KONON di Kampung Pulo berabad-abad lalu, terdapat putri Hindu nan cantik jelita. Ketika itu, datanglah Arif Muhammad, panglima perang kerajaan Mataram. Dalam pelariannya setelah kalah melawan Belanda, Arif memutuskan menetap di desa. Sambil menyebarkan agama Islam, ia lalu jatuh hati pada sang putri.

Gayung pun bersambut. Sang putri mengiyakan, namun dengan satu syarat. Buatlah danau yang mengelilingi desa, pinta sang putri. Esoknya, muncullah sebuah situ, yang kini bernama situ Cangkuang.

Kisah itu diceritakan turun temurun di Kampung Pulo, Kecamatan Leles, Garut. Situ Cangkuang yang kini menjadi objek wisata, menyimpan banyak kisah. Begitu juga Candi Cangkuang di seberang situ, serta makam Arif Muhammad di sebelahnya.

Untuk mencapai lokasi, rakit bambu disediakan pengelola. Cukup Rp 3.000 untuk dewasa dan Rp 2.000 untuk anak-anak. Tak sampai sepuluh menit menyebrangi situ, kami sudah bisa sampai di candi setinggi delapan setengah meter itu.

Perpaduan Hindu-Islam menjadi ciri istimewa. Candi dan makam Arif Muhammad terletak bersisian menandakan harmoni dua agama. Pertama kali candi ditemukan pada 1966 oleh Harsoyo dan Uka Candrasasmita. Penemuan ini berdasarkan laporan Vorderman tahun 1893.

Sayangnya, candi Cangkuang ditemukan tak berbentuk. Hanya bersisa 40 persen saja puingnya yang 60 persen yang hilang lalu dibuat replika. Sehingga pada 1976, candi itu utuh kembali. Tepat di belakang komplek candi, terdapat rumah adat yang dengan bebas bisa ditelusuri.

Rumah adat Kampung Pulo hanya tujuh saja jumlahnya. Tak boleh lebih, juga tak boleh kurang. Susunannya seperti huruf U, lingkungannya terawat, bersih, dan rapi. Jumlah ini simbol dari tujuh anak Arif Muhammad. Satu bangunan masjid melambangkan anak laki-laki. Enam lainnya berupa rumah tinggal, melambangkan anak perempuan.

“Kalau anak sudah menikah, dia harus pindah dari desa ini, tapi kalau ada rumah yang kosong, nanti dipanggil kembali,” jelas Tatang, Juru Kunci di Kampung Pulo.

Walau memeluk agama islam, warga kampung memengang garis keturunan perempuan. Maka, hanya anak perempuan yang berhak tinggal di desa, anak laki-laki harus pindah ketika dewasa.

Tatang, pria paruh baya itu, kemudian bercerita banyak hal. Kisah tentang benda pusaka yang hilang, para leluhur, bentuk rumah, dan kisah adat Kampung Pulo lainnya.(http://www.mediaindonesia.com/M-3)