Kata “Tadulako” berasal dari dua kata “Tadu” atau “Padu” berarti “Tumit” dan “Lako” atau “Dako” yang berarti sumber atau asal muasal. Sehingga pengertian Tadulako bermakna “Tumpuan yang berasal atau bersumber pada tumit”. Kemudian pengertian ini bermetamorfosis dan memunculkan makna yang lebih familiar “Pemimpin”.

Di sebuah dialog kesejarahan di Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah yang merupakan satu rangkaian dengan acara PENTAS (Pekan Cinta Sejarah) gelaran Direktorat Jenderal Sejarah Purbakala (Ditjen Sepur), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif beberapa waktu lalu. Salah satu pembicara yang juga dosen sejarah di Universitas itu mengungkapkan hal yang sama, bahwa Tadulako adalah pemimpin, panglima, atau orang-orang yang berjasa terhadap bangsanya.

Tadulako bisa siapa saja, bangsawan, ketua adat, para ulama, bahkan masyarakat biasa yang pernah berjasa. Namun, untuk memperoleh gelar itu tidak semudah mengucapkan pengertiannya. Melainkan berdasarkan tahapan-tahapan tertentu yang berlaku di masyarakat pada masa itu. Ini tercatat dalam sejarah peradaban Tanah Kaili, suku banga asli bagian tengah Sulawesi.

Bicara sejarah, rasanya kurang lengkap tanpa mengunjungi bukti peninggalannya. Kami pun tergerak untuk melihat langsung situs cagar budaya Sulawesi Tengah yang konon merupakan situs tertua yang ada diseluruh dunia. Meskipun dalam agenda kunjungan kami ke Kota Palu hanya mengikuti serangkaian acara Pentas; diskusi, seminar, pameran dan seremonial lainnya yang membosankan.

Tampaknya keberuntungan berpihak pada kami, karena panitia menyetujui. Hari kedua, besok. Kami berenam akan berangkat. Saya dari Travel Club dan dua rekan sesama jurnalis serta dua pendamping dari pihak panitia Ditjen Sepur ditambah supir yang akan membawa mobil sewaan.

***

Pagi itu mendung menutup langit, kemudian gerimis seolah ingin melunturkan niat kami mencari dua situs di Lembah Besoa, Tadulako dan Pokekea. Dengan tekad yang sudah bulat, kami semua sepakat tetap jalan meski medan yang dialui akan terasa berat.

Wisata arkeologi. Mungkin ini istilah yang tepat untuk perjalanan kami. Pencarian sosok pemimpin purba peninggalan zaman megalith yang tersebar di Daerah Lore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Menurut kabar, banyak situs cagar budaya tersebar di sana. Salah satunya adalah situs Tadulako. Sebuah patung batu (arca) silinder, mungkin dulunya merupakan gambaran seorang pemimpin.

“Pada zamannya, arca megalith dianggap sebagai sebuah perwujudan terhadap pemujaan arwah nenek moyang yang dimuliakan masyarakat setempat. Biasanya penjelmaan sosok pemimpin atau yang dituakan dalam kelompoknya,” kata Wawan, salah satu panitia pendamping yang ternyata berpendidikan S2 Arkeolog.

Pencarian situs tentu jadi semakin menarik, karena diantara kami ada yang mengerti apa yang sedang kami cari. Situs Tadulako menjadi target utama. Selain informasi yang tertera di brosur pariwisata, informasi dari penduduk lokal pastinya akan lebih akurat. Maka sang supir membawa kami melalui jalur Sigi – Palolo – Taman Nasional Lore Lindu – Lembah Napu dan singgah di Desa Wuasa.

Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Bentangan alam yang begitu indah; bukit-bukit menghijau, hutan lebat, sawah ladang, dan perkebunan coklat silih berganti menghiasi jendela mobil kami. Jalan berliku, menanjak, dan sempit memaksa mobil yang kami tumpangi memeras tenaga.

Sebelum sampai Lembah Napu kami bertemu wisatawan asing yang asik mengamati burung dengan teropongnya. Sulawesi Tengah ibarat surga bagi pengamat burung. Pasalnya disinilah Garis Wallace itu ada, garis hipotesa yang memisahkan wilayah geografi hewan. Disinilah habitat burung rangkong atau atau burung-burung paruh bengkok lainnya yang tidak akan ditemui pada bagian barat dunia.

“Hutan di Indonesia bagus dan masih alami, tapi sayang penebangan hutan masih terjadi tanpa memikirkan ekosistem yang ada,” kata Manfred, wisatawan asal Jerman yang sempat berbincang dengan kami di sekitaran Taman Nasional Lore Lindu.

Lembah Napu terlihat membentuk lanskap luas dibawah sana, kendaraan kami berlanjut menuruni bukit. Tiba di penginapan sore hari. Perlu diketahui di Desa Wuasa ini listrik hanya menyala sekitar enam jam. Menyala pukul 18.30 hingga 23.30 saja. Hampir tidak ada aktivitas di malam hari, kecuali terlelap dalam gelap. Sungguh pengalaman berwisata yang amat berkesan.

