Macam-macam kerupuk dan pempek yang terbuat dari ikan tenggiri tersedia di rumah makan Candy. Foto-Foto: sp/Rina Ginting

Sp/Luther Ulag

Jembatan Ampera di Sungai Musi tetap jadi tujuan wisata di Palembang.

Santap siang baru saja usai dalam sebuah acara peresmian showroom mobil di Kota Palembang baru-baru ini. Walau hanya makan “seadanya” tetap saja perut rasanya masih penuh. Namun, perut penuh tak menghalangi pembicaraan seputar pempek, pepes ikan patin, dan martabak Har yang semakin hari semakin kesohor sebagai ikon Kota Palembang. Bahkan, jauh sejak sebelum menginjakkan kaki di bumi Sriwijaya itu, jadwal acara yang sudah disusun adalah wisata kuliner. Visit Musi 2008 agaknya menjadi visit makanan di sekitar Sungai Musi!

Segera setelah menghadiri tempat jual pamer mobil itu, SP dan beberapa rekan meluncur ke Pempek Candy yang letaknya di samping RS Charitas di Jalan Jenderal Sudirman. Siang itu sekitar pukul dua, udara cukup panas walaupun ada segumpal awan mendung. Tak terlalu banyak yang duduk di restoran pempek itu, justru yang tampak ramai adalah macam-macam kerupuk yang berjejer di setiap dinding.

Di bagian depan restoran, tampak satu ember besar kuah pempek, yang sedang diciduk ke plastik-plastik. Di atas meja dan lemari kaca pajangan, dalam baskom-baskom plastik besar, terlihat pula macam-macam jenis pempek. Ada yang panjang dan bulat sebesar lengan orang dewasa, ada yang bulat kecil dan gepeng.

Ketika daftar menu dibagikan, kami tidak tahu mau pilih yang mana walau sudah jelas tertulis jenis pempek lenjer, kapal selam, adaan, telur kecil, keriting, kulit, tahu dan campur. Jenis yang lain juga ada seperti model, tekwan, rujak mie, dan macam-macam kerupuk, kemplang dan panggang.

Akhirnya kami memutuskan memesan semua jenis pempek berukuran kecil agar bisa saling mencicipi. Sebenarnya, paket pempek yang pakai mi, ebi, dan berkuah, juga ada di sini, kalau memesan jenis pempek yang besar seperti pempek kapal selam.

Di meja makan telah tersedia mangkuk kecil-kecil seperti yang digunakan untuk meminum chinese tea, dan kuah pempek ada di teko beling yang transparan. Cara menyantapnya dengan mencocol pempek ke dalam kuah, bukan disendoki.

“Wah…ternyata, bumbunya lebih tajam dari yang di Jakarta, lebih pedas, asam, manis tapi segar, dan pempeknya sangat empuk dan enak. Sangat terasa ikannya”, kata Astrid yang ikut menemani SP siang itu sambil memesan es jeruk dan air es.

Bahan baku utama pempek terdiri dari ikan belida dan ikan tenggiri. Pempek Candy menggunakan ikan tenggiri sebagai bahan utama. Beberapa di antara kami membeli pempek untuk dibawa ke Jakarta. Menurut Meina, kasir Pempek Candy, di Palembang ada delapan cabang Candy, dan tak ada di kota lain. Selain di jalan Sudirman, ada di jalan Kapten Rivai, Sekip, Polda, Plaju, Novotel, Pamang Lebar Daun, Anugerah dan di bandara.

Candy buka sejak tahun 2004 dan bahan makanan didrop dari satu tempat tapi Meina tidak menyebutkan tempat itu. “Kami tidak masak di sini, setiap pagi bahan baku diantar ke masing-masing cabang. Kami buka sejak jam setengah delapan pagi sampai pukul sembilan malam. Ada yang makan pempek sebagai sarapan pagi dan makan malam. Di sini sudah biasa begitu,” katanya.

Dia mengatakan jumlah pesanan bisa mencapai ratusan kotak dan paling banyak untuk dibawa ke Jakarta. Satu paket terdiri dari tiga atau empat macam pempek, yaitu adaan, lenjer, kapal selam dan telur kecil. Harga paket mulai dari Rp 60 ribu hingga Rp 200.000. “Supaya tahan dua hari, pempek diberi tepung. Nanti caranya, direbus dulu baru digoreng. Kalau masuk kulkas bisa tahan sampai seminggu”, kata Meina. Paket dikemas secara praktis dan bisa dimasukkan ke dalam bagasi pesawat.

