Berbagai acara digelar Pemkot Sawahlunto untuk memeriahkan hari jadinya. Puncak hari ulang tahunnya pada 1 Desember, selalu menampilkan ritual Makan Bajamba sebagai puncak acara. Sawahlunto telah menyelenggarakan budaya Makan Bajamba sebanyak empat kali dan telah menjadi agenda tahunan untuk menarik wisatawan datang ke “Kota Arang” tersebut.

Tidak hanya Sawahlunto, beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat pun melaksanakan budaya yang sama dalam menciptakan keunikan dan daya tarik pariwisata. Di Kabupaten Agam pada momen-momen tertentu, Makan Bajamba menjadi semacam ritual wajib yang mesti dijalankan oleh warga Koto Gadang tersebut.

Contoh lain, pada Kabupaten Tanah Datar ketika penyelenggraan lomba balap sepeda internasional “Tour de Singkarak 2010”. Ketika salah satu etape finish di Kapubaten Tanah Datar, seluruh peserta dan official serta tamu undangan mendapat jamuan Makan Bajamba di Istana Pagaruyung.

“Ini merupakan suatu strategi marketing jualan pariwisata dengan memanfaatkan budaya, khususnya di Sumatera Barat,” ujar Sapta Nirwandar, Dirjen Pemasaran Kementrian Budaya dan Pariwisata waktu itu.

Makan Bajamba sendiri memang berasal dari akar budaya Minangkabau yang secara turun temurun masih dilaksanakan hingga saat ini. Merupakan sebuah ritual budaya makan bersama yang diadakan dalam lingkup keluarga dekat, dalam hal ini adanya pertalian darah.

Namun demikian, tidak jarang dilakukan dalam lingkup yang lebih luas, seperti persaudaraan satu suku kendati tidak ada hubungan darah (suku dalam adat Minangkabau hampir sama dengan marga dalam adat Batak). Kekeluargaan dan gotong royong sudah terasa pada tahap pertama dalam proses mempersiapkan makanan, karena memasak dilakukan bersama-sama.

Kemudian prosesi Makan Bajamba ini dilakukan dengan beberapa aturan yang sudah ditetapkan oleh para leluhur atau sesepuh adat di Bumi Minang. Biasanya ritual ini diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, kemudian diiringi dengan petuah atau ucapan dari tuan rumah atau pemuka adat yang hadir pada saat itu.

Budaya Makan Bajamba memiliki beberapa aturan adat sebagai simbolis penghormatan kepada yang lebih tua, seperti menyuap (mengambil makanan dengan tangan) yang pertama kali harus yang paling tua. Dan yang menambahkan makanan dan lauk pauknya dilakukan oleh anggota keluarga yang paling muda, serta tetap menjaga tata krama dan etika pada saat makan.

Makanan disajikan dalam piring-piring besar, biasanya berdiameter minimal 70 cm, dan disantap oleh lima sampai enam orang dalam satu piring atau jamba (wadah) dengan posisi duduk di lantai mengelilingi piring. Posisi perempuan bersimpuh, sedang yang laki-laki baselo (bersila). Tujuannya bila ada nasi yang jatuh ketika hendak masuk mulut tidak kembali masuk ke dalam piring. Jadi, yang lain tidak merasa jijik untuk memakan nasi tersebut secara bersama-sama.

Lauk pauk yang wajib menjadi teman Makan Bajamba tentunya adalah masakan khas Sumatra Barat, rendang daging yang dicampur dengan kacang pagar. Potongan dagingnya tidak terlalu besar, namun dirasa cukup untuk dimakan berlima. Isi satu porsi rendang adalah tiga potong daging ditambah sedikit kacang dan bumbu rendang.

Ketiga jenis lauk tersebut, dihidangkan bersama-sama nasi dalam jamba besar dan ditambah sepiring nasi untuk tambuah (tambahan). Kegunaannya untuk mengelap atau menyerap minyak dari sambal yang sudah dimakan tadi. Sebelum tangan dicuci dalam kobokan, minyak yang melekat di tangan sudah semakin terserap sampai suapan terakhir.

Acara Makan Bajamba ini biasanya dijadikan sebagai pelengkap bagian acara adat lainnya seperti pernikahan, khitanan, halal bihalal, khatam Al Quran dan beberapa acara adat lainnya. Inilah mengapa ritual Makan Bajamba dipilih sebagai prosesi adat yang layak jual sebagai daya tarik wisata di Sumatera Barat. Karena sangat sesuai dan mudah dikombinasikan dalam lingkup yang lebih luas sebagai pelengkap acara-acara kabupaten kota, baik bersifat nasional maupun internasional.

Sangat menarik memang, terlebih jika prosesi Makan Bajamba sebagai jualan pariwisata selalu diiringi dengan budaya minang lainnya. Dalam perhelatan akbar menyambut ulang tahun Sawahlunto 122 tahun, banyak pagelaran budaya yang menyertainya. Dan tidak pernah ketinggalan tradisi berbalas pantun sebelum proses Makan Bajamba dimulai.

Dengan bahasa daerah setempat dan nada serta intonasi yang diakhirnya selalu dengan bunyi yang sama, mengandung kekayaan budaya Melayu yang khas. Mungkin bagi orang yang mengerti bahasa setempat menjadi lebih indah dalam menyelami bunyi dan makna.

Ini adalah kekayaan seni dan budaya Indonesia yang berakar pada sastra lisan, dan sudah sepatutnya dilestarikan. Tradisi pantun dalam Makan Bajamba merupakan simbol atau kata salam bagi mereka yang datang (wisatawan) dan kata penerimaan bagi tuan rumah. Sama halnya dengan tradisi buka palang pintu pada masyarakat Betawi, ketika hendak melangsungkan pernikahan.

Di samping itu, ada lagi daya tarik lain dari segi kostum yang digunakan peserta Makan Bajamba. Dalam pakem budaya yang sebenarnya, pakaian yang dikenakan haruslah pakaian adat lengkap dengan hiasan kepala berbentuk tanduk. Untuk kaum wanita harus mengenakan baju kurung dengan bahan satin bagi usia muda, dan volvet untuk yang sudah berumur. Namun, seiring perkembangan zaman, karena jenis bahan tersebut sudah jarang diproduksi lagi, maka makin bervariasi bahan baju kurung yang dipakai dalam adat ini.

Warna pakaian yang terang-benderang seperti merah, kuning, merah jambu dan manik-manik yang berkilauan menjadi warna pilihan kaum wanita saat prosesi adat Makan Bajamba berlangsung.

Acara makan dimulai ketika pantun ditutup dengan rima terakhir “mari makan”. Suasana santai dan harmonis sangat terasa. Siapapun boleh ikut makan tanpa terkecuali dan tanpa adanya perbedaan. Inilah budaya dan tradisi yang dapat Anda nikmati sebagai kemasan pariwisata.

Diantara modernitas jamuan makan secara prasmanan, Makan Bajamba menjadi salah satu cermin kehidupan yang kaya dengan nilai-nilai warisan yang masih dipelihara di Sumatera Barat.

Sumber: Majalah Travel Club