh itu telah diawetkan dengan metode plastination -suatu proses untuk memelihara tubuh manusia dengan polimer reaktif untuk penelitian medis. Proses ini akan menghentikan dekomposisi dan memelihara tubuh setelah mati.

Semua bahan untuk pameran itu berasal dari Institut Tubuh Plasti­na­ti­on. Mereka yang sebagian tubuh atau keseluruhan tubuhnya dijadikan ba­han kajian ilmiah adalah para pendo­nor mati maupun hidup. Pendonor ha­rus memberikan izin sebelum tu­buh mereka digunakan.

Uniknya tubuh-tubuh tak ber­nya­wa ini tetap dikesankan hidup dalam berbagai aktivitas yang betul-betul ekspresif. Ada yang dibuat tengah bermain basket, bermain catur, melukis, berjalan, menunggang kuda, menunggang kereta ditarik dua rusa kutub, menari, merokok, memeragakan gerakan senam cincin, dan sebagainya.

’’Ini manusia beneran, lho,’’ bisik Basir, pemandu wisata dari STB kepada penulis yang tengah mengamati detail mayat ’’hidup’’ sedang bermain bola basket di dalam sebuah etalase kaca.

Tubuhnya sudah tak tertutup lagi oleh kulit. Terlihat jelas tulang terbungkus daging dengan serat besar-besar dan otot-otot di beberapa bagian tubuhnya. Tempurung kepala bagian depan terbuka, sehingga terlihat otak depannya.

’’Pemeragaan’’ itu terlihat begitu ekspresif. Tangan kanan memegang bola basket dalam posisi siap mendribel, dengan kaki kanan terangkat seakan siap berlari. Tubuhnya sedikit miring ke depan dengan tumpuan kaki kiri. Sorot mata tajam dan mulut membuka seakan berteriak pada rekan sesama timnya untuk mencari posisi agar bisa menerima umpan darinya. Sementara tangan kiri dibentangkan menyerong ke depan seolah sedang menghalangi lawan main yang hendak merebut bola dari sisi kirinya.

Dalam etalase kaca lain, ada juga tubuh dalam posisi duduk di depan papan catur. Tempurung kepala bagian atas terbuka, sehingga tampak sekali keseluruhan otaknya. Mimiknya serius mengamati bidak catur yang tertata di papan bujur sangkar dari kayu.

Di sudut lainnya, ada tubuh mati dengan jari tangan kiri memegang sebatang rokok, sedangkan tangan kanannya berkacak pinggang. Separo tubuh bagian kanan masih tertutup daging, sedangkan yang kiri terlihat organ dalam vitalnya antara lain usus, hati, tulang iga, dan paru-paru. Organ terakhir ini tampak hitam, memperlihatkan kerusakan akibat racun yang terkandung dalam rokok.

Tak hanya tubuh-tubuh manusia yang dipertontonkan. Sesuai dengan temanya, pameran yang mematok tarif 12 dolar Singapura (anak-anak 3-16 tahun) dan 20 dolar Singapura (dewasa) untuk tiket sekali masuk ini juga memperlihatkan sebuah siklus kehidupan manusia.

Esensi dari perkembangan dan penuaan manusia secara indah ditangkap dengan bantuan embrio mulai usia dua minggu dan janin yang telah diplastinasi. Pameran juga memperlihatkan bagaimana tubuh manusia berubah karena usia dan penyakit.

Terang saja, mayat ’’hidup’’ itu mampu menyedot perhatian pengunjung mulai dari masyarakat umum, mahasiswa, pelajar hingga anak-anak. Sesekali mereka mengamati detail tubuh-tubuh yang telah diambil kulitnya itu.

Tak ingin menyia-nyiakan, mereka juga mengabadikan objek langka itu dengan kamera foto ataupun handycam. Beberapa di antaranya bahkan berpose di dekat mayat-mayat itu.

Dr Chew Tuan Chiong, chief executive Science Centre Singapura memperkirakan, pameran ini benar-benar akan menjadi perjalanan penemuan bagi banyak orang, apa pun keyakinan awal dan persepsinya.

’’Jadi selain bisa memberikan gambaran tentang tubuh manusia dan anatomi, juga memungkinkan orang memahami sepenuhnya apa yang mereka khawatirkan tentang kematian, penyakit, atau bahkan khawatir tentang hal-hal lain seperti takhayul,’’ kata Dr Chew.

Lantas siapa sebenarnya penggagas ’’Body Worlds’’ itu? Dia adalah Dr Gunther von Hagens. Ahli anatomi dan pencipta plastination itu lahir pada 1945 di Alt-Skalden, Posen, Polandia—kemudian menjadi bagian dari Jerman.

Pada 1965, Gunther masuk sekolah kedokteran di Universitas Jena, sebelah selatan Leipzig. Metodenya yang ortodoks dan kepribadiannya yang flamboyan cukup terkenal untuk dicatat pada laporan akademis universitas.

Tahun 1970, Gunther mendaftar di Universitas Lubeck, menyelesaikan penelitian kedokterannya. Pada kelulusan tahun 1973, dia mengambil tempat tinggal di rumah sakit di Heligoland. Satu tahun kemudian, setelah mendapatkan gelar dokternya, dia bergabung di Departemen Anestesiologi dan Kedokteran Gawat Darurat di Universitas Heidelberg.

Menikah dengan Dr Cornelia von Hagens, bekas teman sekelasnya, pada Juni 1975, Gunther kemudian menggunakan nama terakhir istrinya. Pasangan ini dikaruniai tiga anak, Rurik, Bera, dan Tona.

Pada 1977, dia menemukan plastination, teknologi terobosan untuk memelihara spesimen anatomis dengan menggunakan polimer reaktif. Dia mematenkan metode tersebut dan selama enam tahun ke depan, menghabiskan seluruh energinya untuk memperbaiki temuannya.

