Pasar Terapung di tengah Sungai Kuin

Pasar Terapung di tengah Sungai Kuin

Menyebut Kota Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), maka yang terlintas dibenak adalah keunikan Pasar Terapung. Ini memang tidak salah, di mana lagi tempat bisa melakukan transaksi jual beli di sungai di Indonesia, selain di Pasar Terapung Kota Banjarmasin? Fenomena sama sebetulnya juga ada di Floating Market di Bangkok Thailand. Konsepnya nyaris sama, menjajakan suasana tempo dulu, ketika sungai adalah tempat untuk berjual beli.

Karena itu, tak salah apabila Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta pihak Pemprov Kalsel, juga mempromosikan keberadaan Pasar Terapung itu, sebagai bagian dari wisata air yang berpotensi menjadi daya tarik wisatawan. Langkah yang dilakukan pemerintah provinsi setempat, dengan menayangkan keunikan Pasar Terapung di televisi di Bandara Samsudin Noor Banjarmasin, tampaknya memang jitu. Sebab, siapa pun yang baru menjejak di bumi Kalsel yang juga terkenal dengan pendulangan intan, permata, dan aneka batu-batuan indah itu, pasti akan melayangkan mata, ke monitor televisi, sembari menunggu tas bagasinya diturunkan dari perut pesawat.

Hal ini juga SP lakukan baru-baru ini. Namun, aksi melihat televisi program lokal wisata tersebut, penulis lakukan lebih pada menyimak, apa saja yang ditawarkan di Pasar Terapung itu, sembari memuji upaya promosi tersebut. Bertransaksi di atas air sungai, bukan hal baru bagi penulis. Kebetulan, penulis menghabiskan sebagian masa bersekolah dasar di Kota Banjarmasin. Karena itu, kesempatan mendatangi kota tersebut 25 tahun kemudian, menjadi sebuah bagian merunut nostalgia.

Bandara yang seiring tuntutan zaman mulai menata diri, menjadi catatan tersendiri. Sebab, eksterior bandara yang dibiarkan tetap seperti dulu, mulai membuka “album kenangan” penulis. Perjalanan pun dimulai dengan meninggalkan lokasi bandara yang terletak di Kota Banjarbaru Kalsel, yang jaraknya sekitar 40 km dari Kota Banjarmasin. Perjalanan ini, dulu begitu menjemukan karena hanya ada pemandangan ilalang, tanaman pakis yang tumbuh tinggi, dan rumput gambut. Sekarang, semua berubah. Beberapa bangunan pun mulai tampak berselang seling dengan ilalang. Agaknya, pertumbuhan penduduk memang berlangsung signifikan setiap tahunnya, sehingga jalan yang dulunya sepi, menjadi mulai ramai, antara lain dengan sepeda motor, mobil pribadi, dan angkutan kota yang dulunya tidak ada.

Apa artinya merunut sebuah nostalgia kota bila tidak mencoba membuka lembaran kulinernya? Pastilah hal ini memang sudah direncanakan matang. Karena itu, tanpa menunda waktu, SP pun mampir untuk bersantap siang, seporsi nasi kuning. Menu nasi kuning memang bisa ditemui di beberapa kota di Indonesia. Di Jawa Barat, nasi kuning biasa dijadikan sebagai menu sarapan dan bisa didapat di penjual kaki lima, dengan lauk balado kentang, kering tempe, irisan telur dadar, gorengan, dan kerupuk bawang. Sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, nasi kuning biasanya hanya bisa disantap pada acara-acara khusus seperti selamatan, syukuran, dan ulang tahun, dengan penyajian dibentuk tumpeng yang dilengkapi sederet lauk-pauk, antara lain ayam ingkung, urap, telur pindang, sambal goreng kentang hati sapi, empal, abon, dan kering tempe. Sementara itu di Kota Palu Sulawesi Tengah, nasi kuning dihidangkan dengan ayam, bakmi goreng, dan balado kentang serta para penjual nasi kuning baru bisa ditemui jelang tengah malam.

Nah, sekarang apa istimewanya menu nasi kuning di Kota Banjarmasin? Sebetulnya, racikan nasi kuning di kota ini tak jauh beda dengan menu nasi kuning pada umumnya yang berbumbu utama beras, santan, dan bumbu kuning. Akan tetapi, menu nasi kuning di Kota Banjarmasin, bisa ditemui dari pagi, siang, hingga malam hari di beberapa ruas jalan, antara lain di Jalan Ahmad Yani. Ciri khas nasi kuning tersebut adalah dihidangkan dengan menu ayam atau ikan haruan (ikan gabus, Red) bumbu habang, dan kemudian dibungkus dalam daun pisang. Ikan haruan yang dibumbu habang ini, biasanya digoreng kering dahulu, sebelum dibumbu habang. Bumbu habang adalah bumbu racikan dari bawang merah dan putih, cabai merah kering, serta sedikit jintan. Rasa bumbu habang ini, cenderung agak manis, walau warna merah cabai, mendominasi bumbu tersebut. Paduan nasi kuning dengan ayam atau ikan bumbu habang serta sedikit taburan bawang goreng dan irisan mentimun, bikin nafsu makan terusik dan biasanya, penikmat akan ketagihan dan minta tambah.

Para pembeli kue di atas perahu kelotok. Mengambil kue dengan sebilah bambu.

Para pembeli kue di atas perahu kelotok. Mengambil kue dengan sebilah bambu.

