anak-krakatauKalianda – Gunung Anak Krakatau yang terletak di Selat Sunda itu samar-samar terlihat oleh kami sejak berada di kapal feri dari Merak, Banten, menuju Bakauheni, Lampung. Pemandangan indah tatkala senja pada pertengahan Februari lalu.
Setelah beristirahat malam hari di Travellers Krakatoa Nirwana Resort, ke gunung itulah tujuan saya dan beberapa rekan dari Jakarta keesokan harinya. Dengan menggunakan perahu kayu berkapasitas 30 penumpang, kami meninggalkan dermaga Travellers Krakatoa Nirwana Resort di pagi hari.
Menurut Yundi Nayadilaga, Activity Manager Travellers Krakatoa Nirwana Resort yang mengawal perjalanan kami itu, ombak dan angin lautan di pagi hari lebih bersahabat. “Biasanya perubahan angin terjadi di siang hari,” katanya. Meskipun agak tenang, pelampung jingga yang disediakan resor disarankan selalu menempel di tubuh.
Perahu yang kami tumpangi biasanya mengangkut penumpang dari Dermaga Canti, dermaga kecil di Kota Kalianda, menuju Pulau Sebesi, salah satu pulau yang kami lewati menuju cagar alam itu. Ini juga bisa menjadi alternatif menuju Krakatau. Dari Pulau Sebesi, kita bisa melanjutkan perjalanan dengan perahu kayu sewaan. Tapi jangan lupa, sebelumnya harus mengantungi simaksi (surat izin memasuki kawasan konservasi dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bandar Lampung).
Jika ombak dan angin sedang tenang, dengan perahu itu perjalanan ke Gunung Anak Krakatau bisa ditempuh sekitar tiga jam dari Travellers Krakatoa Nirwana Resort dan dua jam jika keberangkatan dari Dermaga Canti. Namun, karena angin barat tengah berembus kencang saat itu dan ombak lumayan besar, perjalanan kami pun memutar. Waktu tempuh yang biasanya tiga jam menjadi empat jam.
Perjalanan lebih singkat sebenarnya bisa dengan menggunakan speed boat seperti pada paket wisata yang ditawarkan resor, dengan sewa Rp 3,5 juta untuk 10 orang. Dari resor, hanya butuh sekitar dua jam dan dari Dermaga Canti hanya satu setengah jam. Itu sebabnya, paket wisata itu berani menawarkan petualangan tujuh jam, termasuk singgah ke Pulau Sebesi yang berpenduduk sekitar 700 keluarga dan Pulau Umang-umang yang lautnya asyik untuk direnangi.
Namun, karena rombongan kami lebih dari 10 orang, perahu kayu itu pun menjadi pilihan. “Lagi pula kalau ombak dan angin kencang seperti ini, kami tidak berani menjalankan speed boat, lebih aman pakai perahu kayu,” Yundi menjelaskan.

Aman
Perahu melaju tenang melewati Teluk Merak Belantung. Di kiri-kanan kami, bagan-bagan dari bambu untuk menangkap ikan menjadi pemandangan unik. Keluar dari teluk kecil itu, perahu kami memasuki Teluk Lampung yang lebih besar. Sepanjang teluk itu, perahu kami masih aman dari terjangan ombak dan angin kencang. Namun, begitu memasuki Selat Sunda, perahu kami pun goyang. Sejumlah orang yang tadinya duduk tenang di atas kamar perahu memilih masuk ke kamar yang lantainya dilapisi tikar anyaman plastik. Di dalam kamar pun bukan berarti terhindar dari terjangan ombak. Air laut yang masuk melalui jendela-jendela kecil membuat kami basah dan jantung berdebar makin kencang
Meskipun demikian, Yundi mengatakan perjalanan kami itu masih aman. Ombak dan angin barat yang diperkirakan bertahan sampai dengan akhir Februari di jalur Kalianda-Anak Krakatau ini masih lebih jinak dibandingkan dengan pemberangkatan dari Anyer atau Carita, Banten. “Kita berangkat tidak dengan jalur lurus, tapi mengambil jalur yang membelakangi Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku. Itu salah satu kelebihannya jika ada angin kencang, kita bisa berlindung. Kalau dari Anyer, kita langsung bertemu dengan Selat Sunda dan tidak ada pulau untuk berlindung. Selain itu, ada beberapa pemandangan yang kita lihat,” kata Yundi.
letusan-anak-krakatau Mungkin alasan itu yang membuat hari itu, Sabtu (14/2), Cagar Alam Krakatau sepi dari wisatawan. Ketika kami akhirnya tiba di sisi timur gunung, kami tidak menemui satu pun perahu lain. Padahal, di hari Sabtu biasanya ada sekitar lima perahu yang membawa wisatawan dari Kalianda maupun dari Anyer.
Pasir hitam dan batu apung yang selalu menarik minat para penambang menyambut kami di Anak Krakatau. Gunung itu adalah hasil kegiatan vulkanik tiga pulau, yaitu Rakata, Sertung, dan Panjang, sisa letusan dahsyat Krakatau pada 27 April 1883 yang tumbuh antara tahun 1927-1929. Ketika meletus, lebih dari 3.500 korban jatuh, ditambah dengan gempa dan kegelapan planet bumi akibat debu vulkanik yang menutupi atmosfer. Kegiatan vulkaniknya membuat gunung ini masih terus tumbuh sekitar empat sentimeter per tahun.
Embusan angin kencang menerbangkan debu ke lubang hidung yang terasa memasuki mulut ketika menggeretakkan gigi. Bau belerang tercium semakin tajam. Pendakian selama 30 menit mengantarkan kami ke gundukan pasir memanjang yang menyerupai benteng, melewati dataran pasir dan batu-batuan yang terbentuk dari lava, pohon-pohon cemara laut yang menggugurkan buah berdurinya, serta suara kicauan burung bercampur desiran suara ranting yang beradu ditiup angin kencang. Sungguh tenang, Anak Krakatau yang pada tahun 2007 lalu sempat membuat penduduk di sekitar Selat Sunda gentar lantaran aktivitas vulkaniknya, hari itu seperti mengalah pada ombak dan angin yang berembus kencang di sekelilingnya [sinarharapan.co.id]