Jika Anda mengunjungi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (DIY) , jangan lupa singgah di Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Rasanya di Indonesia hanya inilah satu-satunya museum kereta. Memang ada museum kereta di Ambarawa, tapi itu adalah museum kereta api. Lokasi Museum Kereta masih di lingkungan Keraton Yogyakarta, tepatnya di bagian barat daya alun-alun lor (utara)

kereta kiai Garudayaksa

Pemerintah daerah Yogyakarta tahu benar bahwa museum kereta merupakan aset wisata. Seiring waktu yang berjalan, pengelola museum tidak tinggal diam. Mereka tampaknya terus berbenah mengikuti perkembangan zaman.

Pada kunjungan Pembaruan akhir Desember 2004 lalu, jumlah kereta yang dipajang di sana sudah mencapai 22 unit. Padahal masih segar dalam ingatan, pada tahun 1990 jumlahnya baru 17 unit.

Jumlah pengunjung juga bertambah. Jika tahun 1990-an pengunjung amat jarang, berkisar 25 hingga 50 orang per hari dan sekitar 100-an orang pada masa liburan maka sekarang sudah mencapai 400 sampai 600 orang. Luar biasa!

Empat belas tahun lalu harga tiket masuk hanya Rp 200. Pengunjung diperkenankan mengambil gambar atau memotret kereta koleksi tanpa tambahan biaya. Sedangkan sekarang, tiket masuk sudah sepuluh kali lipat, Rp 2.000. Pengunjung harus membayar biaya tambahan Rp 1.000 jika ingin mengabadikan kereta koleksi museum.

Museum Kereta merupakan bangunan tua. Bentuknya mirip rumah biasa yang dipergunakan untuk garasi kereta milik keraton. Bangunan ini memang sejak dulu dipergunakan sebagai tempat menyimpan (garasi) kereta istana. Namanya Ratawijaya yang bermakna awak kereta.

Sayang, penambahan koleksi ternyata belum dibarengi penyediaan booklet atau brosur tentang kereta-kereta antik itu. Pengelola museum memang menyediakan beberapa pemandu jika pengunjung menginginkan guide. Alangkah lengkapnya bila dua-duanya tersedia mengingat semua keterangan pemandu wisata diberikan secara lisan.

Risiko salah memberikan keterangan sangat mudah terjadi. Sebagai contoh, saat kunjungan Pembaruan, pemandu menyebutkan kereta Puspo Manik dan Kereta Kus Gading. Keduanya dari tahun 1901 berasal dari masa Hamengku Buwono VIII (HB VIII). Padahal dalam buku Tahta untuk Rakyat masa pemerintahan HB VIII adalah dari tahun 1921 hingga 1939. Jadi, logikanya tahun 1901 masih dalam pemerintahan HB VII yang masa bertahtanya dari tahun 1877 hingga 1921.

Raja HB VII memang cukup lama memerintah yakni 44 tahun. Selain mewariskan paling banyak kereta, ia pulalah yang membangun Istana Ambarukma yang lokasinya kini menjadi Hotel Ambarukma.

Ke 22 koleksi kereta itu merupakan peninggalan dari masa HB I (1755 – 1792 ) hingga HB VIII ( 1921- 1939). Sedangkan HB IX (1940-1984) dan HB X (1984 – sekarang) tentu saja sudah tidak lagi mewariskan kereta kuda karena zaman sudah berubah. Kereta telah berganti mobil.

kereta kiai roto biru

Sejarah

Menikmati bentuk-bentuk kereta kencana itu tak lengkap bila tidak mengetahui sejarah masing-masing kereta. Peninggalan HB I, misalnya, Kanjeng Nyai Jimad adalah buatan Belanda tahun 1750. Kereta ini pemberian Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jacob Mossel.

HB II mewariskan satu kereta buatan Inggris tahun 1800 yaitu Kiai Mondro Juwolo. “Kereta ini pernah dinaiki Pangeran Diponegoro,” ujar pemandu wisata kami. Keterangan itu membuat sejumlah pengunjung otomatis melongok ke dalam kereta. Seperti apa sih tempat duduk kereta yang dulu dipakai Pangeran Diponegoro?

HB III yang diturunkan tahun 1811 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Deandels dan naik tahta lagi setahun kemudian, tak mewariskan kereta. Ia wafat 1814.

HB IV (1814 – 1822) mewariskan dua buah kereta, masing-masing Kiai Manik Retno dan Kiai Jaladara. Keduanya buatan Inggris tahun1815. Kiai Manik Retno untuk kendaraan keluarga raja, sedangkan Kiai Jaladara untuk putra raja dan untuk berburu.

