Pantai Sanur di pagi hari. [Foto: Istimewa]

Pedagang cindera mata khas Bali di Pantai Sanur.

Berkunjung ke Pulau Dewata terasa kurang lengkap apabila tidak singgah ke Pantai Sanur. Pantai berpasir putih, laut biru jernih dengan ombak yang berkejaran, tak bisa dipungkiri bakal membikin betah siapapun yang datang ke sana. Matahari terbenam di Pantai Sanur juga pemandangan mengasyikkan yang menimbulkan sensasi tersendiri. Dibandingkan Ubud dan Kuta, memang Sanur terkesan tidak berkelimpahan pengunjung. Padahal, Sanur sebetulnya punya daya tarik yang tak kalah dengan lokasi-lokasi wisata lain di Bali. Selain pantai yang indah, Museum Le Mayeur, contohnya, merupakan sebuah peninggalan bersejarah yang jadi salah satu pemikat hati wisatawan untuk selalu menyempatkan diri singgah ke Sanur. Terletak sekitar 30 meter di sebelah utara Hotel Grand Bali Beach, museum ini menyimpan tidak kurang 88 lukisan karya Le Mayeur, seorang pelukis ternama kelahiran Belgia.

Gusti Putu Wirata (52), staf Museum Bali yang diperbantukan di Museum Le Mayeur, tak menampik anggapan bahwa Museum Le Mayeur adalah salah satu pesona di kawasan wisata Pantai Sanur. Di museum tersebut, para pengunjung dapat menyaksikan benda-benda bersejarah peninggalan Le Mayeur, yang selama bertahun-tahun setia mengabadikan keindahan Bali ke atas selembar kanvas. Cukup dengan merogoh kocek Rp 2.000 saja, pengunjung bisa menikmati secara langsung keindahan lukisan-lukisan karya Le Mayeur. Benda-benda bersejarah yang tersimpan di dalam museum itu sendiri terdiri dari koleksi lukisan dan bukan lukisan. Selain di atas kanvas, lukisan karya Le Mayeur yang koleksinya mencapai 88 buah tersebut beberapa di antaranya juga menggunakan media lukis lain, seperti hardboard, tripleks, urfah, dan bagor. Koleksi museum itupun tidak hanya lukisan, tetapi juga ada yang berupa peralatan rumah tangga seperti kursi, meja berukir, ranjang, lemari, jambangan bunga dari keramik, peralatan dari perak, guci, buku-buku serta patung.

Para pencinta lukisan tentu tidak bakal kesulitan untuk menilai, bahwa karya-karya lukis Le Mayeur adalah bergaya impresionis. Kehidupan kontemporer Bali saat itu serta pemandangan di alam terbuka banyak dijadikan objek lukisan oleh Le Mayeur. Sapuan kuas Le Mayeur menciptakan kesan bersemangat gadis-gadis Bali yang cantik-cantik dan muda belia. Objek ini memang salah satu yang paling diminati Le Mayeur. Lukisan-lukisan Le Mayeur di sisi lain juga terlihat begitu alamiah, karena kegemaran dia menggunakan warna-warna murni dan cerah mengacu apa yang disaksikannya langsung. Di antara yang terpopuler dari karya Le Mayeur adalah lukisan-lukisan berobjek seorang gadis Bali bertubuh molek dan tampil bertelanjang dada. Siapakah dia? Obyek lukisan itu tidak lain adalah Ni Nyoman Pollok, seorang penari Legong Kraton, yang belakangan menjadi istri sang maestro, Dilahirkan di Kelandis, 31 Mei 1917, Ni Pollok mulai dijadikan model dalam lukisan-lukisan Le Mayeur pada usia 15 tahun. “Keluwesan gerakan tari serta kecantikan wajah Ni Pollok memikat hati Le Mayeur. Ia kemudian meminta izin pada sekehe (sanggar, Red) agar salah satu penarinya, yakni Ni Pollok, agar diperbolehkan dijadikan model lukisan,” tutur Wirata saat ditemui Pembaruan, baru-baru ini.

