KURS dolar yang masih bercokol di sekitar 9.500 -an rupiah tentunya membuat berziarah ke Roma atau Lourdes, Prancis, bagi kebanyakan umat terasa menjadi sangat mahal. Namun, jangan berkecil hati karena ternyata di Kediri, Jawa Timur, terdapat tempat ziarah Katolik Puh Sarang, ada gua yang dinamakan Gua Maria Louders.

Puh Sarang dibanjiri umat Katolik terutama pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi (dalam kalender Jawa). Bahkan ada yang sudah berkumpul sejak Kamis Kliwon sore hari untuk menghindari kemacetan di sepanjang jalan menuju Gua Maria Lourdes. Semua ini dilakukan agar tepat pukul 24.00 WIB para peziarah dapat mengikuti doa Rosario yang dilanjutkan dengan perarakan menuju ke Gua Maria Lourdes dan Misa Tirakatan berbahasa Indonesia diiringi musik tradisional. Gereja Puh Sarang, terletak di Kecamatan Semen, kira-kira 10 km sebelah Barat Kediri, di Gunung Klotok, di lereng Gunung Wilis. Puh Sarang menjadi tempat ziarah yang unik karena di kompleks Puh Sarang terdapat lima ‘fasilitas’ ziarah yaitu gereja yang unik dan khas, tiga patung Bunda Maria, tiga jalan salib, tiga Pondok Rosario dan Gua Maria Lourdes.

Keunikan semakin terasa bila kita melihat Gereja Puh Sarang. Gereja ini dibangun dengan arsitektur bergaya perpaduan Jawa dan tradisional Hindu. Salah seorang yang berjasa dalam pembangunan Gereja Puh Sarang ialah Ir Maclaine Pont, seorang Belanda yang lahir di Batavia (Jakarta) yang sangat tertarik pada peninggalan Kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya Gereja Puh Sarang bercorak Majapahit. Kalau kita melihat dari jauh, Gereja Puh Sarang mirip dengan perahu (bahtera Nuh), tetapi juga dapat dilihat seperti bentuk rumah adat Minangkabau atau rumah yang biasa dipakai orang Batak Toba. Keindahan Gereja Puh Sarang justru terletak dalam bagian interiornya yang unik. Relief yang dibuat pada bahan dari bata mirip dengan relief yang biasa terdapat pada candi-candi zaman Majapahit. Altar dibuat dari batu massif yang beratnya 7 ton dan berpahat gambar rusa yang melambangkan mereka yang telah dibaptis dan calon baptis (katekumen).

Ada tiga patung Bunda Maria di tempat ziarah Puh Sarang ini. Yang pertama ada di Gua Maria di samping kiri Gereja Puh Sarang (dulu pernah sempat hilang dicuri dan dibuang lalu ditemukan kembali serta dipasang di tempat aslinya), yang kedua di Gua Maria dekat gedung serbaguna dan yang ketiga di Gua Maria Lourdes (replika atau tiruan dari patung Maria Lourdes).

Bulan Ziarah

Bulan Mei adalah bulan ziarah, bulan Maria, umat pasti mempunyai keinginan mengunjungi tempat-tempat suci Maria di mana saja. Lourdes di Prancis begitu terkenal melebihi tempat lain dan menjadikan tempat utama yang akan dituju. Sementara di sekitar kita, terutama di daratan pulau Jawa juga banyak tempat serupa.

Sendangsono di Jateng lebih dulu dikenal dan disusul dengan Kaliori, Sri Ningsih, Cisantana Kuningan, Serang, Jatiningsih dan lain-lain. Maka, dua tahun belakangan ini Gua Maria Puh Sarang, di Kediri, Jatim, begitu akrab di telinga umat. Mereka berduyun-duyun dari segala penjuru ibarat terkena magnet Puh Sarang, datang ke Kota Kediri yang jaraknya sekitar 700 km dari Jakarta.

