Awan putih menggantung di langit Selat Sunda yang terlihat biru bersih, Sabtu akhir pekan lalu. Samar-samar terlihat gunung berwarna kelabu yang berdiri kokoh di tengah laut, diapit tiga bukit hijau.

Para wisatawan berhamburan keluar dari dalam Kapal Motor Penumpang Jatra III dan memenuhi geladak kapal. ”Waw,” decak kagum para wisatawan saat melihat gugusan gunung di tengah laut yang semakin dekat. Dari pengeras suara kapal terdengar pemandu menunjukkan gunung berwarna abu-abu itu adalah Gunung Anak Krakatau.

Wisatawan pun berlomba untuk mengabadikan kemegahan gunung berapi di tengah laut. Sebagian berpose di tepi kapal dengan Gunung Anak Krakatau sebagai latar belakang. Semua seakan tak ingin tertinggal untuk menikmati pesona gugusan pulau di sisi barat Pulau Jawa, Provinsi Banten, itu.

Krakatoa, begitu orang Barat menyebut gugusan gunung yang membelah Selat Sunda. Ketenaran namanya membuat banyak orang penasaran, bahkan meraba-raba wujud Krakatau sebenarnya.

Sejumlah sineas Barat pun mencoba menggambarkan sosok Krakatau. Setidaknya ada tiga judul film yang dibuat untuk menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi pada gunung berapi itu.

Bahkan, seorang penulis kelahiran Skotlandia, Simon Winchester, mencoba merangkum dengan apik cerita dan fakta seputar Krakatau. Cerita yang dilengkapi fakta-fakta ilmiah disuguhkan dalam sebuah buku berjudul Krakatoa, The Day the World Exploded: August 27, 1883, yang diterjemahkan dalam buku berbahasa Indonesia dengan judul Krakatau, Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883.

Nama Krakatau menjadi terkenal setelah meletus pada 27 Agustus 1883. Letusan mahadahsyat yang menimbulkan bencana paling besar kala itu. Suara letusan Krakatau terdengar hingga radius 4.600 kilometer dari pusat ledakan di Selat Sunda.

Krakatau meletus diikuti dengan tsunami yang menyapu lebih dari 295 kampung di pesisir pantai barat Banten, dari Merak, Anyer, Labuan, Panimbang, Ujung Kulon, hingga Cimalaya di Karawang, Jawa Barat. Kawasan di selatan Sumatera pun tak luput dari gelombang tsunami akibat meletusnya Gunung Krakatau. Lebih dari 36.000 orang menjadi korban dalam bencana besar itu.

Sebelum meletus, Krakatau merupakan sebuah pulau besar yang terbentuk dari tiga gunung berapi, yakni Rakata, Perbuatan, dan Danan. Setelah meletus, Gunung Perbuatan dan Danan serta sebagian Rakata lenyap.

Letusan menyisakan tiga pulau yang diberi nama Pulau Sertung, Pulau Rakata atau Krakatau Besar, dan Pulau Panjang atau Krakatau Kecil. Rakata yang terletak paling selatan merupakan pulau dengan bukit tertinggi, yakni mencapai 813 meter di atas permukaan laut. Adapun tinggi Pulau Panjang di utara Rakata hanya 132 meter dan Pulau Sertung di barat laut Rakata memiliki ketinggian 182 meter di atas permukaan laut.

Sekitar 44 tahun kemudian, yakni pada Desember 1927, muncul semburan baru di tengah-tengah ketiga pulau pecahan Krakatau Purba. Gunung berapi baru itu pun kemudian diberi nama Gunung Anak Krakatau, yang kini memiliki ketinggian lebih kurang 315 meter di atas permukaan laut.

Eksotis

Setelah 125 tahun Krakatau Purba meletus, terdapat empat pulau yang tersisa untuk dinikmati di Kepulauan Krakatau itu. Pulau Rakata di sisi selatan, Sertung di sisi barat laut, Pulau Panjang di timur laut dengan Anak Krakatau berada di tengah-tengahnya.

Gugusan pulau yang menjulang di tengah laut itu terlihat eksotis. Awan putih seakan tak pernah lepas menggantung di atas Gunung Anak Krakatau.

Burung-burung camar yang beterbangan di atas gunung menambah keindahan yang dipancarkan dari tengah Selat Sunda. Burung-burung itu pun menandakan Anak Krakatau sudah aman untuk didekati.

Laut, yang seakan memeluk gunung, terlihat biru bersih. Hingga berbagai jenis ikan yang berenang di bawah laut pun tampak jelas dari atas kapal.

Ada banyak cara untuk menikmati eksotisme Krakatau. Salah satunya dengan cara berkeliling, melihat keindahannya dari atas kapal. Tanpa harus turun ke kaki gunung, wisatawan sudah bisa mengabadikan pesona Anak Krakatau dari atas kapal.

Tapi, jika ingin menikmati pemandangan yang lebih indah, cobalah turun di Pulau Rakata atau bahkan di kaki Gunung Anak Krakatau. Tentu saja harus tetap mengindahkan peringatan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana atau Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau.

Sumber: kompas.com