Lukisan "Belajar Menari" karya I Gusti Nyoman Lempad.

Lukisan "Belajar Menari" karya I Gusti Nyoman Lempad.

Lukisan Belajar Menari (Dance Lesson) itu sangat mudah dikenali sebagai karya I Gusti Nyoman Lempad. Seperti sebagian besar karya Lempad yang lain, lukisan figuratif yang menggambarkan orang-orang sedang belajar menari itu dibuat dengan tinta hitam putih di atas kertas berukuran 19 x 29 cm. Sebagian besar lukisan Lempad menggambarkan kegiatan sehari-hari masyarakat Bali.

I Gusti Nyoman Lempad adalah pelukis legendaris. Lempad, yang dilahirkan di Bedahulu, Gianyar pada 1862 itu, juga dikenal sebagai undagi, perencana bangunan tradisional Bali. Ia juga mendapat pengakuan sebagai pematung dan pembuat perangkat untuk upacara ngaben. Ia menerima Anugerah Seni pada 1970 dari Pemerintah RI, dan pada 1982, menerima penghargaan Dharma Kusuma dari Pemerintah Provinsi Bali.

Pemandangan lukisan Lempad itu yang langsung terpampang di depan mata ketika memasuki ARMA, Agung Rai Museum of Art, Ubud, Bali, penggal pertengahan Maret lalu. Dengan membayar tiket masuk Rp 25.000, mata langsung dimanjakan dengan karya-karya pelukis besar Bali lainnya, di antaranya Ida Bagus Made, I Gusti Made Deblog, Anak Agung Gde Sobrat, Anak Agung Gde Meregeg, Dewa Putu Bedil, dan I Wayan Bendi.

Sebagian karya lukisan yang diletakkan di lantai dua museum itu, mengisahkan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Lukisan karya I Wayan Bendi, misalnya. Tiga lukisan dekoratif ukuran besar itu dipasang di satu sisi dinding. Dengan tema yang sama, yakni Kehidupan di Bali, masing-masing menampilkan rekaman kehidupan masyarakat Bali dalam melaksanakan aktivitas keseharian. Demikian pula karyanya yang lain, Sanur, lukisan akrilik di atas kertas berukuran 72 x 103 cm.

Lukisan I Ketut Liyer yang berjudul Panen Padi, menggambarkan kehidupan masyarakat agraris di Bali. Lukisan akrilik di atas kanvas ukuran 50 x 35 cm itu menggambarkan laki-laki memikul padi, hasil panen.

Karya Ida Bagus Made yang ditemui di museum itu berjudul Tumbal, lukisan cat air dan tinta di atas kertas, berukuran 51 x 40 cm. Karyanya menunjukkan makhluk laki-laki dan perempuan keluar dari tubuh seekor naga dari Semara, yang dijelaskan melambangkan dewa cinta.

Ida Bagus Made juga dikenal sebagai pionir dalam dunia seni lukis Bali. Karya pelukis kelahiran Tebesaya, Peliatan, pada 1915 itu, produktif dalam rentang 50 tahun. Karya-karyanya dikenal lekat dengan nilai-nilai religius, yang merupakan refleksi dari latar belakangnya, dari keluarga brahmana.

Wisatawan Jepang di ARMA

Wisatawan Jepang di ARMA

Karya Anak Agung Gde Sobrat yang menjadi koleksi museum itu adalah Baris Dance, lukisan akrilik di atas kanvas berukuran 128 x 75 cm, yang dibuat tahun 1980. Anak Agung Gde Sobrat dilahirkan di Padangtegal, Ubud, pada 1911, dari keluarga bangsawan. Bakat seninya terasah sejak usia kanak-kanak, karena sering membantu kakeknya membuat wayang. Sebab itu pula, karya-karya awalnya sangat dipengaruhi kisah Ramayana dan Mahabarata.

Koleksi Khusus

Ratusan koleksi yang tersimpan di ARMA, bukan hanya karya seniman Bali. Di museum itu juga bisa dinikmati karya seni lukis seniman Indonesia dari luar Bali, seperti Affandi, S Sudjojono, Hendra Gunawan, Srihadi Soedarsono, Abas Alibasyah, bahkan Raden Saleh.

Pada satu ruangan, terpajang karya seniman mancanegara yang menemukan inspirasi dari keindahan alam dan budaya Bali, antara lain Rudolf Bonnet, Arie Smith, Willem Hofker, Antonio Blanco, Han Snel, dan Walter Spies. Karya-karya pelukis Walter Spies dan Raden Saleh menjadi koleksi khusus ARMA.

Pada satu ruangan di lantai satu, ARMA memamerkan lukisan-lukisan karya almarhum Anak Agung Made Djelantik. Dokter dan dosen di Universitas Udayana, Denpasar, yang dikenal juga sebagai budayawan itu, punya peran penting mempromosikan Bali ke dunia Barat pada 1930-an, sehingga Bali dikenal di mancanegara. Di lantai yang sama juga bisa ditemukan koleksi tenun kuno Bali. Di antaranya tenun Pengringsingan yang terkenal.

ARMA dibangun dengan konsep “museum hidup”, menjadi satu kesatuan dengan panggung pertunjukan, perpustakaan, bangunan untuk belajar karawitan dan melukis, resor, bangunan untuk lokakarya, restoran, kafe, coffee shop. Museum hidup seluas enam hektare itu menyatu dengan sawah berteras-teras.

Keberadaan ARMA, seperti dinyatakan pendiri sekaligus Direktur Museum Seni Agung Rai, Anak Agung Gde Rai (AA Gde Rai), selain melengkapi objek wisata yang sudah ada di Ubud, juga merupakan bentuk dedikasi dan penghormatan atas karya bernilai seni tinggi yang menjadi sumber inspirasi dan informasi akurat sepanjang zaman di segala bidang kehidupan. Museum, menurut anggota Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Bali 1984 – 1999 itu, menjadi sarana belajar, sarana mendapatkan informasi otentik dan akurat tentang perjalanan atau proses sejarah dan filosofi dari karya seni dan budaya luhur suatu bangsa. Prof Dr-Ing Wardiman Djojonegoro meresmikan museum itu pada 9 Juni 1996.

Museum lain di Ubud adalah Museum Puri Lukisan yang didirikan Rudolf Bonnet dan Tjokorda Gde Agung Sukawati, Museum Neka, Museum Nyoman, dan Seniwati Gallery of Art by Women yang didirikan Mary Northmore, istri pelukis Abdul Azis. Berada di ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan air laut, Ubud, yang dapat dicapai 30 menit dari Kota Denpasar atau 15 menit dari Kota Gianyar, acap menjadi sumber inspirasi bagi seniman, termasuk seniman luar negeri. Ubud menjadi terkenal sebagai daerah kelahiran seniman lukis setelah Tjokorda Gde Agung Sukawati dan Rudolf Bonnet membentuk perkumpulan seniman Pita Maha. [SP/Sotyati]