Tana Toraja di Sulawesi Selatan yang dilafalkan Tana Toraya oleh penduduknya memang memiliki daya tarik tersendiri. Penulis cukup beruntung karena mendapat undangan dari Hotel Aston Missiliana Toraja untuk menginap di hotel tersebut sembari menikmati suguhan kawasan wisata di Toraja dan upacara “rambu solo” (upacara kematian) ala Toraja yang memang dilaksanakan pada hari tersebut.

Rumah adat khas Toraja di Desa Pallawa, Kabupaten Tana Toraja, atapnya dibuat dari dari susunan bambu. Kini tinggal sedikit warga asli Tana Toraja yang mau menggunakan bambu sebagai atap rumah, digantikan dengan seng karena lebih mudah dan murah.

Tana Toraja yang identik dengan upacara kematian dan kabar tentang kuburan-kuburan kuno di sana menjadi kawasan wisata yang unik dan memiliki daya pikat tersendiri.

Dengan suhu udara yang ramah dan pemandangan alam yang cantik, tak henti-hentinya rasa takjub memenuhi lubuk hati.

Saat melakukan perjalanan dari Makassar saja, penulis dimanjakan oleh indahnya pemandangan tebing-tebing batu kapur di Maros, hamparan bibir pantai di Kabupaten Barru dan Pare-Pare dan keindahan bukit Buntu Kabobong di Kabupaten Enrekang yang bentuknya-maaf -mirip vagina.

Sayang sekali, saat penulis tiba di Enrekang, hari sudah gelap malam dan sang bukit pun tak terlihat. Jadi penulis hanya dimanjakan oleh lukisan bukit yang terpampang di sebuah restoran kecil yang terletak di kawasan tersebut.

Meski melakukan perjalanan pada malam hari, tetap saja masih banyak hal indah yang bisa dinikmati, sebab bintang-gemintang di langit seolah berlomba menebarkan pesonanya. Lampu-lampu di desa-desa yang letaknya jauh di seberang bukit pun tetap memberikan keasyikan tersendiri untuk dinikmati.

Bersinar Cerah

Setiba di Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja, penulis sempat terkesima melihat sebuah kolam dengan diameter puluhan meter dan lampu-lampu hias serta air mancurnya yang menawan, seolah menyambut kedatangan setiap orang yang tiba di Makale. Tidak menyangka ada kolam megah dengan lampu yang begitu indah bisa dinikmati jauh di pedalaman sana.

Pagi hari, di hotel, penulis kembali mendapat bonus. Matahari bersinar cerah, sementara lapisan kabut yang menyelimuti kawasan perbukitan di Toraja perlahan pupus. Kicauan burung dan segarnya udara segera membuat penulis kerasan. Segera saja penulis bersama rombongan membuat jadwal rencara kunjungan wisata untuk hari itu.

Sesuai rencana, kawasan pemakaman kuno Londa merupakan tujuan pertama. Londa adalah sebuah kompleks kuburan kuno yang terletak di dalam gua. Di bagian luar gua terlihat boneka-boneka kayu khas Toraja. Goenawan Mohonoharto, seorang aktivis LSM kebudayaan Sulawesi Selatan yang bersedia memandu penulis selama melakukan perjalanan di Tana Toraja, mengungkapkan patung tersebut merupakan replika atau miniatur dari jasad yang meninggal dan dikuburkan di tempat tersebut.

“Miniatur tersebut hanya diperuntukkan bagi bangsawan yang memiliki strata sosial tinggi, warga biasa tidak mendapat kehormatan untuk dibuatkan patungnya” katanya.

Patung-patung tersebut, menurutnya seringkali menjadi incaran para pencuri. “Di Eropa harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah, karena kandungan seni dan nilai kekunoannya,” katanya.

Di Londa ini juga terdapat mitos tentang Romeo dan Juliet ala Tana Toraja.

“Konon, dulu ada sepasang kekasih yang tidak direstui hubungannya oleh keluarga. Karena merasa putus asa, keduanya kemudian melakukan bunuh diri bersama terjun dari tebing. Oleh keluarga, mayat mereka kemudian diletakkan di dalam gua secara berdampingan,” tuturnya.

Selain Londa, terdapat kuburan lain yang tidak kalah unik yaitu Lemo. Di sini jasad diletakkan di liang-liang dalam sebuah dinding tebing cadas.

“Dulu orang menatah tebing ini selama bertahun-tahun,sehingga jasad orang yang meninggal bisa ditanam di dalamnya. Semakin tinggi letak petinya, berarti strata sosialnya juga makin tinggi,” tuturnya.

Menurut seorang tua-tua adat di desa Kete’ Ke’su, Kabupaten Tana Toraja, kuburan tertua justru berada di desa Kete’ Ke’su.

“Sebelum orang mengenal kebudayaan yang lebih maju, orang Toraja menaruh peti-peti mayat di tebing-tebing tanpa menanamnya,” katanya.

Saat Pembaruan mengunjungi Kete’ Ke’su, terlihat tulang belulang berserakan di sekitar tebing dan peti-peti kayu yang sudah rapuh dan bolong-bolong sehingga terlihat tulang-belulang menyembul dari dalam peti.

“Peti-peti ini usianya sudah ribuan tahun, lebih tua umurnya jika dibandingkan dengan kuburan di Londa dan Lemo. Makanya sudah terlihat sangat rapuh,” katanya lagi.

