kera kreoMei lalu, warga Kampung Talunkacang, Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kabupaten Semarang, diberitakan merasa sangat terganggu oleh kehadiran kera-kera penghuni kawasan wisata Gua Kreo yang lokasinya berbatasan dengan kampung mereka.

Bahkan, keresahan warga itu telah disampaikan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah. Mereka mengajukan permohonan pengurangan jumlah kera ekor panjang (Macata fasicularis) yang sudah menghuni hutan di kawasan Gua Kreo sejak belum ada kampung bernama Talunkacang. Alasan mereka, kera-kera dari kawasan wisata itu sering mencari makan ke permukiman penduduk, merusak tanaman di ladang dan kebun.

Benarkah populasi kera di kawasan Gua Kreo sudah berlebihan? Atau kita yang perlu mawas diri; sebenarnya populasi kera yang mengganggu manusia atau manusia yang telah mengganggu populasi kera?

Objek wisata tersebut terbilang cukup langka, memiliki pesona alam, kera, dan legenda. Wajar saja Gua Kreo tidak hanya menjadi kebanggaan Kabupaten dan Kota Semarang, tetapi juga jadi objek kebanggaan Jawa Tengah. Sebagai objek wisata alam, gua itu memiliki hutan seluas lima hektare, sungai, dan air terjun yang jernih. Mata airnya tak mengenal musim, tak pernah surut mengalir.

Pada hari-hari biasa, pengunjung air terjun yang jatuh ke Sungai Kreo itu tidak banyak. Bahkan ketika sore hari, air terjun itu terlihat sunyi. Kadang hanya terlihat seekor atau beberapa ekor kera duduk di atas bebatuan, seolah sedang menjaga air terjun itu. Namun pada hari Minggu, pengunjung air terjun biasanya melimpah.

Sebagai objek wisata kera, kawasan yang luas seluruhnya sekitar 20 hektare itu dihuni oleh ratusan kera. ”Jumlah kera yang menghuni kawasan ini sekitar 400 ekor,” kata Karyadi (40), seorang karyawan objek wisata Gua Kreo. ”Saya kerja di sini sejak tahun 1991. Waktu itu jumlah kera sekitar 200 ekor. Kalau sekarang setelah 18 tahun jumlah kera menjadi 400 ekor, saya rasa itu masih wajar.”

Dia menambahkan, pihak pengelola Gua Kreo pun rutin memberi makan kera-kera itu sehari dua kali, pagi dan sore. Makanannya berupa singkong, jagung, atau kadang mangga-mangga muda saat musim mangga.

”Sehari bisa menghabiskan 30 kilogram singkong atau 40 kilogram jagung. Belum lagi kebanyakan pengunjung memberi makan. Jadi tidak benar kalau kera-kera di sini dikatakan kekurangan makanan. Mereka doyan makan apa saja.”

Yang terlihat, kera-kera itu memang rata-rata gemuk. Hanya saja, Karyadi melanjutkan ceritanya, pada musim buah mangga atau rambutan, kera-kera itu punya naluri mencari buah, sehingga sebagian masuk ke kebun milik penduduk di Kampung Talunkacang.
”Itu terjadi hanya pada siang hari ketika para karyawan lengah mengawasi.

Pada malam hari kera-kera itu tidur. Tapi sejak warga Talunkacang menyampaikan keresahan, kami sudah meningkatkan pengawasan di perbatasan kawasan wisata dan Kampung Talunkacang. Terutama saat musim buah, jangan sampai kera-kera itu masuk kampung,” jelas Karyadi.

Objek wisata Gua Kreo sebenarnya terbentuk dari legenda atau mitologi Jawa dengan tokoh Sunan Kalijaga, salah seorang Wali Songo. Untuk menggali legenda Gua Kreo, penulis terlebih dulu mengumpulkan referensi dari berbagai sumber, kemudian dipadukan dengan keterangan Karyadi yang sudah biasa menjadi pemandu wisata di Gua Kreo. Dia pun tak keberatan menemani penulis menelusuri semua petilasan Sunan Kalijaga di kawasan wisata ini.

Legenda Gua Kreo tak terpisahkan dengan legenda asal mula nama Jatingaleh, sebuah kelurahan di lereng Bukit Gombel, Kecamatan Candisari, Kota Semarang. Dikisahkan, dahulu seorang wali yang punya kemampuan lebih, seperti Sunan Kalijaga, dapat berkomunikasi dengan tumbuhan dan binatang. Bahkan, ada pula pohon-pohon yang dipercaya bisa berpindah tempat.

