Kesenian asal tanah Pasundan ini mampu bertahan dan terus berkembang hingga saat ini. Gerakan-gerakannya yang menghibur membuat Sisingaan tetap menarik ditonton dan dimainkan.

Sepasang anak kecil nampak asik duduk diatas punggung-punggung singa dewasa yang berbulu lebat cokelat kekuningan. Rasa takut tak terlihat di wajah dua anak yang berpakaian ala tokoh wayang tersebut. Seiring alunan musik tradisional Sunda yang mulai terdengar, singa-singa pun mulai menari-nari, maju-mundur, kekiri dan kekanan kemudian berputar-putar.

Wajar jika kedua anak kecil tadi tidak merasa takut, karena mereka tidak duduk diatas seekor singa sungguhan yang terkenal buas. Keduanya hanya naik patung singa-singaan yang diikat di atas sebuah tandu dengan cat yang berwarna-warni dan digotong empat orang dewasa. Atraksi ini dikenal dengan nama Kesenian Sisingaan.

Kesenian Sisingaan adalah salah satu Kesenian arak-arakan yang muncul dan berkembang di Jawa Barat, khususnya di daerah Subang dan sekitarnya. Ada beberapa sebutan untuk kesenian ini, seperti Sisingaan, Gotong Singa atau Singa Depok. Seni atraktif ini biasanya hadir dalam menyemarakkan sebuah hajat sunatan anak atau acara lainnya. Ada sebuah kebanggaan bagi si empunya hajat jika bisa menghadirkannya.

Pertunjukkan Sisingaan merupakan atraksi seni yang dimainkan dengan cara berkeliling kampung. Arak-arakan Sisingaan dimualai dengan permainan musik tradisional. Alat musik standar yang biasa digunakan dalam pagelaran ini biasanya terdiri dari Kendang Indung, Bonang (Ketuk), Tarompet (Terompet dalam bahasa Sunda), Gong, Kempul, dan Kliningan. Tak lupa pelantun lagu-lagu daerah yang biasa disebut sinden.

Ketika musik mulai mengalun, para pemanggul patung singa yang terdiri dari empat orang untuk setiap tandu, mulai menari sebelum memanggul. Gerakan tari yang dimainkan merupakan paduan gerak seni beladiri pencak silat dengan tari tradisional Jaipongan. Setelah selesai mempertontonkan kebolehan menari patung singa pun perlahan mulai diangakat dengan gerakan yang tak kalah atraktif.

Gerakan-gerakan yang dikenal dalam pertunjukkan ini seperti Pasang (pasang Kuda-kuda), Bangkaret, Masang (Ancang-ancang), Gugulingan, Sepakkan Dua, Langkah Mundur, Kael, Mincid, Ewag, Jeblag, Putar Taktak, dilanjutkan dengan Gendong Singa, Nanggeuy, Angkat Jungjung, Ngolecer, Lambang, Pasagi Tilu, Melak Cau, Nincak Rancatan dan Kakapalan. Arak-arakan kemudian berjalan berkeliling kampung sambil tetap menari dengan iringan alunan musik dan lagu-lagu sunda.

Tak pernah ada yang tahu dengan pasti, kapan kesenian ini mulai muncul di wilayah Subang. Berdasarkan penelusuran beberapa sumber tertulis, disebutkan bahwa kesenian ini muncul ketika masa penjajahan. Ada banyak pendapat mengenai munculnya kesenian ini. Konon, atraksi Sisingaan adalah sebuah simbol pelecehan masyarakat Subang terhadap bangsa penjajah yang dilambangkan dengan singa.

Singa yang dianggap sebagai binatang buas dan menakutkan tak membuat rakyat Subang menjadi penakut. Ini disimbolkan dengan menghadirkan anak kecil yang menunggangi singa pertanda bahwa masyarakat tak gentar melawan segala bentuk penjajahan pada waktu itu.

Ada pula yang meyebut, kesenian ini diadakan sebagai wujud upaya untuk menolak bala. Di cerita lain, ada yang mengatakan bahwa Sisingaan hanyalah salah satu acara yang sengaja diadakan untuk meramaikan arak-arakan yang dalam masyarakat Sunda dikenal dengan sebutan Helaran.

Terlepas dari itu semua, Atraksi Gotong Singa adalah sebuah kesenian tradisional yang menarik dan mampu menyita perhatian banyak orang, dan tentunya menjadi aset berharga yang harus terus di kembangkan dan di jaga keberadaannya.

Tetap Eksis bahkan Berkembang

Kesenian Sisingaan diyakini muncul pertama kali di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, kesenian ini kemudian banyak dimainkan masyarakat daerah lain di luar Kabupaten Subang. Sisingaan mulai berkembang ke daerah-daerah seperti Sumedang, Majalengka, Purwakarta, Karawang.

Perkembangan juga memberi warna-warna baru dalam menggelar Sisingaan, karena masyarakat memiliki perbedaan budaya yang memberi pengaruh meski sedikit. Misalnya, pada patung singa yang dibuat dengan warna-warna menarik atau pada kostum para pemanggulnya. Ada pula yang menambahkan dengan menghadirkan para penari perempuan.

Begitu pula dari sisi alat musik yang dipakai. Awalnya kebanyakan musik pengiring grup sisingaan adalah musik yang keluar dari alat tradisional, sekarang sudah banyak juga yang menambahkannya dengan alat musik modern seperti misalnya gitar elektrik. Untuk lagu yang di bawakan pun terus berkembang, banyak yang memainkan lagu Sunda yang sedang populer sebagai pengiringnya.

Namun, masih banyak pula grup dan Sanggar Sisingaan yang tetap berpatok pada pakem yang sudah ada sejak lama. Meski demikian, hingga saat ini kesenian tradisional ini masih tetap eksis dan terus berkembang. Atraksi yang atraktif dan menarik.

Kelenturan sikap para senimannya yang dengan terbuka menerima setiap perubahan mungkin menjadi faktor kuat mengapa kesenian ini dapat terus berkembang dan tidak ditinggalkan orang.

Lepas dari itu, keberadaan Sisingaan masih masih tetap diminati masyarakat, tentu berkat seniman yang berkecimpung didalamnya tak henti menggiatkan kesenian ini yang didukung sikap peduli dari pemerintah setempat memajukan kesenian ini. Dibuktikan dengan rutin digelarnya Festival Sisingaan setiap hari jadi Kota Subang yang jatuh pada 12 April.

Sumber: Majalah Travel Club