Wirata mengisahkan, Le Mayeur yang lahir di Brussels, Belgia, 9 Februari 1880, adalah keturunan bangsawan Belgia. Mewarisi darah seni dari orang tuanya, Le Mayeur nekat meninggalkan Belgia untuk berkeliling dunia gara-gara dia dilarang mengembangkan bakatnya melukis. Bali diabadikan dalam lukisan-lukisan di atas kanvas oleh sang maestro, yang bernama asli Adrien Jean Le Mayeur de Merpres, setibanya ia di Kota Singaraja, Bali, pada 1932 dengan menumpang kapal laut. Selanjutnya Le Mayeur menuju ke Denpasar. Jiwa seni Le Mayeur tak kunjung dapat dipadamkan kendati ia sempat disekolahkan ke jurusan teknik hingga bergelar insinyur. “Untuk menyalurkan bakat melukisnya, beliau melanglang buana ke kota-kota Eropa, Afrika, Asia dan Bali sebagai salah satu daerah yang disinggahinya,” kata Wirata lebih jauh. Akibat kedekatan hubungan setelah tiga tahun dijadikan model lukisan, yakni 1932-1935, Ni Pollok dipersunting oleh Le Mayeur. Buyar sudah rencana Le Mayeur untuk tinggal di Bali hanya selama delapan bulan. Sepetak tanah di kawasan Pantai Sanur dibeli Le Mayeur berbekal uang yang diperoleh dari hasil penjualan lukisan dan pameran di Singapura. “Di situlah dibangun rumah kediaman sekaligus studio lukis,” kata Wirata.

Tentang Ni Pollok sendiri, ada sebuah kisah menarik yang cukup mengharukan. Menurut Wirata, Ni Pollok sebenarnya ingin memiliki anak untuk diwarisi bakat seni yang dimiliki Le Mayeur. Tetapi keinginan itu ditolak sang suami. Alasannya, Ni Pollok adalah model lukisan. “Apabila melahirkan, keindahan tubuh Ni Pollok dikhawatirkan rusak. Itu alasan utama mengapa Le Mayeur tidak ingin Ni Pollok melahirkan,” kata Wirata. Apapun, Ni Pollok tetap tak kehilangan semangat dijadikan model lukisan bagi sang suami. Ia juga tetap setia mendampingi hingga akhir hayatnya. Melalui sebuah surat wasiat yang ditulis pada 1957, disepakati bahwa apabila pasangan Le Mayeur-Ni Pollok telah wafat, maka rumah mereka di Pantai Sanur akan diserahkan kepada pemerintah RI sebagai museum. Kesepakatan itu dicapai dari hasil kunjungan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Bahder Djohan, yang pada 1957 ditugasi Bung Karno bertemu dengan Le Mayeur untuk menyampaikan usulan agar rumahnya yang di Jl.Hang Tuah kelak dapat dijadikan sebagai museum. Pada bulan Mei 1958, Le Mayeur yang mulai sakit-sakitan, meninggal dunia dan dimakamkan di Brussels, Belgia, setelah sempat dua bulan dirawat. Ni Pollok sendiri lalu pulang ke Bali untuk mengurus rumah dan barang-barang peninggalan sang suami, sebelum ia meninggal dunia pada 27 Juli 1985. Sebuah monumen yang berhiaskan patung Le Mayeur dan Ni Pollok dibangun tepat di samping rumah tersebut. Di rumah inilah, kini kita masih bisa menyaksikan karya-karya tak ternilai Le Mayeur. Usia yang tua hingga tingginya kelembapan udara di pinggir pantai tak urung membikin lukisan-lukisan Le Mayeur kian terancam. Media lukis yang terbuat dari bagor terlihat jelas mulai merapuh. Media lukis selain kanvas dipakai Le Mayeur pada tahun 1942 saat pendudukan Jepang. Akibat perang, pengiriman kanvas dari Belgia terhenti. Nah, untuk menjaga ke- awetannya, lukisan-lukisan itu direstorasi secara berkala oleh para pakar dari Galeri Nasional, Jakarta.