Selain Lemo, masih ada Kambira, sebuah kompleks kuburan khusus untuk bayi (baby graves). Tidak seperti Londa, Lemo dan Kete’ Ke’su, kuburan bayi di Kambira terletak di sebuah pohon besar. Tampak kotak-kotak persegi hitam menyembul di batang utama pohon.

“Kotak-kotak itu sebenarnya sudah dilubangi dan diisi mayat bayi,” ujar Gunawan memberi keterangan.

Desa Adat

Selain mengunjungi kuburan, masih ada beberapa objek wisata yang juga menarik untuk dikunjungi. Desa adat Pallawa misalnya, merupakan desa khas yang masih memiliki 11 bangunan rumah khas Toraja dan 15 lumbung padi khas toraja.

Rumah-rumah beratap susunan bambu tersebut sudah ratusan tahun usianya dan hingga kini masih dipertahankan untuk diperlihatkan pada para turis.

Susunan tanduk kerbau di bagian depan rumah, menjadi aksesoris yang segera saja menarik mata, begitu juga dengan sebaris taring babi yang digantung di dekat langit-langit di pelataran rumah.

“Susunan tanduk kerbau menunjukkan strata sosial pemilik rumah, semakin banyak tanduk berarti semakin kaya karena dia sering mengadakan upacara adat. Sementara taring babi menunjukkan kalau rumah tersebut sudah diupacarakan dalam adat syukuran,” tambahnya.

Selain wisata ke kawasan kuburan, kawasan wisata peninggalan kebudayaan megalitikum di Boriparinding juga menarik untuk dikunjungi.

Meski saat penulis tiba disana, hujan lebat mengguyur, namun tetap saja kawasan tersebut tampak menarik, kharisma dan kekokohannya malah tampak bersinar di antara serpihan tetes air yang mengguyur puluhan batu-batu berukuran raksasa tersebut.

Upacara Adat

Bagi yang beruntung, ritual upacara adat seperti “Rambu Solo” (upacara kematian) dan “Rambu Tuka” (upacara syukuran) merupakan momen yang menarik untuk dinikmati.

Menurut penurutan Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Tana Toraja, Lewaran Rantelabi yang ditemui Pembaruan beberapa waktu lalu, kegiatan upacara adat selalu ada di setiap kecamatan, namun waktu tepatnya memang tidak menentu.

“Karena upacara tersebut melibatkan seluruh keluarga, biasanya diselenggarakan di hari libur, agar seluruh keluarga bisa berkumpul,” katanya.

Datang ke Toraja tentu tidak sah bila anda tidak membeli suvenir khasnya. Kain khas Toraja (Parambak) yang kaya warna dan motif bisa didapatkan di desa Sadang Tobarana. Aktivitas menenun dan memintal benang yang dilakukan oleh para wanita di desa tersebut juga bisa menjadi sajian wisata tersendiri.

Jika berminat, selembar kain tenun khas Toraja harganya sekitar Rp. 50.000-Rp.300.000, tergantung bahan, warna dan jenis motifnya.

“Kalau untuk wisatawan asing harganya bisa berkali lipat lebih mahal,” ujar Nenek Pangga, salah seorang perajin yang ditemui Pembaruan.

Kalau anda suka makan, anda tidak akan sengsara di Tana Toraja, suguhan nasi merah, ikan bakar yang dibumbui sambal dabu dabu yang pedas segar, bakso babi serta minuman khas sejenis tuak manis dan minuman balok selalu tersedia di warung makan khas toraja.

“Pokoknya selama di Toraja, wisatawan tidak akan kekurangan objek untuk dilihat, karena Kabupaten Tana Toraja memiliki 147 objek wisata yang sudah diinventarisasi. 77 objek sudah memiliki SK. 22 objek wisata sudah operasional dan akan dibuka beberapa objek yang baru,” kata Rantelabi.

Selain itu, Tana Toraja sudah direkomendasikan untuk dijadikan kawasan warisan budaya dunia ke Unesco PBB.

“Menurut para ahli, setiap jengkal di kabupaten Toraja adalah kawasan warisan budaya dunia sehingga harus dilestarikan. Untuk itu, kami sudah merekomendasikan kawasan Tana Toraja untuk dijadikan kawasan warisan budaya dunia ke Unesco agar seluruh umat manusia di dunia ini turut terpanggil dan terlibat dalam usaha pelestariannya,” katanya.

Jika ditempuh dari Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan yang jaraknya sekitar 311 km, maka mau tidak mau harus mengunakan moda angkutan darat seperti bus atau mobil angkutan sejenis L300 yang membutuhkan waktu tempuh 7-8 jam, karena moda angkutan pesawat terbang yang dulu pernah beroperasi, kini sudah tak melakukan penerbangan lagi.

Harga tiketnya juga tidak terlalu mahal, hanya Rp 60.000 sekali perjalanan untuk bus ekonomi, sementara untuk bus AC tiketnya Rp 70.000 sekali perjalanan.

Bus menuju Toraja dari Makassar tidak datang tiap waktu karena sudah ada jadwal tetap yaitu pukul 8.00, 10.00, 14.00 dan 22.00, begitu juga dari arah Toraja menuju Makassar. Bila ingin waktu yang lebih fleksibel, bisa menyewa kendaraan semacam L 300. biayanya Rp 300.000 per hari.

Selamat berwisata ke Tana Toraja!

PEMBARUAN/RIESKA WULANDARI