Penjual nasi kuning biasanya juga menyediakan menu Ketupat Kandangan. Menu ini juga cukup khas, yakni ketupat nasi pulen berwarna kehijauan karena efek bungkus daun pisang kelutuk yang dibentuk segitiga sama kaki, digenangi kuah santan berwarna oranye kemerahan berasa gurih pedas yang mengiringi potongan ikan haruan asap. Hmmm…mantap. Ketupat Kandangan itu, biasanya disantap sebagai menu sarapan.

Sore mulai membayang. Setelah check in di Hotel Swiss Belhotel Borneo, Banjarmasin yang terletak di dekat Jembatan Sudimampir Jalan Pangeran Antasari, penulis pun mulai berburu gorengan. Apa istimewanya gorengan di kota itu? Jajanan gorengan khas kota ini, antara lain untuk-untuk yang bentuk dan rasanya seperti roti goreng dengan pilihan tanpa isian, atau berisi kumbu kacang hijau. Kemudian, pisang goreng yang digoreng dengan adonan tipis tepung beras atau pisang kepok matang mengkal yang digoreng tanpa balutan adonan tepung. Selanjutnya, ada singkong goreng dan getuk singkong yang digoreng dengan adonan tepung beras. Keunikan terletak pada bumbu saji singkong goreng. Singkong goreng di kota ini, diguyur dengan sambal petis encer yang rasanya merupakan paduan asin, manis, pedas dengan rasa petis yang nyata. Menyantapnya, panas-panas dengan tetesan sam-bal petis yang sangat menggugah selera.

Senja mulai turun, rencana bersantap malam pun mulai terbayang. Kali ini, pilihannya adalah menu ayam bakar ala Banjarmasin. Kedai ayam bakar itu, bisa ditemui di ruas Jalan Veteran dan Pahlawan. Sajian menu ini adalah, potongan ayam dibakar di atas bara arang, dengan bumbu olesan saus tomat dan kecap manis. Potongan ayam yang telah dibakar ini, kemudian disantap bersama sepiring nasi putih yang ditaburi bawang goreng dan irisan sayur kol. Perut kenyang, apalagi yang bisa dilakukan untuk melewatkan malam?

Kali ini, pilihan jatuh pada kafe hotel yang bila malam tiba, menyediakan meja dan kursi beserta lampu obor dengan penataan romantis, di halaman hotel yang persis di tepi Sungai Martapura. Malam pun terlewat dengan secangkir kopi panas dan tenang air sungai.

Nasi Habang.

Ketupat Kandangan.

Adu Cepat

Agenda melihat Pasar Terapung menjadikan penulis terpaksa bangun pagi. Ini disebabkan informasi yang didapat dari petugas hotel, bahwa Pasar Terapung hanya ada dari pukul 06.00 hingga 08.00 Wita. Jadi, bila ingin melihat dan bertransaksi di Pasar Terapung, tak ada pilihan lain selain bahwa Anda harus bangun pagi. Pihak hotel menyediakan perahu kelotok (perahu bermesin yang muat hingga 12 orang, Red) dengan tarif Rp 25.000 untuk satu orang. Akan tetapi, kelotok dari hotel ini, hanya membawa Anda ke Pasar Terapung, melihatnya dan tidak berhenti, sehingga, Anda tak bisa melakukan jual beli dengan perahu-perahu kelotok yang menjajakan barang dagangan di sana. Akhirnya, penulis dengan beberapa teman, menaiki mobil hingga ke lokasi Makam Sultan Kuin-salah satu makam tokoh Kota Banjarmasin-dan dari situ, menyewa satu perahu kelotok dengan harga Rp 75.000. Dari lokasi makam yang berada di tepi Sungai Kuin, perahu kelotok sewaan pun melaju ke lokasi Pasar Terapung, dalam waktu kurang dari 5 menit. Semburat mentari fajar mulai mencoret langit dan tampaklah puluhan perahu kelotok lalu lalang di tengah Sungai Kuin. Masing-masing membawa barang dagangan berupa sayuran, buah-buahan, kue-kue, dan barang kebutuhan rumah tangga, seperti ember, sapu, kemoceng, dan sebagainya.

Perahu kelotok berisi aneka kue, tentunya paling menarik perhatian. Perahu kelotok kami pun mesinnya dimatikan, dan bergoyang-goyang ditingkahi gelombang air sungai. Kemudian perahu kelotok kami, merapat ke perahu kelotok berisi aneka kue itu. Aduh…bingung memilihnya. Ada nasi kuning habang, nasi pulut (beras yang dimasak dengan santan kental yang gurih dan dibungkus daun), beragam untuk-untuk, cucur, lepet ketan hitam, kue kacang hijau, donat, serta tahu isi dan pisang goreng. Setelah mata bingung memilih, kebingungan berikutnya, yakni cara mengambil makanan di tengah perahu kelotok yang terus bergoyang-goyang terkena gelombang air sungai. Penjualnya pun memberikan sebatang galah bambu sepanjang sekitar satu meter, yang di ujungnya menancap paku panjang, sambil memberi kode bahwa kita harus mencucuk penganan yang kita ingini. Nah, inilah serunya, karena tak biasa, beberapa penganan pun berjatuhan, bahkan ada kue yang bolong terkena paku berulang-ulang.

Beruntung, sebuah perahu kelotok lainnya yang juga berisi wisatawan, merapat, mengapit perahu kelotok penjual kue. Penumpang di perahu kelotok seberang pun, membantu mengkaitkan kue-kue yang kami pilih, demikian pula sebaliknya. Kami pun saling melempar senyum. Seru! [Suara Pembaruan/S Nuke Ernawati]