Perjalanan ziarah adalah kebiasaan umat beragama sejak dulu yang melalui sebuah perjalanan panjang untuk mencari ketenangan jiwa, mendatangi tempat misteri di mana saja tanpa kenal lelah. Begitu juga dengan perjalanan menuju Puh Sarang, apalagi menempuh perjalanan darat nonstop dari Jakarta.. Puh Sarang memang sengaja dibangun sebagai replika Lourdes di Prancis, hanya bedanya patung Bunda Maria dibuat lebih besar atau setinggi 3,5 meter. Pembangunannya tepat bersamaan dengan masa krisis moneter (krismon) oleh Keuskupan Agung Surabaya empat tahun lalu.

Lalu, sebelumnya Puh Sarang ini apa? Puh Sarang yang letaknya 7 km arah tenggara Kediri ini memang sudah terkenal karena gereja yang bangunannya antik. Perpaduan antara Hindu dan Katolik yang semua dindingnya terbuat dari batu kali. Bahan bangunan banyak didapat dan tersedia dari daerah itu yang semula gersang kering kerontang. Dibangun tahun 1936 atas permintaan Pastor Kediri H.Wolters CM dan ditangani oleh Henricus Maclaine Pont yang juga sedang mendirikan museum Trowulan, Mojokerto, tempat menyimpan benda purbakala peninggalan Majapahit.

Bentuk gedung gereja dari jauh terutama atapnya seperti bentuk kapal yang bertengger di bukit. Penggambaran perahu Nabi Nuh yang mendarat di Gunung Ararat setelah usai banjir besar yang menghancurkan bumi dengan segala isinya. Dalam budaya Jawa, gunung adalah tempat suci, tempat manusia memuja junjungannya. Gerejanya sudah direnovasi empat kali sejak berdirinya tanpa mengubah bentuk aslinya, terakhir tahun 1999. Bentuk unik inkulturisasi Hindu terlihat di segala bangunan interior maupun eksterior, terutama atapnya yang tidak memakai reng kayu, tetapi dari besi. Hanya gentengnya kini yang baru dari genteng biasa mengganti sirap dan konstruksinya tetap menggunakan genteng diikat di juluran besi.

Mengapa memakai reng besi? Karena waktu itu Pemerintah Belanda melarang bangunan dari bambu agar tidak dijadikan sarang tikus yang menyebabkan penyakit pes yang lagi mewabah waktu itu. Ini membuktikan bahwa masalah kesehatan sudah menjadi perhatian utama. Bayangkan kalau gereja sampai menjadi sarang tikus?

Puh Sarang mulai didatangi umat sejak Novena Bunda Maria 1994. Meningkatnya jumlah pengunjung menjadikan pemikiran untuk membangun Gua Maria karena kapasitas gereja sudah tak mampu menampungnya.

Ada gua, harus ada air, padahal daerah itu gersang. Berkat bantuan Romo Julianus Sunarko SJ (kini Uskup Purwokerto) yang pandai mencari mata air diketemukan 6 sumber mata air. Mantaplah rencana pembangunan Gua Maria yang dimulai tahun 1998, dalam suasana berat-beratnya krismon. Untungnya, Keuskupan Agung Surabaya mempunyai simpanan uang dalam bentuk dolar dan langkah pertama membebaskan tanah di sekitar gereja yang kebanyakan penduduk memang merelakan tanahnya untuk perluasan gereja.

Ada cerita menarik. Akibat terlalu ingin banyak menyenangkan orang, patung Bunda Maria yang sudah diset di atas gua, ketika jadi malah kegemukan. “Seperti Dewi Kwan Im,” kata Romo Gosal. Hal ini diakibatkan karena insinyurnya banyak menuruti saran ibu-ibu bahwa patungnya nanti harus begini dan begitu. Relief cetak biru gua semua meniru Lourdes, maka dinamailah Gua Lourdes Puh Sarang ketika semua pembangunannya selesai dalam tempo 15 bulan. Akhirnya, Gua itu diresmikan tanggal 2 Mei 1999 oleh Uskup Surabaya Mgr. J.Hadiwikarta.

