Ambarawa – Kereta api juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana berwisata. Tidak percaya? Datang saja ke Stasiun Ambarawa. Di stasiun yang terletak sekitar 40 km dari Kota Semarang ini terdapat kereta api kuno bergerigi yang biasa dimanfaatkan untuk wisata. Wisata ini disebut Railways Mountain Tour.
Perjalanan sepanjang sembilan km ini butuh waktu sejam lamanya. Laju kereta api (KA.) ini memang tidak dapat dibandingkan dengan KA lainnya. Sangat lambat. Kecepatan maksimumnya hanya 10 km/jam. Perjalanan antara Stasiun Ambarawa-Stasiun Jambu belum terasa istimewa. Mengingat jalurnya masih datar. Sementara kanan kiri rel pemandangan yang terlihat hanyalah perkampungan penduduk.
Baru antara Stasiun Jambu-Stasiun Bedono terasa ada yang berbeda. Karena jalan sudah mulai menanjak maka posisi lokomotif diubah. Bila sebelumnya ada di depan, maka posisi lokomotif kini ada di belakang. Jadilah KA. bukan ditarik lokomotif, melainkan didorong oleh lokomotif.
Jalur Stasiun Jambu-Stasiun Bedono ini berada di ketinggian 693 meter di atas permukaan air laut. Panorama di sepanjang perjalanan semakin luar biasa. Hamparan Gunung Ungaran dan Gunung Merbabu menjadi latar belakang yang mempesona.
Sementara dua gerbong penumpang seluruh dindingnya terbuat dari kayu. Demikian pula tempat duduk penumpang semuanya dari kayu. Di dinding gerbong tak ada kaca jendela. Sehingga penumpang dapat menikmati semilir angin nan sejuk dan pemandangan selama perjalanan.
Karena letaknya yang cukup tinggi inilah di sepanjang jalur Stasiun Jambu-Stasiun Bedono ini terdapat rel bergerigi. Fungsinya adalah untuk menahan agar KA tidak mengalami kesulitan menanjaki jalur tersebut. Rel di jalur ini menjadi rel gerigi satu-satunya di Indonesia yang hingga sekarang masih difungsikan.

Kuno dan Boros
Dari segi usia KA bergerigi ini memang sudah dapat dikatakan uzur. Lokomotifnya buatan Belanda tahun 1902. Berarti umurnya sudah sekitar 101 tahun. Sementara dua gerbong penumpangnya adalah buatan tahun 1907. Usianya lebih muda lima tahun dibandingkan lokomotifnya.
Lokomotif yang usianya tidak muda ini tetap terlihat gagah. Yang menarik bahan bakar yang dipakai pun tidak sembarang. “Bahan bakarnya harus kayu jati,” jelas Kepala Sub Depo Lokomotif Stasiun Ambarawa, Pudjijono, kepada SH beberapa waktu lalu.
Kenapa harus kayu jati? Pudjijono menjawab hanya kayu jati yang sesuai dengan ukuran panas ketel lokomotif. Sehingga kemampuan daya pacunya pun lebih besar ketimbang menggunakan jenis kayu lainnya. Dalam sekali perjalanan antara Stasiun Ambarawa-Stasiun Jambu-Stasiun Bedono pulang pergi yang jauhnya sekitar sembilan kilometer dibutuhkan kayu jati sebanyak dua meter kubik.
Kayu jati ini dipakai untuk memanaskan 2.850 liter air. Dan uap air tersebut yang dipakai sebagai tenaga pembangkit. Sebelum berangkat ketel harus terlebih dahulu dipanaskan. Setidaknya dibutuhkan waktu pemanasan lebih dari tiga jam.
Walau tak secanggih KA yang dioperasikan oleh PT KAI saat ini, KA bergerigi ini bukan KA sembarangan. KA hanya dioperasikan bila ada wisatawan yang memesan. Untuk sekali perjalanan Ambarawa-Bedono PP tarifnya adalah Rp 2,2 juta. Tarif ini ditanggung bersama oleh seluruh penumpang yang kapasitasnya adalah 80 orang.
Dari segi ekonomi memang mahal untuk perjalanan 18 kilometer per penumpang harus membayar seperempat juta rupiah lebih. Sudono, Kepala Stasiun Ambarawa menyebutkan tarif tersebut sebenarnya tidak mahal. Alasannya untuk mengoperasikan KA bergerigi dibutuhkan biaya yang besar. Sekali perjalanan biaya operasional yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 750.000-Rp 1 juta.
Sekalipun begitu, tokh animo wisatawan untuk menikmati perjalanan dengan KA bergerigi tak pernah pupus. Ini dapat dibuktikan dari tingginya pemesan. Hingga awal Juli saja KA bergerigi ini praktis sudah di-booking setiap hari. Dalam sehari KA bergerigi dapat dioperasikan hingga tiga kali.
Perjalanan dengan KA bergerigi ini bak napak tilas sejarah perkeretaapian di Ambarawa. Betapa tidak. (didiet ernanto – Sinar Harapan)