Tak hanya bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial yang bisa dijumpai disini, lokomotif uap yang usianya lebih dari seratus tahun juga siap membawa Anda menghirup suasana Eropa di Sawahlunto.

Awalnya merasa aneh dan asing berjalan kaki sendirian menyusuri jalan berliku dan menurun. Tidak ada satupun orang berjalan, meski trotoar untuk pejalan kaki pada sisi jalan tertata rapi berpadu dengan rimbunan hijau daun. Semua orang tampak
berkendara. Sejenak terlintas untuk memberhentikan kendaraan dan ikut menumpang sampal tujuan layaknya pengembara pada film-film Hollywood.

Tapi niat itu urung saya lakukan, karena pemandangan menyusuri jalan dari penginapan menuju pusat kota Sawahlunto begitu menakjubkan saya akan menikmati sambil mencari sudut pengambilan gambar yang bagus. Kota kecil di Sumatera Barat yang pernah jaya dengan tambang batu bara ini mempunyai topografi dan bentangan alam yang sangat menarik.

Secara geografis “kota Arang” ini terletak pada 0.34-0.46 Lintang Selatan dan 100.41-100.49 Bujur Timur. Menunjukkan Sawahlunto terletak di daerah dataran tinggi pada bagian tengah Bukit Barisan, pegunungan yang membujur sepanjang Pulau Sumatera.

Letaknya berada pada ketinggian antara 250-650 meter di atas permukaan laut. Namun demikian, kota peninggalan Belanda ini terbilang cukup panas karena kandungan batu bara didalamnya, suhunya berkisar antara 22,5 sampai 27,5 derajat celsius.

Atas dasar hal tersebut, bagi Anda yang ingin berwisata ke Sawahlunto sebaiknya memakai pakaian yang mudah menyerap keringat dan nyaman dipakai. Kendati kota ini baru beberapa tahun menjelma menjadi kota wisata, Sawahlunto memiliki obyek wisata sejarah andalan yang dapat dinikmati. Atmosfer wisata membawa kita kepada eksotisme kejayaan peninggalan Belanda, sangat kental dengan aroma kolonialisme.

Pemandangan kota tua yang masih terpelihara langsung manyeruak pandangan mata. Dari kejauhan sejumlah bangunan tua bertebaran menjadi tempat tinggal penduduk, perkantoran atau aneka kios diatas tanah yang berbukit. Diatas bukit yang masih dominan warna hijau pepohonan terpampang tulisan Sawahlunto. Inilah wisata kota tua yang masih terjaga dengan baik.

Ada beberapa bangunan peninggalan yang menjadi landmark (penanda kota) Sawahlunto. Langkah kaki pun terhenti ketika melihat tiga buah tabung beton raksasa. Penduduk setempat menyebutnya Silo, merupakan tempat penyimpanan batubara yang masih berdiri kokoh menceritakan kejayaan masa lalu kepada siapapun yang datang. Ini menjadi penanda kota yang saya jumpai pertama.

Bangunan kedua beraksitektur Belanda yang juga membuat kagum mata adalah kantor PT. BA (Bukit Asam) yang lokasinya tepat di jantung kota. Dibangun pada 1916 dan masih terawat dengan baik sesuai fungsinya, meski warna dindingnya sudah tidak asli lagi.

Lokasinya berpadu dengan taman berbentuk segitiga, sehingga masyarakat menyebutnya dengan lapangan segitiga. Disinilah warga biasa berkumpul menikmati senja dan liburan setiap minggunya. Dan di sini pula tempat berbagai acara lokal maupun nasional digelar oleh pemerintah kota setempat.

Berjalan lagi menyusuri bangunan-bangunan tua, ada sebuah galeri infobox yang bercerita mengenai sejarah tambang. Foto-foto pekerja tambang, peralatan, seragam, bahkan rantai dan borgol besi yang dipakai oleh orang rantai (sebutan pekerja tambang zaman kolonial) menjadi koleksi galeri ini.

Di sebelahnya terdapat obyek wisata Lobang Mbah Suro. Ini merupakan bekas tambang yang sudah tidak aktif lagi. Nama obyek di ambil dari seorang pekerja tambang dengan jabatan mandor yang bernama Mbah Suro.

Bekas ekploitasi tambang ini mulai di gali pada 1898 oleh orang-orang rantai dan merupakan tambang pertama di patahan Soegar. Ditutup sebelum 1930 karena tingginya rembesan air. Kemudian dibuka kembali sebagai obyek wisata tambang lengkap dengan galeri infobox dan monumen orang rantai buah karya salah satu keturunan dari orang rantai, Suparman dan anaknya.