Patung Le Mayeur dan Ni Pollok.

Salah satu lukisan karya Le Mayeur. [Foto-foto: Pembaruan/Elly Burhaini Faizal]

Warung Mak Beng

Penat berkeliling museum, kita dapat melepaskan lapar dan dahaga di kafe dan restoran yang berjajar di sepanjang pinggir pantai. Warung Mak Beng, yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari Museum Le Mayeur, adalah salah satu tempat bersantap yang layak dicoba. Warung yang didirikan sejak tahun 1941 oleh Ni Ketut Tjuki, dan belakangan terkenal dengan sebutan “Mak Beng”, menyajikan hidangan khas berupa ikan laut goreng, sup kepala ikan laut, dan sup sayur. Menu jadi lebih terasa istimewa karena dihidangkan bersama sambal Mak Beng yang sangat pedas, tetapi dijamin bakal “menggoyang lidah”. Sambal Mak Beng itu sendiri diolah mengacu resep yang diajarkan oleh mertua Mak Beng dan diwarisi oleh generasi sekarang. Sajian sup kepala ikan yang rasanya sangat sedap dan segar diolah mengacu resep buatan Mak Beng dan suaminya, I Putu Gede Wirya (Nyoo Tik Gwan). Dengan merogoh kocek hanya sekitar Rp 30.000, pengunjung sudah dapat menikmati sepiring nasi putih hangat dilengkapi lauk berupa ikan laut yang digoreng garing, semangkuk sup kepala ikan laut, sambal Mak Beng dan lalap ketimun, dan segelas es teh manis atau es jeruk yang menyegarkan. Mmmmhhh…sedap!

Jika masih ada waktu luang, tidak ada salahnya pula kita berburu cinderamata khas Bali. Selain indah, harganya juga sangat terjangkau. Tentu saja, kemampuan tawar-menawar akan berpengaruh pada keberhasilan kita memperoleh harga yang terbaik. Selembar batik khas Bali yang ditawarkan dengan harga Rp 60.000, misalnya, bisa kita bawa pulang cukup dengan uang Rp 35.000. Sehelai kain pantai yang beraneka warna bisa diperoleh hanya seharga Rp 15.000 per lembarnya dari semula ditawarkan seharga Rp 25.000. Kalung dan gelang manik-manik ditawarkan dengan harga beragam mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 20.000, tergantung kualitas bahannya. Gantungan kunci yang dijual di Bandara Ngurah Rai seharga Rp 8.000 per biji, bisa kita peroleh di Sanur hanya sekitar seribu perak. Pasalnya, sekantong gantungan kunci yang berisi sepuluh buah dijual hanya seharga Rp 12.500.

Sayangnya, iklim pariwisata di Bali, termasuk kawasan Pantai Sanur, masih terpuruk akibat serangan bom Bali I dan II. “Wisatanya hancur, semuanya kalang-kabut,” kata Ida Bagus Oka, mantan pegawai Sanur Beach Hotel yang bekerja sejak 1974 dan kini membuka kios cinderamata di Pantai Sanur. Akibat merosotnya jumlah wisatawan paska tragedi bom Bali, banyak pengrajin di Bali kehilangan mata pencaharian. PHK terjadi di mana-mana. Bagus Oka berharap, pemerintah serius memperbaiki iklim pariwisata di Bali dengan memberikan jaminan keamanan yang semaksimal mungkin. “Aksi-aksi teror jangan sampai terulang lagi,” ungkap pria asal Tabanan kelahiran 1 Agustus 1950 tersebut, penuh harap. [Pembaruan/Elly Burhaini Faizal]