Menurut legenda, kayu jati yang akan digunakan sebagai salah satu saka guru Masjid Agung Demak, adalah potongan kayu dari pohon jati yang berada di lereng Bukit Gombel. Ajaibnya, sewaktu Sunan Kalijaga akan mengambil kayu jati di kawasan tersebut, ternyata pohon jati itu sudah tidak ada.

Sunan Kalijaga kemudian mencari ke mana pohon jati itu berpindah. Dia terus mencari sampai ke hutan yang saat ini dikenal sebagai kawasan Gua Kreo. Sedangkan tempat asal pohon jati itu kemudian diberi nama Jatingaleh (bahasa Jawa) yang artinya ”jati berpindah”.

Akhirnya Sunan Kalijaga menemukan kayu jati yang berpindah itu, tetapi berada di tempat yang sulit untuk diambil. Dia kemudian bersamadi di dekat sebuah gua, hingga datang empat ekor kera, masing-masing berbulu merah, kuning, putih, dan hitam. Kera-kera itu menyampaikan niat baik ingin membantu Sunan Kalijaga mengambil kayu jati yang diinginkan. Sunan Kalijaga menerima bantuan mereka dengan senang hati, akhirnya kayu jati itu berhasil diambil dari tempat yang sulit.

Saat Sunan Kalijaga dan sahabat-sahabatnya hendak membawa kayu jati itu ke Kerajaan Demak untuk dibuat saka guru Masjid Agung Demak, keempat kera itu menyatakan ingin ikut serta. Karena mereka bukan manusia, Sunan Kalijaga keberatan. Namun sebagai balas jasa, kera-kera itu mendapat anugerah kawasan hutan di sekitar gua. Mereka diberi kewenangan ngreho (bahasa Jawa) yang berarti ”memihara” atau ”menjaga”. Dari kata ngreho itulah nama Gua Kreo berasal, dan sejak itu kera-kera yang menghuni kawasan ini dianggap sebagai pemelihara atau penjaga.

Sampai sekarang, Gua Kreo yang terletak di lereng Bukit Kreo, termasuk objek paling favorit yang didatangi pengunjung. Menurut Karyadi, kedalaman gua mencapai 25 meter. Sekitar 10 meter di sebelah kanan Gua Kreo, ada lagi sebuah gua bernama Gua Landak.

”Gua Landak kedalamannya 30 meter. Tapi gua ini dibuat oleh pengelola Gua Kreo, bukan petilasan Sunan Kalijaga,” kata Karyadi.
Bagi pengunjung yang punya nyali, banyak yang berani memasuki kedua gua itu hanya untuk berfoto-ria. Selanjutnya, kami melacak petilasan Sunan Kalijaga ke puncak Bukit Kreo yang berketinggian 350 meter di atas permukaan laut. Di situ terdapat monumen batu.

Menurut Karyadi, monumen ini dibangun untuk menandai petilasan Sunan Kalijaga saat dia bersama sahabat-sahabatnya dan empat kera yang membantu, mengadakan acara selamatan dengan makan bersama, sebagai rasa syukur mereka telah berhasil mengambil kayu jati dari tempat yang sulit. Lauknya adalah sate kambing.

Seusai makan, tusuk-tusuk sate itu dibuang ke tanah hingga terdengar suara gemerincing. Tempat dibuangnya tusuk sate itu kemudian tumbuh serumpun bambu yang dinamakan bambu kerincing. Ajaibnya, batang bambu itu ketika dipatahkan tercium aroma daging kambing.

Menurut Karyadi, sebenarnya jarak rumpun bambu kerincing dari monumen batu di puncak Bukit Kreo, hanya sekitar 500 meter. Namun untuk menuju ke rumpun bambu kerincing, kita harus melalui jalur melingkari bukit, jadi perjalanannya cukup jauh dengan medan yang sulit dan penuh semak belukar.

”Tempat rumpun bambu kerincing sengaja dibiarkan penuh semak belukar, biar jarang didatangi pengunjung,” kata Karyadi setelah kami berhasil menembus semak belukar hingga sampai ke rumpun bambu kerincing. ”Sebab kalau banyak pengunjung yang datang ke sini, itu akan merusak bambu ini. Setiap pengunjung yang datang akan mematahkan batang bambu karena penasaran ingin membuktikan bau dagingnya. Dulu rumpun bambu ini banyak, sekarang tinggal sedikit karena dirusak pengunjung.”

Benar saja, penulis dan seorang pengunjung bernama Joe Jumani asal Jakarta yang mengikuti kami, penasaran ingin mencium bambu berbau daging kambing itu. Karyadi terpaksa memotong sebatang bambu yang masih muda, lalu potongan-potongan bambu kecil itu diberikan kami.

