Kabut saranganLama juga rasanya tak menapakkan kaki di jalur Jateng-Jatim, baik lewat jalur pantai utara maupun pantai selatan. Karena itu, saat saya dan rombongan tiba di Jatim dan harus melalui jalan tol Surabaya-Gempol yang begitu panjang, hati tetap bersemangat. Terlebih, jalur-jalur yang kami lalui telah tertata rapi. Dengan penataan maksimal, perkembangan sarana transportasi darat Jatim melesat semakin maju.

Kota-kota pesisir yang kami lalui lebih tertata dan itu semua mendorong perkembangan perekonomian warga jadi semakin pesat. Inilah kesempatan pertama saya kembali bernostalgia, setelah sekian belas tahun berlalu. Banyak hal yang telah berubah. Itulah Jatim dengan semangat milenium baru.

Kami makin senang saat kekhawatiran bak terjebak kemacetan panjang di jalur Gempol, Porong-Malang, tak menjadi kenyataan. Saat itu, jalan dalam keadaan sepi, lepas tengah malam. Hanya satu dua armada barang yang menemani kami menembus jalur menuju ke Kota Malang tersebut.

Udara dingin terasa menembus tulang saat kendaraan yang kami tumpangi mulai merambah Kota Arema. Rombongan kami segera mencari penginapan beberapa saat setelah melewati gerbang kota. Tempat itulah yang kami butuhkan untuk sekadar melepas lelah, sebelum melanjutkan perjalanan kembali.

Malang tak dapat ditolak, untung tak bisa dibendung. Itulah yang kami rasakan dini hari itu. Sebab, meski merasa beruntung bisa merasakan kesegaran udara kota di kaki Gunung Semeru tersebut, kami tak mendapatkan kamar hotel memadai. Akhir pekan itu, hampir seluruh kamar hotel telah terisi. Masih beruntung, masih ada satu kamar yang tak jauh dari Kampus Unibraw. Akhirnya, kami berlima harus berdesak-desakan di kamar itu. Meski demikian, beberapa saat kemudian, kami pun terlelap kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang.

Seperti baru sekejap, kami dibangunkan oleh kabut dan temaram sinar mentari yang menyapa. Udara dingin awal kemarau yang kami rasakan, mengembalikan kesegaran sekujur tubuh. Tentu, tak lengkap rasanya jika melalui pagi itu tanpa kenikmatan dan kehangatan secangkir kopi. Tanpa membuang waktu, kami pun berburu kopi. Ya, agak sulit memang menemukan kedai atau warung yang bersedia membukakan pintu dan mau melayani serta memenuhi hasrat hati kami.

Setelah agak lama memutari Kota Malang, dengan melewati banyak kompleks kampus yang megah, akhirnya kopi kami dapatkan. Bercengkrama menikmati kesejukan alam sambil mengenang kembali masa-masa lalu saat banyak sahabat tinggal di sana dan biasa kami sambangi, memang menyenangkan.

Memori-memori indah itulah yang coba kami gali kembali dan menjadi sebuah harta yang sangat ”mahal” dan tak mungkin kami tinggalkan. Itulah kenyamanan suasana Kota Malang yang kami dapatkan di antara desiran dingin angin pegunungan. Hari itu pun kami lalui dengan semangat baru untuk melanjutkan perjalanan.

Pagi berikutnya, saat kabut tebal masih menyelimuti kota, roda-roda kendaraan yang kami tumpangi kembali meluncur. Perlahan tapi pasti, kami mulai membelah tabir kabut yang seolah membatasi Kota Malang dan Kota Batu.

Tak lama berselang, Kota Batu pun tampak di pelupuk mata. Kota eksotik yang telah memisahkan diri dan menjadi kota agrobisnis mandiri, membuat kami semakin penasaran ingin mengetahui perkembangannya terkini. Hal itu menjadi salah satu keingintahuan yang harus dipenuhi. Terlebih, selain ada Jatim Park II yang masih dalam tahap pembangunan, Kota Batu juga memiliki tempat wisata yang tak kalah menarik, Sarangan.

Lama tak menyambangi daerah itu membuat kami agak lupa jalan menuju ke tempat-tempat eksotik tersebut. Terlebih Kota Batu telah berkembang menjadi kota asri dengan berbagai tambahan dan ornamen di sana-sini. Tak urung, kami sempat tersesat dan harus berputar-putar dahulu untuk bisa menemukan Sarangan.