Puh Sarang seperti kejatuhan angin, wind fall atau tepat ketika Paus Johanes Paulus II menetapkan tahun 2000 sebagai tahun ziarah yang dimulai Natal 1999 sampai dengan perayaan Epifani 6 Januari 2001. Paus memberikan kuasa kepada uskup setempat untuk menetapkan tempat-tempat ziarah agar umat dapat menerima anugerah indulgensi atau pengampunan atas siksa dosanya. Uskup Surabaya menetapkan Gereja Katedral Surabaya, Gua Puh Sarang Kediri dan Gua Maria Waluyojatiningsih di Ponorogo. Sejak itu, bukan saja umat dari keuskupan Surabaya tetapi dari hampir seluruh penjuru berduyun-duyun datang ke Puh Sarang yang kini sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti gedung serbaguna maupun penginapan serta tempat-tempat doa Rosario. Kemampuan menampung sampai 12.000 umat sudah diawali sejak 1998, ketika diadakan misa malam pukul 00.00 setiap hari Jumat Legi, yang ternyata tidak saja mengundang umat Katolik tetapi juga umat-umat yang lain. Setiap hari “besar” itu jarak 7 km dari Kediri ke Puh Sarang bisa ditempuh lebih dari 3 jam karena sangat padatnya manusia.

Maka benarlah bahwa ziarah itu merupakan penghiburan batin. Hiburan di kala mempertahankan hidup ketika kepahitan berpikir melepas stigma dan trauma dan saat hari ini masih merupakan bagian dari perangkap masa lalu yang gelap dan menakutkan. Hiburan manakala kemarahan, kekecewaan dan dendam bersenyawa dengan penerimaan kehendak untuk memaafkan. Hiburan manakala segenap upaya mendapatkan kebenaran berhadapan dengan kepenatan dan teror.

Jalan Salib

Salah satu kekhasan ziarah Katolik adalah Jalan Salib. Di tempat ziarah Puh Sarang ini ada tiga Jalan Salib. Salah satu Jalan Salib tampak istimewa, karena stasi-stasi untuk renungannya berbentuk patung-patung sebesar manusia. Jalan Salib seperti ini terinspirasi dari Jalan Salib di Lourdes, Prancis. Di kompleks ziarah Puh Sarang ini terdapat pula tiga Pondok Rosario yang dibuat berdasarkan misteri hidup Yesus Kristus yang direnungkan dalam doa Rosario yaitu peristiwa gembira, peristiwa sedih dan peristiwa mulia.

Tempat ziarah Puh Sarang menjadi besar dan terkenal dengan adanya Gua Maria Lourdes, yang merupakan tiruan atau replika dari Gua Lourdes di Prancis, bahkan diakui sebagai yang terbesar di Asia. Patung Bunda Maria di sini dibuat dari batu asli. Di sebelah timur terdapat patung Pieta, di mana digambarkan Bunda Maria sedang memangku Putranya Yesus. Patung Pieta ini mengingatkan kita akan patung serupa yang terdapat di Basilika St. Petrus, Roma. Dengan adanya tiruan Gua Lourdes di Prancis ini, maka umat yang tidak mungkin pergi ke Lourdes karena masalah biaya dan lain-lain, bisa membayangkan keindahan Lourdes, sementara mereka berdoa kepada Bunda Maria.

Bila kita berada di sana, jelas terekam kesan bahwa kompleks Gereja Puh Sarang merupakan suatu usaha untuk menampilkan iman kristiani dan tempat ibadat Katolik dalam budaya setempat. Dalam Gua Maria Lourdes terdapat tulisan dalam bahasa Jawa yang artinya: Bunda Maria, yang terkandung tanpa noda asal, semoga berkenan merestui aku yang Petilasan menuju Puh Srang memang serasa bukan hanya perjalanan antara Gunung Penanggungan, turun ke Trowulan, Mojokerto, Kediri, melainkan juga perjalanan dari masa lalu ke masa kini. Ini terjadi ketika berhadapan dengan lingkungan Gereja Puh Sarang, sebuah gereja Katolik yang rasanya memang lebih tepat disebut sebagai “Gereja Hindu Jawa” di Desa Puh Sarang, Kecamatan Semen, kira-kira 10 kilometer dari pusat Kota Kediri. Kota Kediri sendiri bulan Juli ini berulang tahun ke-1123. Pintu gerbang dan beberapa gapura dibuat dari batu kali-mengingatkan irama yang ada pada candi-candi Majapahit. Beberapa bagian lain, termasuk altar gereja, dibuat dari bahan bata merah. Di luar gereja, di antara tembok-tembok batu, dipasang relief-relief dari bata merah, menceritakan penderitaan Kristus dalam perjalanan menuju penyaliban.

