KONAWE UTARA – Hawa hangat bercampur bau belerang begitu terasa ketika kita berada di kawasan objek wisata Air Panas Wawolesea di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Kawasan wisata alam yang ditumbuhi pepohonan pinus itu berada kurang lebih 80 kilometer arah utara Kota Kendari.

Bila dengan mobil atau sepeda motor, Anda dapat menjangkau kawasan itu hanya dalam waktu kurang lebih 1,5 jam. Hawa hangat yang memancar dari air kolam yang terbentuk secara alamiah dengan ornamen cukup fantastik ini sangat menyegarkan tubuh saat kita diterpa tiupan angin yang berembus di kawasan seluas sekitar 100 hektare ini.Pesona alam ditawarkan kawasan berbukit-bukit kecil dan hampir menyatu dengan kawasam pantai Wawolesea itu. Hanya beberapa meter dari garis pantai, terdapat kolam air panas berukuran sekitar 500 meter persegi. Secara kasat mata, sulit dipercaya kalau dinding yang membendung air bening kolam dengan dasar putih itu terbentuk secara alamiah. Namun, ketika diamati secara cermat, kolam itu benar-benar terbentuk karena proses alam, tanpa sentuhan tangan manusia sedikit pun.
Sementara itu, altar di luar kolam terbentuk dari endapan kapur yang meluber dari bibir kolam karena terbawa aliran air yang mengalir sepanjang massa. Hanya kurang lebih 100 meter dari kolam air panas itu, terdapat tebing yang tidak terlalu tinggi. bagian atas tebing bak altar yang membentuk undakan seperti anak tangga.
Uniknya, di atas altar itu tumbuh pepohonan pinus dan sejumlah pohon jenis lain yang ukurannya hampir tidak bertambah dari waktu ke waktu. Bahkan pepohonan itu sangat mudah dicabut, tapi tidak mudah roboh oleh tiupan angin kencang.
Pada bagian dinding tebing yang curam itu, terdapat dinding-dinding karts (tebing kapur). Dari stalaktit yang terbentuk di bagian dinding karts, menetes air jernih yang bisa menghilangkan dahaga.
Sementara itu, di bagian dasar tebing yang juga tampak seperti altar, keluar air panas yang meluber sampai ke laut. Pada pertemuan aliran air panas dan air laut itu, banyak terdapat ikan belana, boronang, dan berbagai jenis ikan lainnya.
Di bagian lain kawasan itu terdapat bukit kecil yang tidak terlalu tinggi. Tepat di puncak bukit tumbuh dua pohon serume setinggi kurang lebih dua meter, yang sudah berumur puluhan tahun. Menurut legenda masyarakat setempat, bukit itu dahulu menjadi tempat Mokole Wawolesea melabuhkan jangkar petahunya. Mokole dalam bahasa daerah setempat berarti raja.
“Hampir setiap pengunjung yang baru pertama kali ke tempat ini, tidak percaya kalau kawasan ini tertata secara alamiah,” tutur Abdul Halik (52), tokoh masyarakat Wawolesea kepada SH di lokasi itu, Kamis (1/1) lalu. Menurut Halik yang juga Ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa) itu, bukit kecil tempat dua pohon serume berada, belakangan ini menjadi tempat ibadah warga transmigran asal Bali pada setiap hari besar keagamaan.
Berada di atas bukit, kita bisa merasakan hawa yang berembus dari kolam air panas dan tertiup angin sepoi-sepoi. Tatkala memandang ke laut lepas, tampak Pulau Labengki seperti roti. Di sebelah pulau tersebut membujur Pulau Bahulu, sebuah pulau yang masuk dalam kawasan yang dilindungi, yang mengandung bahan Tambang Nikel PT Aneka Tambang.
“Menurut cerita dari mulut ke mulut, kawasan ini terbentuk karena kutukan Tuhan terhadap Mokele yang menikahi putrinya sendiri,” jelas Halik. Meski begitu menakjubkan, jumlah pengunjung diakui masih sedikit sehingga kawasan itu sepi. Masyarakat sekitar baru mengunjungi kawasan itu pada hari-hari libur, itu pun dalam jumlah yang tidak banyak.
Burung Maleo
Di dalam kawasan itu terdapat hamparan pasir putih yang menjadi tempat binatang khas Sulawesi Tenggara, burung maleo bertelur. Di era 1990-an, dalam jarak pandang 50-100 meter, kita dapat menyaksikan dengan jelas ratusan ekor satwa endemik itu melepaskan telurnya lalu memendamnya ke dalam pasir.
Warga sekitar menjadikan telur burung langka itu sebagai sumber ekonomi keluarga. Selain dikonsumsi sendiri, baik dimasak langsung atau menjadi bahan campuran berbagai jenis kue, warga berburu telur maleo untuk dijual kepada pengunjung pantai atau pasar-pasar tradisional. Harga per butir mencapai Rp 25.000.
“Dulu kita dapat menunggui burung maleo bertelur di kawasan ini. Tapi sekarang sudah jarang kita jumpai karena terusik dengan aksi warga yang banyak memburu telur burung berukuran besar itu. Meski begitu, kalau kita beruntung, di kawasan itu saat ini kita masih bisa menemukan satu dua butir telur maleo,” tutur Halik.
Dalam keadaan sepi pengunjung, di kawasan itu masih sering tampak 5-10 ekor burung maleo bertelur. Seusai memendam telurnya ke dalam pasir, burung-burung itu terbang kembali ke hutan, hanya beberapa meter dari kawasan itu.