Di meja, terlihat beberapa potongan pempek yang masih sisa. “Tidak mengapa, yang tidak dimakan tidak dihitung,” kata pelayan. Wah lumayan juga. Seperti makan di warung masakan Padang.

Kami pun beranjak dari Candy jalan Sudirman menuju ke lokasi jembatan Ampera di sungai Musi untuk melakukan pemotretan. Agak macet lalu lintas, bahkan kami terjebak dalam sebuah jalan, yang masing-masing pengguna jalan saling serobot.

Isi martabak Har hanya dua buah telur yang digoreng dengan mentega putih.

Martabak Har

Beberapa menit di sekitar lokasi jembatan Ampera, rombongan bergerak ke Martabak Har. Hujan deras mengguyur Kota Palembang. Rombongan tak pernah mau kalah dengan hujan. Di beberapa restoran tampak nama Har terpampang jelas tapi yang kami tuju restoran martabak Har yang asli. Dalam papan nama tertulis di sana “RM Har, sejak 7-7-1947”.

Dengan berlari-lari kecil memakai payung, satu per satu kami masuk ke rumah makan itu. Di sini, pengunjung agak penuh. Dari pintu masuk, hidung sudah mencium wangi aroma kari. Persis di depan pintu masuk, tampak satu baskom penuh kari daging yang sedang dimasak sebagai kuah teman makan martabak. Di dekatnya, ada penggorengan pipih yang lebar, dan di atasnya bersusun-susun martabak telur yang sudah digoreng maupun yang akan digoreng.

Sekali lagi, perut masih berasa penuh, tapi melihat kuah kari dan martabak yang digoreng pakai mentega putih itu, selera pun muncul untuk mencicipi. Benar saja, rasanya memang lain dari yang lain dan gurih. Keistimewaan martabak Har ini, tidak menggunakan macam-macam isian, hanya kulit martabak dan dua butir telur yang dipecahkan di atasnya lalu digoreng memakai mentega putih. Telurnya bisa memilih telur ayam atau telur bebek. Cara menyantapnya dengan kari daging sapi yang baunya khas itu.

Menurut Buyung dari restoran tersebut, satu hari rumah makan martabak Har ini menghabiskan 5 sampai 6 peti telur yang masing-masing peti terdiri dari 15 kg. Kalau dihitung, rata-rata 80 kg telur itu bisa menghasilkan martabak 500 porsi martabak. Satu porsi martabak harganya Rp 9.000.

Malam merambat datang. Saatnya berburu pepes ikan patin. Waktu hampir menunjukkan pukul sembilan ketika kami menuju ke Jalan Demang Lebar Daun, Palembang, tepatnya ke restoran Sri Melayu. Rumah makan ini berkapasitas ratusan dan dirancang di atas kolam, sangat strategis untuk pesta dan keluarga.

Dalam daftar menu, selain pepes ikan patin yang menjadi santapan khas Palembang, ada sambal tempoyak, ikan belida dan pindang ikan baung. Pepes ikan patin disajikan dalam panci kompor, pakai kuah, yang rasanya kira-kira mirip Tom Yam Kung masakan khas Thailand, segar, asam, dan pedas.

Ada juga pindang tulang mirip dengan sop iga. Kemudian ada goreng ikan seluang – ikan sebesar jari tangan yang sangat gurih dan renyah. Sambalnya ada sambal buah mangga yang pedas, asam, manis jadi satu, termasuk sambal durian. Rasanya, jangan ditanya lagi, lezat. Sebagai penutup, ada buah potong campur tapi kami lebih memilih duku. Pokoknya, semua harus rasa Palembang. Tak terasa, sudah lebih dari pukul sepuluh. Para pelayan sudah mengisyaratkan restoran mau tutup dengan mematikan sebagian lampu. Kami pun tahu diri. Ajakan menyantap durian, sudah tak kami hiraukan lagi. Mau ditaruh di mana lagi? Hari ini, wisata boga tampaknya terpaksa disudahi. [SP/Rina Ginting]