Hanya seorang arsitek yang punya pandangan menyeluruh atas suatu lingkungan, bisa menciptakan lingkungan arsitektur seperti Gereja Puh Sarang. Konseptor di balik gereja yang dibangun tahun 1936 ini adalah Pastor Wolters CM, dibantu antropolog arsitektur Ir Henricus Maclaine Pont. Menurut beberapa hasil penelitian yang pernah dibuat, bangunan itu memang disesuaikan dengan metode dakwah Pastor Wolter, yang mengonsep gereja ini sebagai “Gereja Hindu Jawa”. Gagasan itu menemukan penerjemahannya oleh Maclaine Pont, yang punya pengetahuan mendalam tentang situs Majapahit. Jadilah kemudian kita menemukan sebuah arsitektur yang menggambarkan proses inkulturasi, antara semangat kebudayaan masa lampau dengan masa kini.

Kini, lingkungan Puh Sarang sudah sangat berkembang. Di situ muncul penginapan-penginapan, termasuk yang tengah dipersiapkan. Muncul pula berbagai rumah makan, dengan iklan yang menjulang, “tahu dan takwa” (Kediri dikenal sebagai “kota tahu”, sedangkan takwa juga jenis makanan, sejenis kembang tahu).

Lingkungan di sekitar situ, Gunung Klotok, Pegunungan Wilis, semua memberi andil pada keindahan Puh Sarang. Masa lalu, dan masa kini, bersatu dalam arsitektur yang cerdas dan arif menyikapi lingkungan, zaman, dan kebutuhan manusia-sampai ke kebutuhan spiritualnya.

Semoga dengan menikmati dan menghayati simbol-simbol yang ditunjukkan oleh Maclaine Pont itu, kita bisa semakin memahami semangat kebangsaan, kebhinnekaan, dan kesatuan – yang bersemangat Kristiani. Coba perhatikan pendopo dan gamelan, altar dengan ukiran mojopahitan yang dipahat oleh tukang-tukang keturunan Mojopahit, tabernakel batu dengan disain batu terguling yang khas, menara berbentuk Candi Bentar, altar luar berbentuk stupa borobudur, makam dengan teras-teras candi borobudur, dan batu-batu kali yang diangkat satu persatu oleh tangan-tangan penduduk desa Puh Sarang tahun 1936 dulu dari kali di kaki bukit.

“Sungguh, spirit itu tidak pernah pupus. Sebuah paduan suara ingin mempersembahkan beberapa lagu. Mereka semua sudah berdiri rapi di atas panggung menantikan saat mulai bernyanyi. Namun pemimpin paduan suara tersebut tak bisa memulai karena hampir setiap orang yang ada dalam ruangan tersebut membuka mulut berbicara tanpa rela mendengarkan orang lain. Ruangan penuh dengan kegaduhan,” ujarnya.

Pemimpin paduan suara tersebut memegang microphone dan berkata; “Saudara-saudari hadirin yang terkasih; Seorang pelukis menempatkan indahnya sebuah lukisan pada secarik kertas. Sedangkan musikus menempatkan pesona alunan musik pada keheningan. Sekarang! Kami akan mempersembahkan alunan musik buat anda sekalian, namun anda diminta untuk memberikan kami keheningan.

Sungguh kata-kata yang mujarab. Hadirin semuanya perlahan diam memberikan keheningan yang amat dibutuhkan bagi terciptanya alunan musik. Bila pelukis menempatkan lukisan pada secarik kertas, dan seorang musikus menempatkan alunan musik pada keheningan, maka di manakah harus kita tempatkan iman kita? Iman tak hanya harus ditempatkan di bibir, tapi lebih dari itu, iman harus ditempatkan dalam hidup kita yang nyata setiap hari. Itulah Puh Sarang, sebuah tempat di mana umat bisa merengkan dan merefleksikan kembali apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dibuat. (E-5)