Selama kurun waktu itu, von Hagens memulai perusahaannya sendiri, Biodur Products, untuk mendistribusikan polimer khusus, peralatan, dan teknologi yang digunakan untuk plastination bagi institusi medis di seluruh dunia. Belakangan ini, lebih dari 400 institusi di 40 negara di seluruh dunia menggunakan penemuan Gunther untuk memelihara/mengawetkan spesimen anatomis.

Pada 1983, tokoh-tokoh Gereja Katolik meminta von Hagens memplastinasi tulang tumit St Hildegard dari Bingen (1090-1179), seorang mistis yang riang, ahli agama, dan penulis yang dipuja-puja di Jerman.

Tahun 1992, von Hagens menikahi Dr Angelina Whalley, seorang dokter yang bekerja sebagai manajer bisnis seperti halnya juga perancang pameran Body Worlds. Satu tahun kemudian dia mendirikan Institut Tubuh Plastination yang berbasis di Heidelberg.

Institut ini menawarkan spesimen yang telah diplastinasi untuk pendidikan dan Body Worlds, yang kali pertama dilangsungkan di Jepang pada 1995. Sampai sekarang, pameran tersebut telah ditonton oleh lebih dari 28 juta orang, di 50 kota seluruh Eropa, Asia, dan Amerika Utara.

’’Tubuh manusia adalah sifat terakhir yang tersisa dalam lingkungan yang dibuat manusia,’’ kata von Hagens dalam siaran persnya.
Dia berharap pameran ini bisa memberikan penerangan dan perenungan, bahkan filosofi dan pengakuan religius diri sendiri, serta terbuka pada interpretasi tanpa memperhatikan latar belakang dan filosofi kehidupan dari orang yang melihatnya.

Dari Orchard ke Merlion

Orchard Road tetaplah menjadi daya tarik tersendiri bagi Singapura, selain Merlion di tepi Sungai Singapura. Men­jelang Natal, Orchard didesain begitu gemerlap. Lampu hias, pohon Natal raksasa, pesta, dan berbagai festival menghiasi kawasan yang tak pernah redup oleh waktu itu. Orang-orang yang berbelanja dan sekadar jalan-jalan di kawasan itu juga diharapkan akan terpesona dengan efek-efek khusus perayaan yang dikemas dalam ”Christmas in the Tropic 2009” sejak 7 November 2009 sampai 3 Januari 2010 tersebut.

Bagi kaum shopaholic telah disiapkan pusat belanja terbaru di sepanjang Jalan Orchard, yakni ION Orchard dan Orchard Central, serta 313@Somerset dan Mandarin Gallery. Mal-mal yang menawarkan produk-produk merek terlengkap dari dalam maupun luar negeri itu dirancang dengan konsep unik.

Misalnya Orchard Central yang dikembangkan dengan dana 700 juta dolar Singapura dari Far East Organization. Dihadapkan pada eksterior ikonik yang menonjolkan membran seni digital mencolok dari seniman lokal Matthew Ngui, mal ini memberikan konsep kluster unik. Ba­ngun­an­nya dibuat transparan, sehingga dari luar bisa melihat yang di dalam, begitu juga sebaliknya.

Kemeriahan Orchard tak berhenti sampai di mal-mal yang akan menjadi ”surga” belanja. Pengunjung kawasan itu juga dimanjakan berkeliling Orchard dengan Hippo Bus—sebuah bus tingkat tanpa atap di bagian atasnya, dipandu oleh seorang guide.

”Perayaan Natal pertama kami di Orchard Central akan menghabiskan 1,5 juta dolar Singapura untuk membawakan aksi-aksi hiburan eksklusif, seperti Cirque de la Ville dari Rusia, menghiasi mal, dan kampanye iklan kami,” kata Kelvin Ling, kepala Petugas Pelaksana Bisnis Retail Far East Organization. Dia menambahkan, pi­haknya telah menghabiskan 4,8 juta dolar Singapura untuk mengembangkan penerangan umum di bagian depan mal.

Dibandingkan dengan perayaan sebelumnya, durasi light up tahun ini memang sedikit lebih panjang karena terkait dengan digelarnya KTT APEC, untuk memberikan kesempatan bagi delegasi yang datang di Negri Singa tersebut menikmati suasana Natal.

”Natal in the Tropic adalah acara utama kalender pariwisata Singapura,” ujar Andrew Phua, direktur Tourism Shopping and Dinning, Singapore Tourism Board (STB).Akhir tahun lalu, lebih dari enam juta orang mengunjungi Orchard Road dan Marina Bay selama Natal.

Di luar itu, keramaian bukan hanya monopoli Orchard Road. Sungai Singapura dengan kehidupan malamnya juga memikat. Puluhan restoran yang banyak menawarkan sea food di pinggir sungai tersebut selalu dipadati para pecinta kuli­ner. Kebanyakan dari mereka adalah kalangan bule.

Sementara bagi yang ingin menikmati wisata air, telah disiapkan kapal-kapal kayu. Baik siang maupun malam, kapal-kapal itu siap mengantarkan wisatawan menyusuri sungai sambil menikmati keindahan bangunan yang ada di kedua sisi sungai. Termasuk menyaksikan Merlion, ikon Singapura yang berada di salah satu bantaran sungai tersebut, yang terus dikunjungi wisatawan baik siang maupun malam.

”Dulunya sekitar Sungai Singapura merupakan ka­wasan perniagaan. Namun kini telah menjelma menjadi rumah makan, bar dan klub malam,” ujar Mo­hamed Yusoff Mahmood, pemandu wisata dari STB.

Sumber: Suara Merdeka