Jejak kejayaan Kesultanan Banten masih bisa disaksikan, meski tinggal bangunan-bangunan tak utuh lagi di Situs Banten Lama.

Dahulu kala, di Kota Serang, Ibukota Provinsi Banten sekarang, pernah berdiri sebuah kerajaan Islam yang mengalami zaman keemasan antara abad ke-16 hingga abad ke-19 Masehi. Salah satu peninggalan yang hingga saat ini masih bisa disaksikan dan dinikmati secara utuh adalah Masjid Agung Banten. Masjid ini berlokasi di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Serang.

Tepat di seberang masjid ini, nampak sisa-sisa peninggalan komplek Keraton Surosowan (Sorosoan), sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Banten pada masa itu. Kini, sisa-sisa peninggalan kesultanan yang hancur oleh kekuasaaan kolonialisme tersebut menjadi salah satu lokasi wisata arkeologi yang dikenal dengan nama situs Banten Lama.

Kemunculan Kesultanan Banten tak lepas dari peran Syarif Hidatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Satu dari sembilan wali yang berperan dalam menyebaran agama Islam di Nusantara ini, berhasil merebut kekuasaan wilayah Banten dari kerajaan Padjajaran sekitar tahun 1525.

Pada 1552 Sunan Gunung Jati mendaulat anaknya, Maulana Hasanudin, sebagai sultan Banten. Di bawah kekuasaan sultan pertama Banten ini, dibangun keraton sebagai tempat tinggal raja sekaligus pusat pemerintahan. Keraton ini kemudian dikenal dengan nama Keraton Surosowan. Sisa-sisa kejayaan dan kemegahan keraton ini masih dapat disaksikan hingga sekarang, meski hanya berupa sisa-sisa bangunan yang tak lagi utuh.

Awalnya, keraton dengan luas mencapai lebih dari tiga hektare tersebut bernama Kedaton Pakuwan. Keraton ini tersusun dari tumpukan batu bata merah dan batu karang, dengan ubin berbentuk belah ketupat berwarna merah. Dalam perjalanan waktu, keraton ini pun beberapa kali mengalami pemugaran.

Kesultanan Banten mengalami masa puncak kejayaan ketika di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah yang berkuasa pada periode 1651 – 1682. Sultan yang terkenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa ini juga seorang yang paling lantang menentang kebijakan monopoli yang diberlakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda.

Dalam masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten berkembang menjadi pelabuhan internasional. Di bawah kepemimpinannya pula Keraton Surosowan dipercantik dengan melibatkan seorang arsitek berkebangsaan Belanda, Hendrik Lucaszoon Cardeel. Salah satu peninggalan karya arsitek bergelar Pangeran Wiraguna yang masih bisa dilihat dan dinikmati adalah menara Masjid Agung Banten yang memiliki ketinggian mencapai 30 meter.

Di bagian tengah keraton, terdapat sebuah kolam taman, yang dikenal dengan nama Bale Kambang Rara Denok. Kolam pemandian ini berbentuk persegi empat dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter dengan kedalaman kolam 4,5 meter. Air di Keraton Surosowan berasal dari Danau Tasik Ardi di Desa Margasana sekitar dua kilometer dari lokasi keraton. Selain kolam Rara Denok, ada juga pancuran untuk pemandian yang biasa disebut “pancuran mas” yang diperuntukkan bagi kerabat keraton.

Selain Keraton Surosowan, peninggalan kesultanan Banten lainnya adalah Istana Kaibon. Desain arsitekturnya dibuat cukup menarik, dengan saluran air yang mengelilinginya. Keraton ini sengaja dibangun untuk ibunda Sultan Syafiudin, Ratu Aisyah karena pada saat itu, sebagai sultan ke 21, Syaifudin masih berumur lima tahun sehingga tidak mungkin untuk memegang pemerintahan.

Sama seperti Keraton Surosowan, Istana Kaibon juga dihancurkan oleh pihak Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda meluluhlanakkan kesultanan Banten lantaran Sultan Syafiudin menolak tegas perintah Gubernur Jendral Herman Daendles yang memerintahkan untuk meneruskan proyek pembangunan Jalan Anyer-Panarukan dan pelabuhan armada Belanda di sekitar daerah Labuhan.

Berbeda dengan Keraton Surosowan yang bisa dikatakan rata dengan tanah, Istana Kaibon masih menyisakan sedikit sisa-sisa bangunan seperti gerbang bersayap, Pintu Paduraksa, pintu khas bugis yang sisi kanan dan kirinya tersambung.

Diantara bangunan peninggalan kesultanan Banten yang masih utuh berdiri adalah Masjid Agung Banten yang masih terlihat megah dengan menaranya yang menjulang keatas langit. Masjid ini tak pernah sepi dikunjungi orang. Pada hari-hari besar tertentu jumlahnya bahkan bisa mencapai ribuan orang.

Wihara Avalokitesvara

Meski jelas-jelas Kesultanan Banten adalah Kerajaan Islam, bukan berarti peninggalan bangunan rumah ibadah hanya berupa bangunan masjid sebagai tempat peribatan masyarakat muslim. Kesultanan Banten juga menyisakan bangunan rumah ibadah agama lain yakni Wihara Avalokitesvara.

Wihara yang dibangun pada 1652 ini lokasinya berada di sebelah Barat Daya Keraton Surosowan. Keberadaan rumah ibadah ini menunjukkan adanya hubungan yang harmonis antara kaum muslim dengan warga non-muslim, dan mencerminkan adanya penghormatan dari pemegang kekuasaan terhadap kebebasan memeluk agama.

Diyakini, wihara ini adalah peninggalan Sultan Syarief Hidayatullah. Ia menikahi seorang putri Cina yang saat itu sedang bertandang ke Pelabuhan Banten. Wihara dibangun sebagai tempat ibadah para pengikut putri Cina, yang kemudian tinggal di Banten Lama.

Di sini terdapat altar Kwan Im Hut Cou atau Dewi Kwan Im, Avalokitesvara tercatat sebagai salah satu Wihara tertua di Indonesia kerap dibanjiri peziarah setiap tahunnya.

Sumber: Majalah Travel Club