Sulit dipercaya, potongan bambu kerincing itu berbau menyengat persis seperti daging kambing mentah. Anda boleh percaya boleh tidak, tetapi bau daging kambing itu benar-benar nyata.

Untuk menghindari habisnya rumpun bambu kerincing karena dirusak pengunjung, pihak pengelola Gua Kreo telah menanam bambu kerincing di belakang pos penjagaan dan boks tiket masuk. Bisa tumbuh, tetapi tidak begitu subur. Bila ada pengunjung yang penasaran ingin membuktikan bambu berbau daging kambing itu, disarankan tidak datang ke tempat tumbuh aslinya yang berada di tengah hutan, tetapi cukup mematahkan batang kecil dari rumpun bambu di belakang pos tersebut.

”Stop Tangan-tangan Jahil!”

Apa lagi yang menarik pada Gua Kreo? Objek wisata itu tidak hanya dikunjungi pasangan muda-mudi, banyak juga pengunjung yang datang rombongan, dan asyik juga sebagai tempat wisata keluarga.

Tempat parkir yang luas jarang penuh kendaraan, masih tersisa ruang kosong untuk berlarian anak-anak. Sering terlihat anak-anak bercanda atau sengaja menggoda kera, lalu kera itu marah dan hendak mengejar, anak-anak itu pun berlari ketakutan.

Meski begitu, disarankan anak-anak tidak bermain di tempat parkir. Sebab di sebelah tempat parkir ada tempat khusus permainan anak-anak yang cukup luas. Di situ ada ayunan, jungkitan, perosotan, panjatan, gantungan, dan lain-lain.

Pengunjung yang baik hati, biasanya sebelum menelusuri kawasan wisata, terlebih dulu membeli kacang di warung-warung yang berderet di sisi area parkir. Kacang-kacang itu dibawa dalam kantung plastik, lalu diberikan pada kera-kera yang dijumpai sepanjang perjalanan mereka.

Kalau dikasih makanan, kera-kera itu bersikap ramah dan seperti jinak. Namun jika pengunjung membawa makanan tapi pelit tidak mau berbagi, kera-kera itu menjadi marah dan agresif, mereka terus mendekati pengunjung itu ingin merampas tempat makanan yang dibawa. Sementara terhadap pengunjung yang tidak membawa makanan, kera-kera itu cenderung bersikap cuek.

Berdasarkan data di kantor pengelola objek wisata Gua Kreo, jumlah pengunjung pada hari Minggu rata-rata mencapai 500 orang dengan tiket masuk Rp 3.500, dan hari biasa rata-rata 100 orang dengan tiket masuk Rp 2.500.

Sayangnya, banyak pengunjung yang belum memiliki wawasan lingkungan yang baik. Mereka suka membuang sampah sembarangan. Di antara semak belukar di kawasan hutan, banyak botol-botol plastik bekas minuman, bungkus makanan, dan kantong plastik berserakan.

Ada pula tangan-tangan jahil yang memasuki kawasan wisata ini dengan membawa cat semprot, lalu mencorat-coret apa saja yang dijumpainya. Mulai dari pagar, dinding WC, sampai petilasan Sunan Kalijaga seperti dinding gua, monumen batu, tak luput dari coretan-coretan tangan-tangan jahil itu.

Lebih parah lagi, banyak pagar-pagar besi yang hilang karena digergaji pencuri. Menurut Karyadi, pencuri-pencuri itu beraksi pada malam hari. Contohnya, pagar sepanjang undakan panjang dari lereng bukit menuju ke lokasi air terjun di Sungai Kreo, besi-besi pagarnya banyak yang hilang.

Untuk menjaga pesona objek wisata Gua Kreo, tidak ada kata-kata lain yang patut kita ucapkan, kecuali teriakan ”Stop tangan-tangan jahil!”

Objek wisata Gua Kreo cukup mudah dijangkau. Sepeda motor, mobil pribadi atau bus bisa langsung memasuki lokasi wisata. Jaraknya sekitar 13 km dari pusat Kota Semarang ke arah selatan. Kalau naik transportasi umum, dari Semarang naiklah minibus Umbul Mulyo atau Aji Jaya yang jurusan Gunungpati. Cukup bilang pada kondektur mau ke Gua Kreo, maka akan diturunkan di depan sebuah gapura besar menuju ke objek wisata Gua Kreo.

Di sisi gapura itu ada pos ojek. Naiklah ojek, karena kalau jalan kaki masih sekitar 2,5 kilometer. Tapi kalau mau memang lebih suka berjalan kaki, silakan saja.

Sumber: Suara Merdeka