HB V (1822 – 1855) tidak meninggalkan kereta. Keragaman bentuk dan fungsi kereta tampaknya terwakili oleh peninggalan HB VI (1855-1877) yakni empat buah kereta. Kereta Kiai Kus No 10 buatan Belanda 1870 merupakan kereta untuk komandan prajurit keraton. Kiai Garudayaksa sering juga disebut Kereta Kencana (buatan Belanda 1861) untuk kirab raja yang baru dilantik. Kereta ini pernah dipergunakan berkeliling kota atau kirab oleh HB VIII, HB IX dan HB X.

Kiai Wimono Putro (buatan Belanda tahun 1860) untuk pelantikan putra mahkota. Dan, Kiai Harsunobo (buatan Belanda tahun 1870) juga untuk komandan prajurit keraton.

HB VII ( 1877-1921) paling banyak mewariskan kereta yakni 12 unit. Sama halnya dengan peninggalan HB VI, koleksi HB VII juga beragam. Kereta Jongwiyat (1880) untuk komandan prajurit keraton. Kereta ini pada tahun 2002 sempat dipakai dalam rangka upacara pernikahan Putri Pambayun, anak HB X.

Kereta Kiai Roto Biru (1901), untuk upacara adat dan untuk keluarga raja. Kereta ini unik karena warnanya yang berbeda dibanding kereta lainnya, yaitu biru. Kereta Kiai Rojo Pawoko (1901) untuk keperluan upacara adat. Bila kereta-kereta yang disebut sebelumnya adalah kereta buatan luar (Belanda atau Inggris), Kereta Permili yang digunakan untuk menjemput para penari yang akan menari di keraton adalah kereta buatan dalam negeri yakni dibuat di Yogyakarta tahun 1901. Selain Permili, kereta buatan dalam negeri lainnya adalah Kiai Kapulitan yang digunakan untuk kendaraan abdi dalem atau prajurit yang ronda.

HB VIII (1921-1939) mewariskan Kereta Kiai Jantayu sebagai kereta harian dan kereta untuk menyaksikan pacuan kuda oleh HB VIII. Selain itu, ada kereta Kiai Rata Pralaya yang biasa digunakan untuk membawa jenazah.

foto-foto: Harinto - kereta Nyai Jimad

Kanjeng Nyai Jimad

Sebuah kereta yang berusia 255 tahun ialah dari tahun 1750. Informasi lebih lanjut menyebutkan kereta ini pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel. Kereta ini dibedakan dari kereta-kereta lain dengan diselubungi kain putih di atasnya, ada lagi tulisan ekstra berbunyi “Dilarang Pegang”, itulah kereta HB I (1756-1792) yang bernama Kanjeng Nyai Jimad.

Kereta ini dikeramatkan dengan mendapat sesajian tiap malam “angker” yaitu pada hari Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Selain itu juga diikutkan dalam acara mandi tiap tahun baru Jawa, tanggal satu bulan Jawa, Suro (bulan Arab:Muharam).

Gelar yang diberikan kepada kereta ini berbeda dengan kereta lainnya. Kereta lainnya mendapat gelar Kiai tetapi kereta ini mendapat gelar Nyai.

Mungkin orang mengira kereta-kereta yang sudah masuk museum itu sudah tak laik jalan lagi. Perkiraan itu tak benar, paling tidak ada tujuh kereta yang masih laik jalan yang pada acara kirab (berkeliling) seusai penobatan HB X tahun 1989.

Sebuah yang masih laik adalah kereta kebesaran raja yaitu Kiai Garudayaksa (Kereta Kencana), kereta yang mulai dipakai pada masa HB VI sekitar tahun 1869.

Garudayaksa menjadi kendaraan raja pada upacara resmi. Baik HB IX maupun HB X naik kereta ini pada upacara kirabnya tahun 1940 dan tahun 1989.

Garudayaksa juga disediakan untuk tamu-tamu agung keraton. Pada kunjungan Pangeran Charles dari Inggris tahun 1989, menurut keterangan pemandu, pihak keraton sebenarnya telah siap dengan Garudayaksa. Rupanya tamu agung itu memilih naik mobil.

Enam kereta antik lain yang ambil bagian pada kirab HB X tahun 1989 karena masih laik jalan adalah Kiai Jatayu (buatan tahun 1931), Kiai Jongwiyat (1880). Premili (1921), Landower ( 1901), Landower Surabaya (1901) serta Landower Wisman (1901).