***

Udara dingin membangunkan kami dari mimpi, bersiap pergi menuju Doda, sampai akhirnya tiba di Lembah Besoa. Setelah dua jam lebih melewati jalan sempit dan beberapa desa kami temukan plang bertuliskan “Situs Tadulako 1 km”. Namun kendaraan tidak bisa mencapai situs pertama yang kami temukan.

Terpaksa harus melanjutkan dengan berjalan kaki satu kilometer melalui jalan setapak dan mencari-cari lokasi yang tidak pasti. Biasanya sebuah situs akan berada di tempat yang tinggi. Pengalaman arkeolog itulah yang menjadi patokan kami harus berjalan ke arah mana.

Akhirnya kami temukan Situs Tadulako yang menjadi ikon pariwisata Sulawesi Tengah. Sebuah arca yang menyendiri terbuat dari batu granit, berdiri tegak di tengah alam yang luas dan indah. Dengan tinggi 196 centimeter dan diameter 60 centimeter batu Tadulako menghadap ke arah utara, diartikan sebagai tempat datangnya arwah nenek moyang. Sayangnya sampai sekarang belum ada kepastian dari para arkeolog yang menyebutkan kapan awal mula situs ini dibuat.

Hanya ada hipotesa global yang menyebutkan megalith yang ada di Sulawesi Tengah diperkirakan berasal 3.000 SM (sebelum Masehi), dan yang termuda dibuat sekitar 1.300 SM. Ada juga anggapan dari para peneliti bahwa megalith Lore merupakan yang tertua di dunia. Tampaknya tetap menjadi misteri sampai ada penelitian lanjutan dari Balai Arkeolog Manado yang berwenang terhadap situs-situs di wilayah ini.

Setelah puas mengamati dan berfoto, perjalanan kami berlanjut mencari situs kedua, Pokekea. Ternyata lokasinya pun masih tersembunyi karena tidak ada petunjuk yang jelas bagi kami. Tetapi tetap kami paksakan untuk terus mencari hingga desa paling akhir di Lembah Besoa. Beruntung kami bertemu dengan Mandela, seoarang anak desa yang bersedia menunjukan jalan. Lagi-lagi harus berjalan kaki untuk sampai ke lokasi, dan kali ini terasa lebih jauh.

Situs Pokekea berbeda dengan Tadulako, di sini banyak peninggalan batu-batu purba. Rata-rata berbentuk Kalamba (batu kubur), bentuk silinder yang bagian dalamnya dilubangi menyerupai bentuk tong besar dengan ukuran tinggi bervariasi antara 1,5 meter sampai 2,7 meter, dan memiliki diameter antara 1 meter hingga 1,8 meter tempat penyimpanan orang yang sudah mati. Tutupnya menunjukan jumlah yang terkubur dengan pahatan berbentuk manusia sedang telungkup atau ukiran wajah.

Menurut data yang diperoleh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah, situs megalith Pokekea terdiri dari 8 buah Kalamba, 4 buah Arca, 14 buah batu Dokon, 18 buah batu Kerakel, 5 buah Dolmen, 5 buah Altar Batu, 2 buah batu Tetralit, 1 buah batu bergores, dan 2 buah Palung Batu, yang tersebar dalam satu komplek.

Puas sudah kami melihat langsung Benda Cagar Budaya (BCB) peninggalan zaman purba, meski cuma dua situs yang berhasil kami datangi. Sebenarnya masih banyak situs yang belum atau baru ditemukan. Bahkan menurut cerita seorang anak di daerah situs ada satu Kalamba yang masih terdapat tulang belulang di dalamanya. Mungkin baru saja ditemukan arkeolog dan belum sempat diangkat.

Tapi waktu tidak memungkinkan untuk melakukan pencarian lagi, karena perjalanan pulang melalui Trans Sulawesi Poso – Parigi – Palu masih memakan waktu sehari semalam. Wisata yang cukup melelahkan dan berkesan.

Akomodasi dan Transportasi

Hanya ada dua penginapan di Lembah Napu yang menjadi tempat persingahan para wisatawan yang berkunjung ke situs megalith atau pengamatan burung. Penginapan Sendy dan Monalisa, keduanya bertarif Rp 75.000 – Rp 100.000. Sebaiknya memilih Penginapan Sendy karena unggul akan fasilitas, diantaranya genset untuk menambah pasokan listrik yang hanya menyala 6 jam dan rumah makan.

Untuk transportasi sebenarnya ada sebuah minibus yang melayani trayek Palu – Lembah Napu, dan Lembah Napu – Poso. Jika dari Palu, naik angkutan ini bisa dari terminal Petobo dengan tarif sekitar Rp 50.000. Namun untuk berwisata yang menantang ini sebaiknya menyewa kendaraan dengan Tarif Rp 350.000 sudah termasuk supir, akan sangat membantu dan memudahkan menjangkau situs.

 

Sumber: Majalah Travel Club