Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan salah satu andalan wisata petualangan di kabupaten Pandeglang, Banten. Taman ini menjadi habitat dan tempat perlindungan satwa langka yang terancam kepunahannya yaitu badak Jawa (Rhinoceros sundaicus).

Taman ini ditetapkan oleh Unesco sebagai situs warisan dunia. Kawasan ini berada di wilayah seluas 120.551 hektare, terdiri dari Pulau Handeuleum, Pulau Peucang, Pulau Panaitan, Gunung Honje Utara dan Taman Jaya. Kawasan ini dibagi dalam beberapa zona yaitu zona terbuka bagi pengunjung umum dan zona pengembangan sarana dan prasarana, zona rimba sebagai area dengan kegiatan wisata terbatas dan zona tertutup kecuali untuk kegiatan penelitian ilmiah.

Kawasan Ujung Kulon yang berada dl bagian paling barat Pulau Jawa selain dihuni oleh badak Jawa juga dihuni oleh bermacam-macam binatang dan aneka tumbuhan. Kurang lebih 700 jenis flora dapat dijumpai di sini. Kekayaan satwanya terdiri dari 35 jenis mamalia, 5 jenis primata, 59 jenis reptilia, 22 jenis amfibi, 240 jenis burung, 72 jenis insekta, 142 jenis ikan, dan 33 jenis karang.

Yang unik dari kawasan wisata ini adalah terdapat banyak hewan yang tergolong langka dan dilindungi. Salah satu diantaranya yang terpenting adalah badak bercula satu (Rhinoceros sundaicus) yang populasinya hanya sekitar 50 ekor.

Dengan jumlah yang terbatas tersebut dan area habitatnya yang begitu luas tidak mengherankan kalau binatang langka ini tidak mudah ditemukan. Yang ditemukan biasanya hanyalah jejak kakinya saja. Dapat dicatat bahwa badak bercula satu ini hanya terdapat di Ujung Kulon tidak terdapat di daerah lain di dunia ini. Ujung Kulon ditetapkan oleh Pemerintah menjadi taman nasional pada tahun 1972.

Liburan panjang yang lalu Griya Asri bersama peserta lainnya dari Komunitas Jalan Melulu (JM) berwisata ke Ujung Kulon. Berikut adalah laporan singkatnya.

Kami berangkat dari kawasan Blok M, Jakarta langsung menuju desa Sumur sebuah desa pantai di Selatan Labuan. Dari desa Sumur kami menyeberang ke pulau-pulau di Ujung Kulon.

Perjalanan dari Jakarta ke desa Sumur memakan waktu sekitar 6 jam. Kami tiba di desa ini tepat ketika azan subuh berkumandang. Di desa Sumur, perahu nelayan bermotor telah menanti kami. Sekitar pukul 6 pagi perahu kami berlayar. Tempat pertama yang akan dituju adalah pulau Handeuleum. Kira-kira dua jam perjalanan, kami sampai di dermaga pulau Handeulum.

Pulau Handeuleum

Sesampai di Pulau Handeulem kami disambut oleh kelembutan pasir putih yang bersih. Di pulau ini kami dapat menyaksikan berbagai macam hewan dan tumbuhan dan dapat menyusuri sungai Ciganter dengan sampan sambil mengamati hutan bakau. Di pos Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Pulau Handeuleum ini kami dapat menyaksikan berbagai dokumentasi mengenai hewan-hewan yang terdapat di TNUK.

Di pulau Handeuleum terdapat guesthouse, sebuah bangunan peninggalan zaman Belanda yang dibangun tahun 1921. Bangunan ini khas bangunan rumah pegunungan. Di halaman bangunan berkeliaran beberapa ekor rusa yang sudah jinak dan tampak akrab dengan para pengunjung yang baru datang.

Pulau Peucang

Setelah puas melihat-lihat keadaan pulau Handeuleum kami langsung menuju ke Pulau Peucang. Niat kami menelusuri sungai Ciganter untuk melihat badak kami batalkan karena rasanya tidak mungkin akan menemukannya dalam suasana berisik.

Di pulau Peucang inl pengunjung dapat berenang di tepi pantai, menyelam, bersampan sambil mengamati hewan serta tumbuhan. Pantai Pulau Peucang berpasir putih bersih dan halus dengan laut tenang yang berwarna hijau jernih. Begitu jernihnya sehingga ribuan ikan kecil yang sedang berenang terlihat jelas.

Aktivitas berenang dapat dilakukan di sekitar pantai pulau Peucang terutama di samping dermaga di sebelah barat. Pengunjung yang ingin menikmati panorama bawah air dapat melakukan snorkeling dan penyelaman.

