Panas. Begitulah kesan pertama seusai berkeliling ke sejumlah objek wisata Kota Makassar pertengahan September lalu. Maklum, layaknya kota pantai maka cuaca panas langsung menyergap ketika matahari makin meninggi. Duh, terik nian.

Foto-foto: PEMBARUAN/DWI ARGO SANTOSA

TENGGELAM – Salah satu tempat untuk menikmati “sun set” adalah Pantai Akarena di kawasan Tanjung Bunga.

Awalnya kami berkunjung ke Pelabuhan Tradisional Paotere. Nama Paotere berasal dari kata otereq, yang dalam bahasa Makassar berarti “tali”. Ada yang menyebut nama itu berasal dari pau yang berarti mengikat sesuatu dan otereq yang berarti tali sehingga dapat diartikan tempat untuk mengikat sesuatu dengan tali.

Keterangan ini menggambarkan perkembangan daerah tersebut. Pada awal abad 20, ketika kawasan ini masih merupakan pesisir, banyak pembuat tali ulung. Karena itu banyak perahu nelayan yang singgah untuk membeli tali mengingat tali berkualitas merupakan kebutuhan utama perahu layar.

Makin lama makin banyak orang datang dan bahkan menetap di kawasan itu. Paotere tak lagi dihuni para pembuat tali melainkan juga nelayan dan pedagang. Lambat laun kegiatan jual beli meningkat hingga Paotere berkembang menjadi salah satu pusat pelelangan hasil laut Kota Makassar.

Kawasan ini diresmikan sebagai pelabuhan rakyat pada 26 November 1977 oleh pemerintah. Paotere menjadi pelabuhan rakyat terbesar di kawasan Indonesia Timur ketika Dermaga Rakyat Hasanuddin direhabilitasi sehingga kegiatannya berpindah ke Paotere.

Laiknya pelabuhan tradisional, kapal-kapal yang melakukan bongkar muat adalah kapal tradisional. Pengunjung atau wisatawan bisa mencoba naik beberapa kapal yang tengah bersandar itu. Kesempatan yang sangat biasa apalagi bagi mereka yang biasa datang ke Sunda Kelapa, Jakarta Utara.

Dari pelabuhan kami berkunjung ke Benteng Rotterdam. Benteng yang berada di tengah Kota Makassar ini dibangun oleh Kompeni Dagang Belanda, VOC. Sebelum menjadi sebuah benteng kokoh seperti yang sekarang bisa dilihat, benteng itu merupakan salah satu dari puluhan tempat pertahanan di sepanjang Pantai Makassar yang terbentang dari Barombong hingga Tallo. Mulanya dibangun oleh ayahanda dari Sultan Hasanuddin dengan menggunakan batu bata. Kemudian dari kesultanan setempat diserahkan kepada VOC pada 1667 sebagai salah satu syarat perjanjian perdamaian. Jadilah benteng itu bernama Fort Rotterdam yang diambil dari mana si pemenang perang, Admiral Speelman. Benteng itu kemudian dirombak hingga bentuknya menyerupai benteng-benteng di Eropa pada abad pertengahan.

Benteng itu kini sudah dikelilingi bangunan modern. Keberadaannya seolah terdesak. Pada 1950, tembok sebelah selatan dibongkar dan gerbang sebelah timur dirombak menjadi kantor pos. Beruntung, pengunjung masih bisa melihat bentangan air laut pada salah satu sisi benteng.

Sedangkan koleksi di dalam benteng itu sendiri lumayan lengkap. Sayang rombongan kami tidak menemukan brosur atau petunjuk tertulis yang bisa menjadi pegangan pengunjung. Bila ada, brosur berupa kertas fotokopi sederhana dijual seharga Rp 10.000. Hal yang sangat berbeda dibanding tujuan wisata sejarah di tempat lain terutama luar negeri. Di Makao misalnya, wisatawan begitu mudah mendapatkan brosur dengan aneka gaya. Petunjuk yang satu ini bisa didapatkan mulai dari bandara, biro perjalanan, kantor pariwisata hingga di lokasi tujuan.

Ketiadaan brosur ini juga dikeluhkan tour guide rombongan kami. “Saya yakin pemerintah punya dana untuk membuat brosur, tapi mungkin tidak sampai ke bawah karena disunat sana-sini,” ujar Ferry, sang guide.

Sedangkan penataan lokasi benteng juga kurang maksimal. Sebagai contoh, terowongan di benteng itu telah ditutup permanen. Pada masanya, terowongan itu berguna bagi penghuni benteng untuk melarikan diri bila dalam kondisi terdesak musuh.

Pengunjung juga tak dapat masuk ke ruang tahanan. Kelihatan dari luar, ruangan itu kini digunakan sebagai gudang. Pengunjung hanya bisa melihat dari balik jeruji besi dan lubang angin. Padahal bila dipermak untuk wisatawan, tak menutup kemungkinan pengunjung bisa merasakan nuansa ruang tahanan masa lalu.

LAUT– Benteng Fort Rotterdam kini sudah dikelilingi berbagai bangunan modern namun masih ada bagian sayap benteng yang memungkinkan pengunjung langsung melihat laut lepas.