Mengamati fisiknya, tentu masih ada beberapa kereta antik yang laik jalan seperti Puspo Manik (1901), Kus Gading atau Kiai Kutha Kaharja (1927).

Kereta itu sebagian besar buatan Eropa (Belanda, Inggris, Jerman), tapi Kiai Jatayu (1931) adalah buatan abdi dalem keraton yaitu Bekel Kudororutonggo.

Kereta belumlah menjadi kendaraan umum di lingkungan keraton Jawa, paling tidak sampai masa Kerajaan Mataram Islam (1592 – 1677). Untuk putri, mereka naik tandu yang dipikul orang, raja-raja naik gajah atau mungkin kerbau. Kerbau, mengingat adanya bahasa Jawa ada sebutan “gajah leno”, maksudnya gajah “tlalene ora ana” (gajah tanpa belalai alias kerbau).

Empat jilid buku sejarah dari spesialis Sejarah Jawa Dr.Hermanus Johanes de Graa (terbitan Grafitipers, Jakarta, 1985, 86 dan 87) hanya dua kalimat saja menyebutkan kereta. Pertama, diskripsi antara tahun 1614-1622 yang menulis Papatih Mataram Tumenggung Singaranu bersama isterinya dalam kereta ditarik dua kerbau.

Kedua, kalimat yang menyatakan Susuhunan Amangkurat I (1659) dan permaisuri, pergi naik kereta ke kolam yang baru digali.

kereta kiai puspo manik

Jaringan Jalan

Selain kian merasuknya pengaruh Barat, dalam hal ini Belanda, maka kian meluasnya jaringan jalan dan kian bermutunya jalan telah mendorong kian populernya pemakaian kereta di kalangan bangsawan Jawa.

Pada awal abad ke-19 atau sekitar tahun 1800-an, bersamaan dengan rampungnya jalur jalan Anyer – Panarukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, kereta biasa dipakai oleh raja dan para bangsawan.

Dalam kitab “Kadipaten Pakualaman” karangan Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, terbitan Gadjah Mada University Press 1985 halaman 120 yang menggambarkan masa 1810 -an terbaca:

“Rombongan yang berangkat ke Semarang dari loji ( loji di Yogyakarta/Benteng Vredeburg) tempat tinggal Residen Minister Belanda adalah berturut-turut Raden Tumenggung Danukusuma, ayah Patih Danurejo II yang membawa kereta sendiri, diikuti oleh kereta yang dinaiki oleh Pangeran Notokusumo dan putranya Raden Tumenggung Natodiningrat yang dikawal oleh prajurit-prajuritnya, dan paling belakang kereta Patih Danurejo yang membawa prajurit-prajuritnya sebagai pengawal pula.

Pada malam harinya mereka sampai di Klaten (Jateng) dan menginap di sini. Residen Minister Belanda Engelhard beserta isteri berangkat kemudian dengan kereta langsung menuju ke Surakarta (Solo).

Andong Yogya

Andong , kereta beroda empat, dihela dua kuda (tetapi sekarang biasanya hanya seekor saja) biasa ditunjuk sebagai khas Kota Gudeg. Dan memang demikian di tempat lain seperti Bandung yang ada sado (dos a dos), delman (dari nama Ir.Deleeman dari Batavia) atau dokar (dog cart) semuanya beroda dua.

Tentang darimana asal andong , sudah jelas jika kita ingat apa yang sudah dikemukakan di muka. Kereta yang semula terpakai di kalangan keraton itu yang kemudian dalam perkembangan waktu “merakyat”(meski semula hanya di kalangan golongan menengah ke atas) sehingga melahirkan andong yang dewasa ini dinaiki orang kebanyakan sebagai alat transportasi tradisional

Seperti telah disebutkan di antara 22 kereta antik itu yang tertua adalah Kanjeng Nyai Jimad. Gelar “Nyai” itu menunjuk ke feminim /perempuan. Bandingkan dalam basa Inggris sebuah kapal besar juga disebut dengan kata ganti orang ketiga feminim “She”.

Maka bolehlah dikatakan bahwa Nyai Jimad itulah yang paling tepat dijuluki ” nenek moyang ” (ingat bukan bapak moyang) andong-andong kota Gudeg yang sekarang. Anda masih bisa naik andong dari belakang Pasar Beringharjo menuju ke Pasargede atau Imogiri. Atau di Malioboro Anda masih bisa jumpai andong ngetem di sana. Atau kalau tidak andong bisa Anda temukan di alun-alun utara di barat daya hanya beberapa meter dari Museum Kereta Keraton Ngayogyakarta.

HARINTO