Monumen berupa dua orang pekerja tambang sedang mendorong troly berisi batu bara di bawah pengawasan menir berpakaian Belanda, merupakan gambaran kehidupan orang rantai yang bekerja di bawah kerasnya dunia tambang zaman penjajahan. Meskipun mereka sudah berada dalam aturan ketat pekerjaan tetapi kaki mereka tetap di rantai.

Suasana mencekam seolah merasakan apa yang mereka rasakan dibawah tekanan penguasa ketika mulai memasuki lobang. Pengunjung dipersilahkan menyusuri Lobang Mbah Suro dengan pendamping. Sebelumnya harus memakai pakaian standar berupa helm dan sepatu boot yang telah tersedia.

Tidak jauh dari Lobang Mbah Suro masih ada sebuah bangunan peninggalan lain yang kini menjadi Museum Gudang Ransum. Di dalamnya, pengunjung bisa melihat koleksi peralatan masak serba besar yang pernah dipergunakan dapur umum untuk pekerja tambang. Dibangun pada 1918, koleksi dan keterangan di dalamnya juga menceritakan betapa kejamnya dunia tambang.

Pada bekas dapur umum ini perampasan makanan dan keributan sesama pekerja sudah lazim terjadi ketika itu. Disamping koleksi dapur umum, komplek Gugang Ransum ini juga menceritakan sejarah masa lalu dari berbagai segi kehidupan yang tertuang pada beberapa galeri. Diantaranya galeri etnografi, galeri foto tempo dulu, pusat peragaan Iptek, dan galeri Malaka sebagai bentuk kerjasama Sawahlunto dengan negeri Malaka (twin city).

Selesai pada bagian ini, sejarah peninggalan lain tampaknya menunggu untuk dikunjungi. Sawahlunto memiliiki sebuah Museum Kereta Api yang diresmikan lima tahun lalu. Museum ini dahulunya merupakan sebuah Stasiun Kereta Api yang dibangun 1912, dan tidak dipakai lagi sejak 2003 karena pengangkutan batu bara ke Padang tidak lagi menggunakan kereta api.

Ada satu koleksi kereta uap yang kini difungsikan sebagai kereta wisata dengan rute Sawahlunto – Muara Kelaban pulang pergi. Memakan waktu sekitar setengah jam, dan melewati terowongan sepanjang 1 km akan menjadi kenangan tersendiri di Kota Tambang ini.

Namun sayangnya biaya operasional yang sangat tinggi mengakibatkan wisatawan enggan mencarter kereta wisata untuk mengenang masa lalu. Sekali perjalanan menghabiskan batu bara kurang lebih satu ton. Tapi untuk kalangan pelajar, pemerintah kota memberikan subsidi 50 persen.

Lokomotif uap seri E 1060 yang diberi nama “Mak Itam” ini merupakan kereta yang pernah beroperasi di Sawahlunto. Kemudian sempat menjadi koleksi Museum kereta Api di Ambarawa, Semarang. Tahun 2009 Pemkot Sawahlunto meminta kembali untuk menjadi kereta wisata dan koleksi Museum Kereta Api di Sawahlunto.

Masih dengan wisata sejarah, peninggalan Komplek Pemakaman membuktikan kejayaan Belanda di Sawahlunto. Pemakaman orang-orang Belanda dan sebagian juga Cina menunjukkan bahwa dahulu mereka menempati hierarki sosial atas. Pemakaman di bangun dengan struktur fisik yang indah.

Berkunjung ke Sawahlunto tentu akan mengembalikan ingatan kita pada zaman kolonial di negeri ini. Suasananya melambungkan jauh imajinasi ke Eropa sana dengan penataan kota dan bangunan yang ada. Bahkan tempat menginap wisatawan pun beraroma tempo dulu dengan banguna kuno yang berubah fungsi menjad hotel dan wisma.

Namun, terlepas dari sejarah yang begitu kental, keragaman budaya dan penduduknya yang multietnis mencirikan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Maka jangan heran jika Anda menjumpai banyak penduduk yang berbincang dengan bahasa Jawa. Karena memang mereka orang Jawa yang merantau, atau keturunan orang rantai yang telah menjadi warga Sawahlunto. Jangan heran pula jika kesenian kuda lumping kerap ditampilkan dan tidak asing di sini.

Sumber: Majalah Travel Club