Kabut tebal mulai menipis. Itu semakin memudahkan kami. Meski demikian, agak siang kami baru bisa menemukan tempat wisata Sarangan. Rasa takjub mendera saat mengetahui perubahan penataan tempat wisata tersebut.

Sarangan makin menarik, tertata rapi, dan tambah menawan. Tak sia-sia kami merogoh kocek lebih untuk masuk ke tempat tersebut. Pintu masuk di ketinggian dan jalanan menurun menuju tempat parkir, membuat panorama indah dan kontur jelas Sarangan terpampang di depan mata.

Tempat itu menyajikan berbagai pilihan hiburan bagi kami. Kolam renang, atraksi perahu, berkuda keliling kompleks, menyaksikan koleksi ikan air tawar berbagai jenis, berbelanja buah dan bunga, atau sekadar nongkrong menikmati suasana kawasan wisata pegunungan, bisa kita pilih.

Bagai segerombolan ABG narsis, kami pun tak lupa jeprat-jepret untuk mengabadikan momen nostalgia bersama di tempat tersebut. Terlebih, suasana dan tempat yang tersedia begitu menjanjikan bagi sebuah kenangan yang begitu dalam.

Jangan Lupakan Buah dan Bunga

Tak lengkap rasanya jika pergi berlibur ke suatu daerah dan pulang tanpa membawa buah tangan. Paling tidak, kekecewaan akan menghinggapi si buah hati yang sabar menanti di rumah. Karena itu, setelah puas menelanjangi keindahan alam Sarangan, pasar bunga dan buah yang ada di kompleks wisata tersebut menjadi tujuan kami.

Saat langkah-langkah kaki semakin mendekati blok kios-kios penjualan bunga, hati kami semakin terpikat. Stan-stan bunga ditata sedemikian rupa menjadi semakin artistik. Atap tembus sinar dan bentuk pilar maupun plafon penyangganya yang ditata sedemikian rupa membuat bunga-bunga yang ditawarkan di tempat tersebut semakin terlihat indah. Terlebih lagi, berbagai jenis dan varietas bebungaan terdapat di sana seperti kaktus, Aglonema, Anthorium, maupun kembang hias lain.

Harga yang ditawarkan pun bervariasi dari yang paling murah dan bisa dijangkau oleh kocek seluruh pengunjung hingga yang mahal dan hanya bisa dikoleksi orang-orang tertentu. Para penjaja bunga yang ramah dan dengan sabar melayani dan mau menjawab untuk memenuhi keingintahuan pengunjung, membuat kami semakin betah. Beberapa bunga pun kami pilih. Lumayan sebagai penghias halaman rumah. Apalagi, bunga-bunga itu sangat indah.

Ada anggapan yang mengatakan, kita belum ke Malang jika tidak mencicipi kelezatan apel malang. Karena itu, setelah berbelanja bunga, kaki kami pun melangkah ke kios-kios yang menyediakan apel hasil perkebunan setempat. Tidak hanya varietas asli setempat, melainkan juga varietas luar yang ditanam di tempat tersebut. Kembali kami bertemu dengan para penjaja apel yang bersahabat. Mereka tak segan untuk menyediakan sampel dagangannya sehingga pengunjung tidak akan kecewa saat membeli nanti.

Begitu juga dengan kami. Beberapa apel berbagai macam pun bisa kami cicipi. Akhirnya pilihan kami pun tertambat pada apel Malang yang berwarna hijau kekuningkuningan pertanda buah ranum agak masak. Saat harus membayar pun kami pun bertambah senang. Sebab harga apel yang dijajakan di tempat wisata tersebut, benar-benar jauh lebih murah daripada jika kita membeli di tempat lainnya.

Puas berbelanja, tak lupa kami singgah ke kafe-kafe yang tersedia di pinggir kolam renang. Kehangatan kopi yang kami teguk, benar-benar bisa mengusir udara dingin Sarangan yang mulai menyergap. Bincang-bincang dengan rekan di sana sungguh sangat mengasyikkan. Hampir lupa waktu. Saat itu, hari pun beranjak sore. Karena itu, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan kami menyusuri jalanan pada jalur Jatim-Jateng. Namun jalur yang kami pilih bukan lagi jalur pantai utura melainkan jalur tengah, Batu Malang via Kediri, Sragen dan kembali ke pulang dengan hati riang.

Sumber: Suara Merdeka