Makanan Laut

Panasnya terik matahari sedikit terlupakan ketika jam makan siang tiba. Salah satu tempat makan yang direkomendasikan bagi mereka yang datang ke Makassar adalah Warung Lae Lae di Jalan Dato Semeng. Masakan seafood (makanan laut) di rumah makan ini begitu nikmat. Tak jauh dari Warung Lae Lae terdapat restoran seafood lainnya, Istana Laut, yang tak kalah kondang.

Seusai makan siang, matahari tak segarang sebelumnya. Sore menjelang. Waktunya menikmati matahari tenggelam. Salah satu tempat paling asyik menikmati sunset (matahari terbenam) adalah Pantai Akrena di kawasan Tanjung Bunga. Tempat ini semacam kawasan pantai Ancol-nya Makassar. Tidak terlalu luas memang, namun cukup menarik.

Sambil menunggu matahari mulai memerah, pengunjung bisa bercengkerama di taman sambil menikmati camilan khas Makassar yakni singkong goreng bersambal dan pisang epek serta kopi atau mereka yang ingin minuman dingin bisa memesan es kelapa muda.

Di sana tersedia layanan jet ski, banana boat, perjalanan wisata pesisir dan wisata bahari. Perkara wisata bahari, Makassar punya objek wisata Kepulauan Spermonde yang lebih mengasyikkan ketimbang city tour. Kepulauan ini terletak di sebelah barat jazirah Sulawesi Selatan yang membentang dari Kabupaten Selayar hingga Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Secara umum daya tarik kepulauan ini adalah kondisi pulau yang cukup asri, perairan yang jernih, hamparan pasir putih, serta pemandangan bawah laut. Selain terumbu karang dan berbagai jenis ikan karang, wisatawan dapat menikmati beberapa lokasi kapal tenggelam (wreck). Pulau-pulau yang menjadi tujuan utama untuk dikunjungi adalah Pulau Kayangan, Samalona, Kodingareng Keke, dan Lanjukang.

Pada malam hari, sangatlah nikmat makan pisang epek sambil menyeruput seraba di tepi danau Tanjung Bunga. Beberapa teman asal Makassar sempat juga membisikkan tempat menikmati makanan khas Makassar ini yakni di Sungai Cerekan. Pisang epek adalah pisang bakar yang disajikan setelah dipipihkan dan diberi cairan gula merah. Sedangkan seraba adalah minuman hangat yang berasa mirip susu jahe.

MUSEUM- Bangunan Museum Lagaligo yang terletak di dalam benteng Fort Rotterdam. Benteng itu sendiri kini dikelola Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar sedangkan museum dikelola Pemprov Sulawesi Selatan.

Losari

Pantai Losari siapa yang tak tahu? Rombongan menginap di Hotel Imperial Aryaduta Makassar yang menghadap langsung ke hamparan birunya laut. Pagi dan sore adalah saat terindah memandang laut.

Bentangan jalan sepanjang pantai juga terlihat jelas. Suasana malam Minggu dan Minggu pagi, saat masyarakat Kota Angin Mamiri ini berkumpul di kawasan Losari, bahkan bisa dinikmati dari kamar hotel.

Pantai sepanjang 2,2 kilometer ini menghubungkan kawasan Pelabuhan Soekarno-Hatta di bagian Utara dan kawasan Tanjung Bunga di Selatan. Di sepanjang pantai ini terdapat berbagai tempat yang biasa menjadi tujuan para wisatawan antara lain benteng Fort Rotterdam, Marina POPSA, dermaga kapal penyeberangan Pulau Kayangan dan Kayu Bangkoa, serta pusat perniagaan Somba Opu. Yang disebut terakhir ini adalah kawasan pusat perdagangan kerajinan emas dan suvenir khas daerah ini.

Pengunjung tempat-tempat ini tak hanya wisatawan. Mereka yang datang ke Makassar dalam rangka bisnis, pertemuan atau keperluan lain, biasanya menyempatkan diri mampir. “Demikian pula untuk city tour kebanyakan adalah mereka yang datang bukan dalam rangka berwisata melainkan untuk keperluan pernikahan saudara, meeting, seminar dan lainnya,” ujar Ferry.

Hal senada diungkapkan Walikota Makassar H Ilham Arief Sirajudin dan General Manager Garuda Indonesia Makassar, Iskandar Basro. Pasar MICE (meetings, incentives, conference, and exhibitions) di Makassar cukup tinggi. “Kadang ada yang datang hanya dalam rangka wedding event,” kata Sirajudin.

Kunjungan ke Makassar juga ditunjang oleh banyaknya kegiatan di level pejabat pemerintah di kota ini, aktivitas ekonomi yang cukup dinamis, serta banyaknya perusahaan berskala besar. Karena itu berbagai sarana dan prasarana penunjang termasuk objek wisata dalam kota sangatlah diperlukan. Kedatangan pengunjung dalam rangka MICE tadi sangat menguntungkan bagi agen perjalanan, hotel, dan berbagai bidang usaha lainnya termasuk pedagang kaki lima sekalipun.

Diakui Sirajudin bahwa mereka yang datang ke Makassar kebanyakan bukan dalam rangka berwisata melainkan dalam rangka kegiatan yang berhubungan dengan MICE tadi. Namun, di sela-sela acara tak ada salahnya melonggarkan saraf dengan berkunjung ke tempat wisata.

PEMBARUAN/DWI ARGO SANTOSA