Area yang mernarik disekitar pulau Peucang antara lain Citerjun, Legon Madura dan Cihandararusa. Di sini Anda akan disuguhi pemandangan berbagai jenis terumbu karang baik karang lunak maupun karang keras.

Di pulau Peucang ini terdapat penginapan, yang dapat dikatakan cukup mewah. Di sekitar penginapan terdapat monyet-monyet yang bebas berkeliaran. Biasanya monyet-monyet tersebut berkumpul di depan penginapan menunggu makanan sisa tamu penginapan.

Selain itu di pulau Peucang yang hijau dengan pepohonan kita dapat menjumpai aneka binatang lain seperti rusa bertanduk, merak, rusa, babi hutan, monyet, biawak, dan tonggerek.

Di Pulau Peucang kita dapat mengunjungi Karang Copong (bolong). Karang Copong adalah nama sebuah karang mati yang berukuran besar terletak di ujung utara Pulau Peucang. Karang ini memiliki sebuah lubang besar yang menganga tepat di tengah-tengah karang. Lubang ini terbentuk karena karang terkikis terus menerus akibat hempasan ombak dari samudra Hindia.

Perjalanan menuju ke Karang Copong dapat ditempuh dalam waktu 3 jam (pp) dari penginapan kami di Pulau Peucang. Sepanjang perjalanan kami dapat menikmati kerimbunan hutan tropis dataran rendah serta mendengarkan suara aneka binatang.

Dalam perjalanan ke Karang Pocong kita akan menemukan pohon kiara raksasa (pohon jenis fikus), yang hidup dengan cara melilit pohon inangnya. Kiara mengisap makanan dari pohon inangnya. Namun, kiara ini juga memberikan kehidupan bagi berbagai jenis hewan yang bersarang dan mencari makan di pohon ini. Dalam perjalanan ini juga kita dapat mendengarkan “batuk” gunung Krakatau di kejauhan.

Tanjung Layar

Esok paginya kami menuju ke Tanjung Layar untuk melihat mercusuar. Sesampai di dermaga Tanjung Layar perjalanan kami dilanjutkan dengan berjalan kaki menembus hutan selama setengah jam untuk sampai di mercusuar. Mercusuar ini berdiri di atas sebuah bukit yang menjorok ke laut dengan tebing-tebing yang curam. Dari mercusuar kita dapat mengambil gambar suasana selat Sunda dan pemandangan hutan dan memandang ke arah laut.

Setelah puas menikmati pemandangan dari mercusuar, kami turun agak ke bawah. Disini terhampar padang rumput halus yang sering dijadikan pakan banteng. Berkas-berkas runtuhan bangunan dari zaman Belanda masih bisa terlihat.

Di sini kita dapat menikmati gugusan karang yang tegak dihantam ombak, tebing-tebing yang tinggi menjulang, gempuran ombak samudra Hindia dan merasakan hembusan angin laut. Kita juga dapat berkemah di tengah hamparan rerumputan yang hijau. Mercusuar buatan Belanda tersebut sejak tahun 1972 tidak digunakan lagi.

Padang Penggembalaan Cidaon

Sorenya kami mengunjungi padang penggembalaan Cidaon. Dari dermaga, pengunjung dapat berjalan kaki menembus hutan selama 10 menit lalu kemudian kita akan tiba di padang rumput.

Padang Penggembalaan Cidaon seluas 5,5 hektare merupakan hamparan padang rumput yang digunakan oleh banteng untuk melakukan berbagai aktivitasnya, seperti merumput, beristirahat, kawin dan mengasuh anak. Biasanya benteng muncul di padang penggembalaan saat pagi atau sore menjelang matahari terbenam. Selain banteng kadang-kadang dapat dijumpai juga burung merak berkejaran dan memekarkan bulunya.

Disini terdapat pula sebuah menara untuk pengintaian dengan ketinggian sekitar 20 meter. Dari menara ini kalau kita beruntung dapat mengamati ratusan ekor banteng berwarna hitam dan cokelat tengah merumput.

Namu sore itu kami hanya bisa melihat burung merak dari kejauhan sedangkan benteng tidak muncul. Karena penasaran untuk melihat binatang banteng tersebut Gnya Asri naik ke rumah pengintaian dari kayu, sebuah bangunannya seperti menara dengan dua lantai. Namun karena memang lagi apes, sore itu kami tidak melihat seekor banteng pun nongol. Yang terlihat hanyalah beberapa burung merak di kejauhan.

Sumber: Majalah ASRI